Terduga Pengedar Narkoba Meninggal di Batam, Diduga Disiksa Petugas
Terduga pengedar narkoba, Henry Alfree Bakari, meninggal pada 8 Agustus di Batam. Keluarga menduga ia meninggal karena disiksa. Polisi didesak memberi sanksi pidana kepada anggota.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Terduga pengedar narkoba, Henry Alfree Bakari (38), meninggal pada 8 Agustus 2020 di Batam, Kepulauan Riau. Keluarga menduga ia meninggal karena disiksa ketika menjalani pemeriksaan di Markas Polresta Batam-Rempang-Galang. Sejumlah lembaga independen mendesak kepolisian menjatuhkan sanksi pidana jika anggotanya terbukti bersalah.
Perwakilan keluarga, Christy Bakari (29), Rabu (12/8/2020), mengatakan, alm Henry ditangkap bersama tiga orang lainnya di Kecamatan Belakang Padang, Batam, pada 6 Agustus. Sehari berselang, pada sore hari, Henry dihadirkan saat polisi menggeledah rumahnya untuk mencari barang bukti.
Saat itu, anak almarhum yang berusia 13 tahun melihat ada bercak darah di baju putih Henry. Ia dalam kondisi lemah dan kehausan. ”Polisi menangkap almarhum dan menggeledah rumah tanpa menunjukkan surat perintah,” kata Christy dalam konferensi pers secara daring yang diadakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Sehari kemudian, keluarga dijemput polisi untuk menjenguk Henry ke Markas Polresta Barelang. Di sana, mereka diberi tahu Henry sudah meninggal dan jenazahnya disemayamkan di RS Budi Kemuliaan. Menurut Christy, waktu itu kepala Henry dibungkus perban. Juga ada luka lebam di kaki dan kepala almarhum.
”Hasil otopsi memang belum keluar. Namun, kejanggalan-kejanggalan itu membuat keluarga merasa harus mengadu ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Polda Kepri). Kami berharap anggota polisi yang melakukan kekerasan hingga menyebabkan kematian itu dapat dihukum,” ujar Christy.
Kejanggalan-kejanggalan itu membuat keluarga merasa harus mengadu ke Divisi Profesi dan Pengamanan. (Christy Bakari)
Kepala Polresta Barelang Komisaris Besar Purwadi Wahyu Anggoro mengatakan, dalam penangkapan itu, ditemukan barang bukti dua paket sabu seberat 1,41 gram, satu timbangan elektrik, dan alat hisap. Empat orang yang ditangkap itu diduga terlibat jaringan internasional. Berdasarkan informasi dari masyarakat, mereka sedang berupaya menyelundupkan 106 kilogram sabu.
”Otopsi masih dalam proses di laboratorium forensik Riau. Semoga minggu depan hasilnya sudah bisa diketahui,” kata Purwadi.
Ia menegaskan, jajarannya akan bersikap profesional dan transparan. Apabila nanti ada anggota yang terbukti bersalah, akan segera ditindak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Muhammad Andi Rezaldy dari Kontras mengatakan, pada 2019 ada 62 kasus penyiksaan yang 48 di antaranya diduga dilakukan oleh polisi. Sedangkan pada April hingga Agustus 2020 ada lima kasus penyiksaan yang diduga dilakukan oleh polisi dengan jumlah korban sebanyak 13 orang.
Apabila nanti ada anggota yang terbukti bersalah, maka akan segera ditindak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Salah satunya terjadi pada 9 April 2020 saat 10 polisi dari Polres Tangerang, Banten, menangkap dan diduga menyiksa dua orang yang dituduh sebagai kelompok Anarko, yaitu Muhammad Riski Riyanto (21) dan Rio Imanuel Adolof (23). Shaleh Al Ghifari dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengatakan belum ada perkembangan terhadap laporan dugaan penyiksaan itu.
Lalu pada 26 April 2020, anggota Polres Timor Timur Utara, NTT, diduga melakukan penyiksaan kepada anak dibawah umur, EF (16). Fandi Denisatria dari Lokataru mengatakan, kasus ini juga masih terkatung-katung.
Peneliti Imparsial Hussein Ahmad mengatakan, maraknya kasus penyiksaan yang diduga dilakukan oleh polisi disebabkan banyaknya penyidik yang tidak kompeten, rendahnya transparansi akibat infrastruktur yang tidak layak, dan lembaga pengawas yang lunak.
Hussein menilai pendidikan di Sekolah Polisi Negara (SPN) selama delapan bulan tidak cukup dijadikan satu-satunya bekal bagi penyidik dalam menangani suatu kasus. Penilaian kinerja mereka lebih sering diukur dari banyaknya kasus daripada kualitas kasus yang diungkap.
Hal ini diperparah dengan proses penyidikan di ruangan yang tidak dilengkapi perekam suara atau perekam video. Hal ini memungkinkan penyidik kepolisian dapat bertindak sesuka hati tanpa diketahui seorang pun.
”Kalaupun kemudian diusut, yang sering terjadi penindakan (anggota polisi) hanya sampai kepada (sanksi) etik dan disiplin. Padahal, penyiksaan tentu melanggar hukum dan melanggar pidana karena itu (pelakunya) harus diseret ke pengadilan,” kata Hussein.
Ia juga melihat masih ada tradisi hukuman yang dijatuhkan oleh atasan. Itu sering kali hanya berbentuk mutasi dan demosi. Menurut dia, hal itu ketinggalan zaman dan merupakan warisan ABRI. ”Itu yang melanggengkan impunitas (polisi). Hukuman seharusnya dari lembaga yang kompeten, bukan pimpinan,” ujarnya.
Lembaga pengawas, dalam hal ini Komisi Kepolisan Nasional (Kompolnas), juga dinilai lemah karena hanya berfungsi sebagai lembaga yang memberi saran kepada Presiden. Hussein berharap agar ke depan Kompolnas diberikan akses untuk memastikan proses hukum terhadap polisi yang bermasalah bisa berjalan.