Rumput Laut, Tumpuan Ketahanan Ekonomi Masyarakat Pesisir Kupang
Kekayaan alam di pesisir Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, menjadi tumpuan hidup masyarakat setempat. Di samping menangkap ikan, mereka juga membudidayakan rumput laut.
Rona ceria terpancar dari wajah Lens Lewue (55), pembudidaya rumput laut di RT 002 RW 003 Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (10/8/2020) siang. Hari itu ia sudah 12 kali pergi-pulang dengan sampan penuh muatan rumput laut basah.
”Biasanya rumput laut satu sampan penuh ini jika dikeringkan menjadi 20 kilogram. Hari ini saya sudah panen dari jaring tali sebanyak 12 sampan. Kira-kira total bisa menghasilkan 240 kilogram rumput laut kering,” kata Lewue.
Lewue dibantu saudari kandungnya, Tamar Leneng (52). Ibu dari lima anak ini turut mengangkut rumput laut basah dari dalam perahu. Dengan menggunakan dua keranjang yang terbuat dari daun lontar, rumput laut digotong di pundaknya, lalu dijemur di samping rumah. Ada tempat khusus yang biasa disebut para-para untuk menjemur rumput laut.
Lewue mengaku mulai membudidayakan rumput laut sejak 2003. Saat itu warga setempat belum banyak mengenal rumput laut. Awalnya, ia hanya merangkai rumput laut dalam seutas tali sepanjang 20 meter sebagai uji coba. Bibit rumput laut sebanyak 2 kilogram didapat dari saudaranya di Nemberala, Rote.
Ternyata hasilnya cukup menggembirakan. Saat panen rumput laut dijual mentah di pasar tradisional di Pasar Oeba, Kota Kupang, dengan harga Rp 20.000 per kilogram. Saat itu banyak peminat rumput laut mentah untuk konsumsi. Setelah dicuci bersih dengan air panas, rumput laut mentah dicincang dan diberi sambal tomat dan cabe.
”Sekarang produksi rumput laut makin banyak. Pengusaha dan pengumpul rumput laut ada lebih dari 50 orang di Kota Kupang. Di Tablolong pun ada pabrik rumput laut sehingga tidak kesulitan menjual hasil panen rumput laut,” katanya.
Budidaya rumput laut dilakukan dengan teknologi yang sangat sederhana. Tanaman rumput laut diikat pada tali yang ditambatkan pada dasar laut.
Leweu membudidayakan rumput laut pada 200 utas tali, masing-masing sepanjang 90 meter. Sekali panen, ia bisa menghasilkan sekitar 3.000 kg rumput laut kering. Dengan harga rumput laut kering saat ini Rp 16.000 per kg, maka sekali panen Lewue bisa meraup penghasilan hingga Rp 48 juta. Dalam setahun bisa lima kali panen.
Musim budidaya rumput laut di Tablolong dimulai Juni hingga Desember. Rumput laut bisa mulai dipanen setelah 45 hari. Senin itu merupakan panen perdana Lewue dan kawan-kawannya di Desa Tablolong, pada musim budidaya tahun ini.
Desa Tablolong terdiri atas 320 kepala keluarga. Sekitar 300 orang di antaranya merupakan pembudidaya rumput laut dan nelayan. Sisanya berdiam di perbukitan, memilih sebagai petani lahan kering. Di desa itu, budidaya rumput laut dilakukan di sepanjang 10 kilometer garis pantai.
Baca juga: Bantuan Bibit Rumput Laut Vital bagi Ribuan Keluarga di Pesisir NTT
Selain membudidayakan rumput laut, Lewue memiliki mata pencarian sebagai nelayan. Ia memiliki dua kapal nelayan, tetapi disewakan ke nelayan di Kota Kupang. Biaya sewa dua kapal itu Rp 30 juta per bulan. Adapun Lewue lebih fokus pada budidaya rumput laut.
Hasil budidaya rumput laut bisa digunakan untuk membiayai pendidikan enam anak Lewue. Tiga anaknya lulus sarjana dan sudah bekerja, dua orang sebagai PNS di Kabupaten Kupang, satu anak memilih sebagai pembudidaya rumput laut dan nelayan. Dua anak lainnya masih kuliah di perguruan tinggi dan si bungsu masih duduk di bangku SMA.
Kejayaan rumput laut
Kepala Urusan Pembangunan Desa Tablolong Yaret Pellu (27) mengatakan, sebelum 2005, mayoritas warga Tablolong merupakan nelayan. Kondisi Laut Timor dan Laut Sawu sering dilanda cuaca buruk, hingga menyebabkan korban jiwa, membuat nelayan memilih tidak melaut saat cuaca buruk.
Agar masyarakat pesisir tetap memiliki penghasilan saat cuaca buruk, Bupati Kupang periode 1999-2009 Ibrahim Medah memperkenalkan budidaya rumput laut. Saat itu masyarakat Tablolong terlibat penuh. Tahun 2003 masyarakat Tablolong mulai membudidayakan rumput laut. Sejak itu pula, Desa Tablolong tidak pernah dilanda kasus gizi buruk, dan rawan pangan. Tidak ada warga miskin di desa dengan jumlah penduduk sekitar 1.725 orang itu.
Budidaya rumput laut di Kabupaten Kupang mengalami kejayaan pada 2006-2012. Saat itu harga rumput laut kering mencapai Ro 21.000 per kilogram.
”Saat itu semua pembudidaya rumput laut di desa ini berkecukupan uang. Lihat, semua rumah permanen, lengkap dengan parabola, anak-anak pegang telepon seluler,” kata Lewue.
Ratusan kepala keluarga saat itu juga membeli mobil pikap untuk mengangkut rumput laut, serta sepeda motor untuk ojek. Bahkan beberapa di antara warga desa menyewakan mobil pikap dan mobil truk di Kota Kupang.
Saat itu semua pembudidaya rumput laut di desa ini berkecukupan uang.
Budidaya rumput laut di Tablolong kian berkembang pada tahun 2018-2020, saat pemerintah desa mulai mengalokasikan dana desa untuk pengembangan rumput laut senilai Rp 2,5 juta per kepala keluarga per tahun, bagi 100 kepala keluarga. Dalam tiga tahun itu, 300 kepala keluarga yang membudidayakan rumput laut sudah menerima bantuan yang disalurkan melalui Badan Usaha Milik Desa Tablolong. Bantuan sekaligus untuk budidaya kerapu dan lobster.
”Rumput laut untuk menyokong pabrik rumput laut di desa ini, ikan karapu dan lobster untuk dikirim ke beberapa restoran dan warung makan di Kota Kupang. Nelayan dan pembudidaya rumput laut ini bekerja secara kelompok,” kata Pellu.
Baca juga: Ekspor Perdana Langsung dari NTT ke Argentina
Membudidayakan rumput laut juga ditekuni generasi muda di Tablolong, salah satunya Abdi Helong (22). Selepas lulus SMK jurusan pertanian tahun 2016, ia memilih menjadi pembudidaya rumput laut dan nelayan. Ia enggan meneruskan kuliah karena beranggapan bahwa kuliah selama 4-5 tahun hanya menghabiskan waktu dan biaya, sedangkan hasilnya belum tentu jelas.
Selama empat tahun membudidayakan rumput laut, Helong mampu membeli satu perahu ukuran 2 grosston dengan harga Rp 100 juta, serta satu sepeda motor. Perahu disewakan ke nelayan di Rote Ndao seharga Rp 20 juta per bulan.
”Perahu saya tarik kembali sejak Mei 2020 karena biaya sewa tidak disetor sesuai perjanjian. Mereka beralasan pandemi Covid-19 sehingga mereka jarang melaut. Kerja sama ini saya lanjutkan setelah pandemi Covid-19 lewat,” kata Helong.
Meski harga rumput laut kering saat ini Rp 16.000 per kg, pendapatan warga sudah mencukupi. Pada tahun 2016-2019 harga rumput laut kering sempat anjlok, Rp 3.500 per kg.
Masalah hama
Persoalan yang dihadapi pembudidaya rumput laut di Tablolong dan sekitarnya saat ini adalah hama yang disebut ice-ice. Gejala serangan hama diawali dengan timbulnya bercak-bercak di bagian ”thalus” atau batang dan daun, lama-kelamaan kehilangan warna, kemudian menjadi kerdil, putih, dan patah.
Meski ada serangan hama, pembudidaya rumput laut tidak patah arang. Mereka tetap membudidayakan rumput laut dengan harapan penyakit ice-ice itu hilang dari Kabupaten Kupang.
”Kami sudah laporkan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kupang bahkan ke Provinsi NTT. Tetapi mereka pun sulit mengatasi ini. Kita petani tetap pasrah sambil terus berdoa dan berjuang. Mudah-mudahan hama ini segera berlalu,” kata Lewue.
Koordinator Budidaya rumput laut Desa Tablolong Albert Gilon mengatakan, produksi rumput laut kering dari Desa Tablolong sejak 2006-2012 sebanyak 25 ton per musim panen. Namun, sejak 2013-2019 menurun sampai 10 ton per musim panen karena serangan hama ice-ice.
”Hama ini masalah serius di Tablolong dan desa-desa pesisir lain di Kabupaten Kupang seperti Sulamu, Oetete, dan Desa Bipolo. Ini sudah dilaporkan. Pemda dan bahkan tim dari Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2017 datang di Tablolong tetapi tidak menyelesaikan ini,” kata Gilon.
Baca juga: Produk Olahan belum Optimal
Ia mengatakan, rumput merupakan sumber ketahanan ekonomi masyarakat pesisir Tablolong, bahkan pesisir NTT. Apalagi harga jual rumput laut cukup menjanjikan. Di Tablolong setiap musim panen tiba, setiap kepala keluarga bisa menyimpan uang Rp 5 juta-Rp 50 juta per musim panen.
”Kondisi cuaca buruk menyebabkan para nelayan enggan melaut dan beralih ke rumput laut. Karena itu, budidaya rumput laut itu paling mudah, menjanjikan, dan menyejahterakan masyarakat,” kata Gilon.
Saat ini, benih rumput laut terbaik ada di Desa Sulamu, 60 km dari Tablolong. Pembudidaya rumput laut dari Tablolong membeli benih di Sulamu dengan harga Rp 15.000 per kg. Walakin, benih yang baik belum sepenuhnya menjamin hasil produksi karena hama ice-ice selalu muncul pada saat rumput laut hendak dipanen.
Hama ini masalah serius di Tablolong dan desa-desa pesisir lain di Kabupaten Kupang seperti Sulamu, Oetete, dan Desa Bipolo.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Ganef Wurgiyanto mengatakan, pemprov telah menyalurkan bantuan bagi 8.050 pembudidaya rumput laut di NTT. Bantuan berupa 50 kg bibit rumput laut dan 300 meter tali pengikat rumput laut. Bantuan tersebar di 12 kabupaten.
”Dengan bantuan ini, produksi rumput laut kering diharapkan bisa mencapai peningkatan target, dari 2,3 juta ton per tahun menjadi 14 juta ton per tahun. Sulit mencapai target ini, tetapi dengan bantuan itu, diharapkan produksi bisa naik secara bertahap,” katanya.
Baca juga: Petani Rumput Laut NTT Gugat Perusahaan Australia Rp 2 Triliun
Dengan jumlah 1.192 pulau, NTT memiliki potensi panjang pesisir hingga 12.000 km untuk budidaya rumput laut. Saat ini, panjang pantai yang dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut hanya sekitar 2.000 km, dengan produksi 2,3 juta ton. ”NTT punya potensi besar untuk pengembangan rumput laut,” kata Ganef.