Pohon kelapa pernah menjadi gantungan hidup banyak warga penderes dan pembuat gula merah di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kini, secara perlahan kegiatan itu ditinggalkan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Sejak berpuluh tahun lalu, pohon kelapa tidak pernah absen dalam denyut nadi aktivitas masyarakat Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Jika dahulu hasil niranya banyak dimanfaatkan untuk beragam jajanan, kini sebagian warga menemukan variasi kreativitas baru dengan membuat bonsai kelapa atau bonkla.
Satu di antara warga yang bergiat dalam pengembangan bonkla adalah Abdul Choliq (40), warga Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur. Sehari-hari bekerja sebagai perajin batu bata, ia terkejut melihat banyak orang di Bali telah membuat bonsai dari kelapa. Di desanya yang begitu banyak pohon kelapa, belum ada satu pun warga membuat produk serupa.
Tahun 2018, Choliq memutuskan memulai merintis usaha budidaya bonkla. Bertekad memulai semuanya dari nol, ia menolak memakai bibit atau calon tanaman bonsai yang banyak dijual di pasaran. Dia memilih memulai usaha dengan memakai bahan kelapa, yaitu buah kelapa yang sudah tua, jatuh dan mengering.
Saat memulai itu, ia hanya memiliki lima pohon kelapa yang semua buahnya belum mengering. Namun, kondisi itu tidak menghalangi niatnya.
”Karena tidak memiliki bahan kelapa sendiri, maka saya mencari-cari, mengumpulkan buah kelapa kering,yang saya liat jatuh, berserakan di halaman dan kebun-kebun milik tetangga,” ujarnya. Dianggap tidak berguna, ketika itu buah kelapa kering sering kali dibiarkan berserakan begitu saja di halaman.
Pada tahap awal, Choliq memulai melakukan uji coba budidaya menggunakan 10 butir kelapa kering. Pembelajaran otodidak dengan melihat di internet, termasuk di media sosial. Ketika yang dilakukannya tidak membuahkan hasil, dia kembali mencari dan mengumpulkan buah kelapa kering. Hal ini dilakukannya berulang kali selama dua bulan hingga menghabiskan 25 butir kelapa, yang lima butir di antaranya gagal.
Keberhasilan dari uji coba tersebut memicu semangat Choliq untuk meneruskan usaha budidaya bonkla. Dia terus mengumpulkan bahan kelapa. Terakhir, dengan menggunakan 300 bahan kelapa, dia mampu membuat 250 bonkla.
Pengetahuannya tentang bonkla makin diperdalam dengan bergabung Komunitas Bonkla Magelang. Seiring dengan itu, keterampilannya melakukan budidaya semakin terasah dengan coba melakukan budidaya bonkla menggunakan media tanam air.
Jika dahulu menekuni sebatas coba-coba, budidaya bonkla saat ini mampu memberikan penghasilan tambahan yng bisa diandalkan, di luar usaha batu-bata yang masih dilakukannya hingga kini. Bonkla milik Choliq dijual Rp 200.000 hingga Rp 1 juta per tanaman. Dari penjualan tersebut, rata-rata penghasilan yang didapatkan berkisar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan.
Semangat budidaya bonkla juga dirasakan Tri Mulyoko (33). Memulai budidaya bonkla dan belajar semuanya sendiri secara otodidak sejak dua tahun lalu, kini dia memiliki sedikitnya 50 bonkla siap jual. Selama ini, ia telah aktif menjual bonkla ke berbagai daerah, antara lain Jember, Semarang, dan Bali.
Penjualan bonkla ini, menurut dia, juga memberikan penghasilan tambahan, yang bahkan terus ada dan tidak terganggu oleh situasi pandemi. ”Pandemi atau tidak, saya masih bisa mendapatkan pemasukan berkisar Rp 400.000 hingga Rp 1 juta per bulan,” ujarnya.
Pelestarian kelapa
Pegiat wisata dan anggota kelompok sadar wisata Desa Karangrejo, Agus Prayitno (35), selama beberapa bulan terakhir turut mendorong para pemuda desa untuk belajar membuat bonkla. Mereka yang tertarik dengan budidaya ini diarahkan untuk belajar pada warga lain yang terlebih dahulu mulai melakukan budidaya, seperti Choliq atau Mulyoko.
Untuk mendorong agar para pemuda giat melakukan budidaya, Agus menyediakan rak khusus di warungnya, Gubuk Kopi. Rak tersebut dimaksudkan sebagai tempat pamer bonsai, karya dari para pemuda. Saat ini ada 50 bonkla siap jual seharga Rp 200.000 hingga Rp 700.000 per pot.
Agus mengatakan, aktivitas budidaya bonkla ini penting didukung karena secara tidak langsung akan mampu menumbuhkan kembali kecintaan masyarakat terhadap pohon kelapa. ”Setelah perlahan mulai mencintai, maka nantinya diharapkan juga akan tumbuh semangat untuk melestarikan pohon kelapa,” ujarnya.
Pohon kelapa memang sangat lekat dengan kehidupan masyarakat Borobudur. Keberadaan pohon ini di tengah masyarakat bahkan terukir di relief Candi Borobudur.
Dahulu, di kawasan Borobudur, termasuk di Desa Karangrejo, pohon kelapa dianggap menjadi tanaman yang sangat penting untuk dilestarikan. Dari tanaman inilah ribuan orang menggantungkan hidup dengan bekerja sebagai penderes nira dan perajin gula merah.
Namun, seiring waktu, perkembangan pembangunan, dan makin beragamnya pekerjaan di berbagai sektor, pekerjaan sebagai penderes dan pembuat gula merah tidak lagi dianggap menjanjikan. Banyak generasi muda kini bahkan tidak mau dan tidak berani memanjat pohon kelapa.
Agus, yang juga terlahir dari keluarga penderes nira, mengatakan, sekitar 15 tahun lalu, lebih dari 30 orang di Desa Karangrejo bekerja sebagai penderes nira. Namun, saat ini jumlah penderes nira tidak lebih dari 12 orang.
”Semua penderes nira yang masih aktif bekerja berusia 40 tahun ke atas. Tidak ada lagi gernerasi muda yang mau melanjutkan pekerjaan sebagai penderes,” ujarnya.
Kepala Desa Karangrejo M Hely Rofikun mengatakan, seiring minimnya penderes yang tidak lagi diminati, keberadaan pohon kelapa pun tidak lagi dianggap penting. Banyak pohon kelapa ditebang dan kayunya dimanfaatkan untuk membangun rumah untuk kebutuhan warga. Penebangan ini tidak diikuti oleh kegiatan penanam kembali. Akibatnya, jumlah pohon kelapa pun menurun drastis.
”Dahulu setiap keluarga minimal memiliki dua pohon kelapa. Namun, kini sekitar 30 persen keluarga bahkan tidak sama sekali memiliki pohon kelapa,” ujar Hely. Desa Karangrejo berpenduduk sekitar 900 keluarga.
Aktivitas budidaya bonkla yang baru muncul ini diharapkan dapat membantu menggerakkan minat warga untuk kembali memanfaatkan dan melestarikan pohon kelapa.
Choliq mengatakan, selain membuat bonsai dengan memanfaatkan buah kelapa dari pohon yang sudah ada, dia juga sudah mempersiapkan bibit pohon untuk ditanam.
Pengetahuan tentang budidaya bonkla, yang didapatkannya setelah bergabung dalam komunitas, juga memberinya tambahan informasi untuk lebih menghargai tanaman, khususnya pohon kelapa. Salah satu bentuk upaya menghargai tanaman, ia tidak melakukan trik tebas ekstrem yang biasanya sering dilakukan pembudidaya yang ingin mengerdilkan tanaman secara cepat. Dari sejumlah anggota komunitas, ia juga diajari untuk tidak sembarangan mencongkel pohon kelapa yang secara alami sudah tumbuh kerdil di halaman.
Di Desa Karangrejo saja, saat ini sudah ada 15 orang yang aktif, melakukan budidaya bonkla. Ia berharap akan ada semakin banyak orang terlibat karena ketersediaan pohon kelapa di desa masih cukup banyak. Dengan keterlibatan tangan-tangan warga yang mengembangkan bonsai, nantinya diharapkan juga dapat merawat dan menjaga pohon-pohon kelapa di desa.
Upaya pelestarian memang sangat dibutuhkan agar pohon kelapa tetap ada di ada, dikenali keberadaannya di alam, dan tidak sebatas tersisa sebagai rekaman memori yang terukir di relief Candi Borobudur. Bonkla-bonkla menyemai pelestarian kelapa.