Jaga Kawasan Konservasi dengan Penguatan Masyarakat
Pencegahan kebakaran hutan dan lahan di wilayah konservasi bisa terwujud selama kebutuhan komunitas terdekat di wilayah tersebut diperhatikan. Pencegahan kebakaran tidak bisa lagi hanya kebijakan elite, tetapi tapak.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pencegahan kebakaran hutan dan lahan di wilayah konservasi bisa terwujud selama kebutuhan komunitas terdekat di wilayah tersebut diperhatikan. Manajemen pencegahan kebakaran tidak bisa lagi hanya bicara pada tataran kebijakan di lintas instansi pemerintah.
Hal itu terungkap dalam webinar yang diselenggarakan oleh Borneo Nature Foundation (BNF) dengan tema ”Membangun Manajemen Pencegahan Karhutla Berbasis Masyarakat dan Konservasi di Palangkaraya, Kamis (13/8/2020). Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan itu Ketua Yayasan BNF Juliarta Bramansa Ottay, Kepala UPT Laboratorium Lahan Gambut (CIMTROP) Universitas Palangka Raya (UPR) Darmae Nasir, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Ali Imron, dan Kepala Bidang Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalteng Merty Ilona.
Dalam paparannya, Darmae mengungkapkan, paradigma kebijakan di tataran pemerintah harus banyak berubah ke penguatan masyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat yang hidup di sekitar wilayah konservasi yang sering terbakar harus diperhatikan dan dipenuhi kebutuhannya.
”Ubah paradigma dari kebijakan di tingkat elite ke tingkat tapak. Komunitas di sekitar kawasan hutan atau wilayah konservasi wajib dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan juga,” kata Darmae.
Darmae menjelaskan, perekrutan komunitas lokal untuk aktif dalam upaya konservasi merupakan pengembangan alternatif penghidupan masyarakat sebagai pengganti sumber penghasilan yang hilang karena adanya kawasan konservasi.
Ia memberi contoh, kawasan konservasi di Taman Nasional Sebangau yang selalu terbakar juga disebabkan oleh komunitas atau masyarakat yang memiliki bekas kawasan kelola perikanan. ”Itu pernah kami telusuri dan memang ada cara lama dengan membakar agar menarik ikan masuk di kawasan tertentu,” katanya.
Komunitas di sekitar kawasan hutan atau wilayah konservasi wajib dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan.
Menurut Darmae, desa perlu dikuatkan dengan membentuk badan khusus untuk lingkungan. Hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
”Perlu untuk membentuk badan khusus untuk melindungi lingkungan hidupnya dan itu diatur dan difasilitasi pada Undang-Undang Desa,” kata Darmae.
Melihat hal itu, Juliarta menyampaikan, tahun 2019 kegiatan pemadaman kebakaran yang pihaknya lakukan di kawasan konservasi begitu banyak. Oleh karena itu, pihaknya sangat mendukung upaya restorasi gambut karena memang sebagian besar kawasan gambut di Kalteng selalu menjadi pusat kebakaran.
”Yang ingin kami dorong adalah bagaimana konservasi menjadi sebuah pendekatan yang utuh karena isu hutan dan api ini akan sangat sulit dipisahkan dan harus menjadi usaha bersama,” kata Juliarta.
Merty Ilona mengungkapkan, pemerintah tahun ini justru lebih fokus pada penguatan masyarakat. Terbukti dalam upaya restorasi pihaknya sudah mendampingi setidaknya 125 kelompok di 125 desa di Kalimantan Tengah yang mendapatkan paket revitalisasi ekonomi.
”Kami menyerahkan semuanya ke masyarakat, mereka temukan potensi desanya yang bisa dikembangkan lalu kami bantu dengan memberikan rangsangan dana, sambil memperkuat desa untuk menerapkan pengelolaan lahan tanpa bakar,” kata Merty.
Merty menyebutkan, setidaknya sudah ada 10.960 sumur bor dan 2.775 sekat kanal sebagai infrastruktur pembasahan gambut yang dibangun sejak 2017-2019 lalu. Masyarakat Peduli Api (MPA) sebagai kelompok yang didampingi untuk menjaga, menggunakan, dan merawat infrastruktur itu juga diperkuat dengan dana operasional tahun ini.
Pihaknya mendapatkan bantuan anggaran Rp 19 miliar dari Badan Restorasi Gambut (BRG) RI untuk mencegah kebakaran tahun ini. Dengan dana itu, pihaknya bisa memberikan insentif ke masyarakat untuk membasahi gambut sebelum kebakaran terjadi.
”Masyarakat yang utama, karena memang penyebab utama kebakaran karena ulah manusia. Jadi tidak mungkin masyarakat tidak dilibatkan,” kata Merty.