Jalan Tengah Investasi, Hutan Lestari dan Ekonomi Petani
Setelah bertahun-tahun dirundung konflik, areal konsesi hutan tanaman industri di Jambi meniti jalan damai. Penyelesaian konflik terus didorong dapat semakin meluas.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Hasmon Ovezar (43) akhirnya bisa tidur dengan lelap. Jika dulu dirinya selalu waswas menyandang label perambah liar, kini rasa khawatir telah sirna. Lahan garapannya telah diakui negara.
Lahan yang telah dikelolanya 11 tahun silam kini mendapatkan legalitas dari negara. Legalitas itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (SK Kulin KK). Luasnya 0,9 hektar di area hutan tanaman industri (HTI) PT Wanamukti Wisesa, Kabupaten Tebo, Jambi.
Selain Hasmon, ada 32 petani lainnya menerima pengakuan serupa. Total luas arealnya 121,7 hektar. Hasmon bersyukur, aktivitasnya menggarap lahan itu telah dinyatakan legal. Bahkan, aktivitasnya didukung lewat pemberdayaan.
Sejumlah pelatihan diberikan bagi mereka. Hasilnya, getah karet yang dipanennya berkualitas lebih baik. Getah karet itu diserap perusahaan dengan harga menggiurkan.
”Selisihnya bisa Rp 1.000 hingga Rp 1.500 per kilogram,” jelasnya, Jumat (24/7/2020). Jika pengepul membeli getah karetnya Rp 6.000 per kg, perusahaan dapat menyerapnya dengan harga Rp 7.500.
Hasmon merupakan Ketua Kelompok Tani Hutan Karang Jaya, Kabupaten Tebo. Pertama kali dirinya tinggal di sana tahun 2002. Tujuh tahun berselang, salah seorang temannya meminjam uang karena kebutuhan yang mendesak. Hasmon ditawari agunan lahan karet berusia tanam dua tahun.
Ketika teman tersebut gagal membayar utang, lahan pun beralih padanya. Namun, Hasmon tak mengetahui bahwa status lahan itu ternyata kawasan hutan negara. ”Saya pun belum tahu bahwa hutan ini telah dikelola perusahaan,” katanya.
Baru belakangan dia mengetahui kebun karetnya tumpang tindih dengan konsesi HTI. Kenyataan itu ia dapati karena beberapa kali didatangi petugas kehutanan. Aktivitasnya mengelola tanaman karet disebut-sebut ilegal. ”Saya sering waswas kalau suatu hari lahan ini akan digusur. Saya akan kehilangan mata pencarian,” kenangnya.
Tahun lalu, Hasmon dan kelompok taninya mendapatkan tawaran program pembinaan petani kecil dari perusahaan. Meski awalnya sempat ragu, ia menerima juga program tersebut. Ternyata, tak sekadar pembinaan yang didapatkan, para petani akhirnya memperoleh legalitas atas lahan garapan mereka.
Perhutanan sosial
SK Kulin KK merupakan izin pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan. Program ini menjadi bentuk perhutanan sosial yang digalakkan pemerintah untuk mengatasi konflik di areal konsesi.
Kelompok tani dan perusahaan didorong menjalin kerja sama kemitraan. Petani menanam tanaman kehutanan yang dapat menunjang produktivitas perusahaan, sementara perusahaan bertanggung jawab membina petani lewat pelatihan, sosialisasi, dan pendampingan produktif.
Kelompok tani dan perusahaan didorong menjalin kerja sama kemitraan.
Setelah dibina agar dapat menghasilkan tanaman berkualitas baik, perusahaan pun didorong berinisiatif menyerap hasil panen petani dengan harga lebih kompetitif dari harga pengepul.
Di samping bertani karet, para petani juga didorong mengoptimalkan area pekarangan rumahnya menjadi lebih produktif melalui kegiatan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL). Pekarangan rumah ditanami beragam jenis tanaman sayur dan pangan lainnya. Semuanya demi menunjang kebutuhan hidup sehari-hari.
”Apa yang kita makan itu yang kita tanam. Cabai, kangkung, dan sayuran lainnya ditanam bersama untuk kebutuhan pangan,” jelas Suhono, petani lainnya yang menggarap 3,6 hektar. Ia tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Wana Mitra Lestari.
Pada masa pandemi ini, ketersediaan bahan pangan yang tercukupi dari pekarangan sangat membantu para petani. Mereka pun dapat mewujudkan ketahanan pangan. Bahkan, sebagian petani telah mampu menghasilkan sayuran dan bahan pangan melimpah sehingga dapat dijual untuk menambah tabungan keluarga. Agar produksi sayuran terus bertambah, Suhono memanfaatkan kotoran kambing peliharaannya sebagai pupuk.
Apa yang kita makan itu yang kita tanam. Cabai, kangkung, dan sayuran lainnya ditanam bersama untuk kebutuhan pangan.
Koloni lebah madu yang dibudidayakan petani di area perhutanan sosial di Jambi.Akhir Juli lalu, Gubernur Jambi Fachrori Umar menyerahkan SK Kulin KK kepada petani yang selama ini lahannya mengokupasi areal kerja PT Lestari Asri Jaya dan PT Wanamukti Wisesa. SK ini merupakan yang pertama untuk kawasan hutan tanaman industri di Jambi.
Realisasi ini tak lepas dari peran tim resolusi konflik perusahaan yang dibentuk Agustus 2018 untuk meminimalkan potensi konflik dalam wilayah konsesi. Tim terdiri atas kalangan independen dan multipihak mulai dari pemerintah pusat, provinsi, pemerintah kabupaten, dan perwakilan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.
Fachrori mengapresiasi kemitraan yang dibangun dalam Perhutanan Sosial. Itu sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. ”Kemitraan kehutanan ini menjadi resolusi konflik para petani yang telanjur menggarap lahan di kawasan hutan. Mereka kini mendapatkan kepastian hukum untuk mengelola,” katanya.
Direktur PT Royal Lestari Utama, perusahaan induk PT LAJ dan PT WW, Polmer Nababan menyebut kemitraan dibangun dengan 18 desa dan 3 kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan hutan itu. Selain pelatihan karet produktif, pertanian terpadu tanaman pangan, mulai dirintis pula budidaya madu.
”Semoga ini menjadi solusi terbaik sehingga investasi dapat berjalan baik, hutan tetap lestari, dan masyarakat sejahtera,” ujarnya.