Sultan HB X Serahkan Pengaturan Sanksi Protokol Kesehatan ke Kabupaten/Kota
Pemerintah Daerah DI Yogyakarta belum berencana menerbitkan regulasi terkait sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan. Pengaturan sanksi protokol kesehatan diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota.
Oleh
HARIS FIRDAUS/NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menyatakan belum berencana menerbitkan regulasi khusus yang mengatur penerapan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar protokol kesehatan. Namun, pemerintah kabupaten/kota di DIY dipersilakan membuat aturan tersebut jika dirasa perlu.
”Kalau tingkat dua (kabupaten/kota) sudah melakukan (mengatur sanksi), ya, biar tingkat dua yang melakukan. Wong, yang punya rakyat juga di tingkat dua, kok,” kata Sultan HB X saat ditemui di Kantor Gubernur DIY, Kota Yogyakarta, Selasa (11/8/2020).
Sebelumnya, pada 4 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Salah satu isi inpres itu adalah memerintahkan gubernur, bupati, dan wali kota untuk menerbitkan regulasi yang, antara lain, mengatur sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.
Menurut inpres tersebut, sanksi itu bisa berupa teguran lisan, teguran tertulis, kerja sosial, denda administratif, atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha. Pihak yang bisa dikenai sanksi adalah perseorangan, pelaku usaha, dan pengelola fasilitas umum. Adapun regulasi untuk mengatur sanksi itu bisa berupa peraturan gubernur atau peraturan bupati/wali kota.
Menanggapi terbitnya Inpres No 6 Tahun 2020, Sultan menyatakan belum berencana menerbitkan peraturan gubernur yang mengatur soal sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Sultan juga berpendapat, penerapan sanksi itu merupakan sesuatu yang tidak wajib.
Apalagi, sejumlah kabupaten/kota di DIY juga sudah menerbitkan regulasi soal sanksi itu. ”Pengertian sanksi itu, kan, dimungkinkan. Dimungkinkan itu, kan, bisa iya, bisa tidak,” kata Sultan HB X yang juga merupakan Raja Keraton Yogyakarta.
Selama masyarakat masih bisa diajak berdialog, penerapan sanksi sebenarnya tidak dibutuhkan.
Dalam kesempatan sebelumnya, Sultan menuturkan, selama masyarakat masih bisa diajak berdialog, penerapan sanksi sebenarnya tidak dibutuhkan. Dengan dialog, masyarakat diharapkan memiliki kesadaran menerapkan protokol kesehatan tanpa harus dikenai sanksi. ”Selama masih bisa berdialog, ya, berdialog saja,” ujarnya.
Sultan juga mengatakan, kebijakan yang diambil pemerintah daerah seharusnya bisa mendorong masyarakat untuk sadar menerapkan protokol kesehatan. Dengan demikian, masyarakat menjadi subyek dari penerapan kebijakan, bukan sekadar obyek yang harus melaksanakan kebijakan pemerintah.
”Saya punya pendapat, lebih baik kebijakan itu mendorong masyarakat punya kesadaran dan dia (masyarakat) sebagai subyek dari kebijakan. Jangan kepala daerah punya kebijakan yang memerintah rakyatnya, tapi bagaimana tumbuh kesadaran,” ucap Sultan.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Biwara Yuswantana mengatakan, Inpres No 6 Tahun 2020 memuat klausul bahwa penyusunan peraturan gubernur atau peraturan bupati/wali kota terkait protokol kesehatan bisa menyesuaikan dengan kearifan lokal. Oleh karena itu, dia menyebutkan, penerapan protokol kesehatan bisa menyesuaikan kearifan lokal di DIY yang menganggap masyarakat sebagai subyek, bukan obyek kebijakan.
”Di inpres itu, kan, ada klausul penerapan protokol kesehatan disesuaikan dengan kearifan lokal. Kalau kita, kearifan lokalnya lebih pada masyarakat sebagai subyek,” ujar Biwara.
Kabupaten/kota
Meski begitu, Biwara menuturkan, sejumlah pemerintah kabupaten/kota di DIY sudah mengatur penerapan sanksi untuk mereka yang melanggar protokol kesehatan. Penerapan sanksi tersebut, antara lain, sudah dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul dan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta.
Pengaturan sanksi di Bantul dilakukan melalui Peraturan Bupati (Perbup) Bantul Nomor 79 Tahun 2020 tentang Adaptasi Kebiasaan Baru Protokol Kesehatan Pencegahan Covid-19. Perbup yang terbit pada Juli itu, antara lain, mewajibkan setiap warga yang berkegiatan di luar rumah untuk memakai masker.
Mereka yang melanggar kewajiban memakai masker itu bisa dikenai sanksi berupa teguran, larangan memasuki lokasi kegiatan masyarakat, pembinaan bersifat edukatif, tidak diberikan layanan publik dalam waktu paling lama 14 hari, atau denda administratif sebesar Rp 100.000.
Sanksi juga bisa dikenakan kepada penanggung jawab sebuah kegiatan yang tidak memenuhi protokol kesehatan. Sanksi untuk penanggung jawab kegiatan itu bisa berupa teguran tertulis, penutupan atau pembubaran paksa kegiatan, atau pencabutan izin.
Selain itu, sanksi juga bakal dikenakan kepada pelaku perjalanan yang tidak melaksanakan karantina mandiri selama 14 hari. Sanksi itu berupa teguran tertulis dan upaya paksa melakukan karantina di rumah. Sementara itu, mereka yang menghalangi pelaku perjalanan melakukan karantina mandiri bisa dikenai sanksi teguran tertulis dan denda paling banyak Rp 500.000.
Di Kota Yogyakarta, pengaturan sanksi dilakukan melalui Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 pada Masa Tatanan Normal Baru di Kota Yogyakarta. Aturan itu menyatakan, warga yang tak memakai masker di tempat umum bisa dikenai sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, kerja sosial membersihkan fasilitas umum, atau denda Rp 100.000.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi menyampaikan, pemberian sanksi di lapangan menjadi kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Yogyakarta. Sanksi diberikan jika pelanggar protokol kesehatan tak mematuhi teguran yang dilayangkan petugas. Oleh karena itu, penyampaian sanksi dilakukan secara bertahap.
Sanksi diberikan jika pelanggar protokol kesehatan tak mematuhi teguran yang dilayangkan petugas.
”Tetap kami lakukan (sanksi). Itu adalah opsi. Bisa hanya ditegur, atau dilarang, hingga dicabut izinnya. Kewenangannya terdapat di Satpol PP,” ucap Heroe.
Sementara itu, Bupati Sleman Sri Purnomo menyatakan, pihaknya masih merumuskan pemberian sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Adapun sanksi yang diberikan berupa sanksi sosial, misalnya bersih-bersih lingkungan. Sanksi sosial dinilai lebih bisa mengena bagi masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran protokol kesehatan di kemudian hari.
”Kalau disuruh sapu-sapu atau bersih-bersih rumput, itu menjadi lebih terkenang bagi masyarakat daripada disuruh membayar Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Itu juga turut berpartisipasi membersihkan lingkungan. Arahnya lebih ke sanksi sosial dan edukatif,” kata Sri.
Selain itu, Sri mengungkapkan, pihaknya juga mendorong organisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk turut serta menyosialisasikan penerapan protokol kesehatan. Penerapan protokol tersebut memerlukan kesadaran segenap masyarakat. Kesadaran itu yang nantinya dapat mencegah penularan meski masyarakat kembali beraktivitas di ruang-ruang publik.