Kapuk Randu, Komoditas Bermaslahat yang Terlupakan
Tanaman kapuk randu kian terlupakan seiring berkurangnya penggunaan komoditas ini sebagai isian bantal dan tilam. Namun, banyak elemen dari tanaman ini bernilai ekonomi, bahkan menjadi komoditas ekspor.
Tanaman kapuk randu (Ceiba pentandra), beberapa tahun terakhir kian jarang terlihat. Di Jawa Tengah, misalnya, jika ada pohon kapuk di tepi jalan raya, lebih sering tak termanfaatkan. Padahal, tumbuhan ini masih berkontribusi bagi pendapatan negara sebagai komoditas ekspor.
Nursiam (50) duduk santai di bawah pohon yang menjulang sekitar lima meter di tepi jalan di Krajan Kulon, Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Selasa (11/8/2020) sore. Dedaunan di pohon tersebut bergoyang terembus angin sepoi-sepoi.
Dari pohon itu menjuntai pokok-pokok buah berwarna hijau, panjang, dan lonjong. Dari jauh sedikit menyerupai mentimun. Beberapa di antaranya mengering dan berwarna kecoklatan, serta mulai menyembul serat berwarna putih.
Itulah satu dari sedikit pohon kapuk randu yang masih dapat ditemukan di sejumlah daerah, termasuk Kendal. ”Seringnya dibiarkan atau dibersihkan karena kapuknya suka beterbangan dan mengganggu. Kadang ada juga yang mengambil untuk dimasukkan ke bantal di rumahnya,” ucap Nursiam.
Baca juga: Bungkil Biji Kapuk Jateng dan Jatim Diminati Korea Selatan
Menurut Nursiam, yang sehari-hari berjualan makanan di daerah itu, dahulu, pohon kapuk tumbuh sangat banyak di Kendal, termasuk Kaliwungu. Namun, memang jarang yang memanfaatkan. Akhirnya belakangan, pohon-pohon itu sudah tak tampak lagi. Habis ditebang karena lahannya dijadikan kawasan industri serta pelabuhan.
Salah satu pohon kapuk randu terletak persis di depan SDN 1 Krajankulon, Kaliwungu, Kendal. ”Saya di sini sejak 1986, pohon itu sudah ada. Setiap terasa hawa dingin (awal musim kemarau) biasanya muncul buah randu. Namun, memang tak dimanfaatkan,” ujar Mulya (52), penjaga SD.
Belakangan, pohon-pohon itu sudah tak tampak lagi. Habis ditebang karena lahannya dijadikan kawasan industri serta pelabuhan.
Ia mengaku memang beberapa orang suka mengambil serat-serat kapuk dari buah yang sudah kering, tetapi sangat jarang. Menurut Mulya, lantaran jumlahnya tak seberapa, jarang yang memanfaatkan buah kapuk kering untuk diperdagangkan.
Kendati demikian, beberapa bagian pohon kapuk randu hingga kini masih bernilai tinggi. Buktinya, serat dan biji kapuk masih menjadi komoditas ekspor. Butiran biji kapuk itu kemudian dijadikan bungkil yang diminati negara-negara lain. Salah satunya menjadi bahan baku pakan ternak, antara lain di Korea Selatan. Biji kapuk terbaik juga bisa diperas hingga menjadi minyak untuk diekspor.
Akselerasi ekspor
Menurut data Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang, volume ekspor bungkil dan minyak kapuk di Jateng pada Januari hingga Juli 2020, sekitar 23.000 ton dengan nilai Rp 9 miliar. Angka tersebut diperoleh dari tiga perusahaan eksportir.
Sejumlah negara tujuan ekspor bungkil dan minyak dari biji kapuk tersebut antara lain, Malaysia, Belgia, Bangladesh, Jerman, Spanyol, Italia, Turki, Inggris Raya, India, Malaysia, China, Spanyol, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.
Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang Parlin Robert Sitanggang, Senin (10/8/2020) mengatakan, dahulu, fiber kapuk banyak digunakan untuk isian bantal dan tilam. Namun, seiring waktu, pemanfaatan untuk keperluan rumah tangga itu menurun. Orang-orang pun malas menjual dan pohon-pohon kapuk banyak ditebang.
Padahal, bungkil dan minyak biji kapuk masih memiliki pasar dan bernilai ekspor. ”Bungkil ini untuk menjadi bahan baku tambahan pakan ternak. Karena ada ceruk pasar ini, beberapa pihak mulai menanam kembali untuk dimanfaatkan,” kata Parlin.
Baca juga: Ekspor Pertanian Penggerak Ekonomi di Masa Pandemi
Dalam hal ini, Balai Karantina Pertanian menjamin keamanan produk dalam hal kesehatan, yakni memastikan hasil tanaman bebas hama dan penyakit. Pemeriksaan dilakukan di gudang pemilik kemudian diambil sampel untuk diuji.
”Misalnya, di laboratorium, produk itu ada serangga dan jamur atau tidak. Kalau tidak ditemukan, maka kami mengeluarkan sertifikasi untuk produk tersebut,” lanjutnya.
Menurut Parlin, peningkatan kualitas produk unggulan daerah merupakan bagian dari upaya menggenjot ekspor, termasuk di Jateng. Hal itu berlaku pula pada komoditas bungkil dan minyak kapuk, yang pasarnya masih berpeluang meluas karena diminati banyak negara.
Selama ini, komoditas utama andalan ekspor Jateng adalah terkait produk perkebunan dan kehutanan, termasuk kayu. ”Namun, kami juga terus melakukan akselerasi ekspor melalui emerging (produk ekspor baru). Kami dorong terus. Yang terbaru, seperti sawi putih, nanas, dan daun kelor,” kata Parlin.
Baca juga: Permen Jahe Produksi Jawa Tengah Sangat Diminati Konsumen AS
Salah satu eksportir bungkil dan minyak kapuk yang mengirim produk melalui Balai Karantina Kelas I Semarang adalah CV Bunga Kembang Enterprise. Pasar ekspor bungkil kapuk, misalnya, terbuka karena sejumlah negara maju tak lagi menggunakan bahan kimia sintetis untuk penggemukan ternak sapi.
Direktur CV Bunga Kembang Enterprise Diah Tristiani mengatakan, untuk memenuhi permintaan, pihaknya bekerja sama dengan sejumlah pemasok dari Jateng dan Jawa Timur. Mereka mendapatkan bahan baku dari sejumlah sentra pohon kapuk, di antaranya Kendal, Batang, dan Pati (Jateng), serta Kabupaten Malang dan Pasuruan (Jatim).
Mereka mendapatkan bahan baku dari sejumlah sentra pohon kapuk, di antaranya Kendal, Batang, dan Pati (Jateng), serta Kabupaten Malang dan Pasuruan (Jatim).
Pemrosesan dimulai dari pemilihan biji kapuk yang baik, kemudian diperas dengan mesin hingga menghasilkan bungkil dan minyak. Bungkil sendiri digunakan untuk bahan tambahan pakan ternak, pupuk, dan media jamur. Sementara minyak digunakan untuk pakan ternak dan industri cat.
Diah menuturkan, ekspor minyak dan bungkil kapuk dimulai sejak sekitar 2005. Negara tujuan ekspor bungkil kapuk antara lain ke Taiwan, Thailand, dan Jepang. Sementara minyak diekspor antara lain ke Jepang dan Amerika Serikat.
Sejak 2008, ia pun mulai mengekspor serat kapuk. ”Untuk mendapatkan biji (dan mengekspor bungkil dan minyak), mau tidak mau serat kapuk juga mesti dijual. Dari segi nilai, minyak tertinggi, tetapi serat kapuknya pun mesti dijual dalam jumlah besar,” katanya.
Kini, CV Bunga Kembang Enterprise mampu mengekspor minyak biji kapuk 3-5 kontainer per bulan. Sementara itu, bungkil kapuk diekspor sekitar 5 kontainer (100 ton) per bulan.
Pada akhir Juli 2019, Balai Karantina Pertanian Kelas I Semarang juga menyertifikasi 100 ton bungkil biji kapuk senilai sekitar Rp 343 juta, yang hendak diekspor ke Korea Selatan oleh CV Bunga Kembang Enterprise. (Kompas.id, 15/8/2019)
Baca juga: Perawatan Pohon Randu Tua
Nilai tambah
Diah mengaku serius pada ekspor komoditas hasil pohon kapuk randu tersebut. Salah satunya, pihaknya telah bekerja sama dengan Balitbang Kementerian Pertanian untuk melakukan penelitian. Selain itu, perusahaannya juga akan menanam 15.000 bibit pohon kapuk, yang disebar antara lain di Sragen dan Pati.
Salah satu hal yang ditekankan Diah adalah pentingnya peningkatan nilai tambah. Sebab, menurut dia, ada eksportir yang menjual ke luar negeri masih dalam bentuk biji kapuk. Padahal, jika diproses di dalam negeri, ada nilai tambah yang dihasilkan, bahkan lima kali lipat lebih tinggi. Meski begitu, hingga kini, belum ada aturan pelarangan ekspor produk kapuk dalam bentuk biji.
”Dengan diproses di Indonesia, produk ini bernilai lebih tinggi. Indonesia salah satu penghasil kapuk di dunia dan saat ini keberadaannya sudah semakin langka,” ujar Diah.
Dalam dokumen Pedoman Budidaya Kapuk yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian pada 2006, disebutkan, persentase minyak dari biji kapuk sebesar 22-25 persen, sedangkan rendemen pengepresan sekitar 20 persen.
Bungkil hasil pengepresan digunakan sebagai bahan pupuk karena memiliki kandungan nitrogen 4-5 persen dan asam fosfat 2 persen. Adapun penggunaan utama ialah untuk campuran makanan ternak, walaupun kulit biji untuk sejumlah ternak tidak mudah dicerna.
Kapuk randu yang beberapa waktu terakhir mulai dilupakan kembali mendapat peluang. Meski kian jarang jadi bahan isian bantal dan tilam, terganti dengan bahan busa dan sintetik lain, tetap ada elemen produk yang bernilai ekonomi, bahkan menjadi komoditas ekspor. Kini tinggal nilai tambah dan daya saing produk yang mesti terus ditingkatkan.