Masyarakat adat di Kalimantan Barat hingga kini terus berjuang meraih hak-haknya, antara lain berladang secara tradisional dan meraih hak atas wilayah adat serta hutan adat.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Masyarakat adat di Kalimantan Barat hingga kini terus berjuang meraih hak-haknya, antara lain berladang secara tradisional dan meraih hak atas wilayah adat serta hutan adat. Meskipun sudah ada sejumlah capaian hasil perjuangan, hak-hak masyarakat adat hingga kini masih terancam.
Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat Dominikus Uyub, saat memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia (Himas), Minggu (9/8/2020), menuturkan, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 9 Agustus sebagai Himas yang bersejarah, mengingat pertemuan perdana kelompok kerja PBB tentang masyarakat adat pada 1982.
Pada momentum itulah isu masyarakat adat mulai dibahas serius dan terbuka di forum internasional. Gerakan masyarakat adat di Kalbar dimulai para pendiri Gerakan Pancur Kasih pada 1981 melalui program, antara lain, ekonomi kerakyatan (credit union) dan penelitian. Selain itu, pendidikan kritis, advokasi hukum, pengorganisasian, dan pemetaan partisipasi wilayah adat.
Para pendiri Pancur Kasih membentuk Aliansi Masyarakat Adat Kalbar 16 Juni 1998, respons terhadap situasi keterpurukan masyarakat adat yang mengalami diskriminasi, proses penjajahan, penindasan, dan peminggiran terus-menerus.
Masyarakat adat meneruskan perjuangan hingga kini untuk mendapat pengakuan dan hak atas hidup, di antaranya hak atas berladang secara tradisional. Peladang mendapatkan pendampingan secara hukum dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan beberapa pihak, salah satunya dalam kasus enam peladang yang mendapat putusan bebas oleh Pengadilan Negeri Sintang, Maret 2020.
AMAN juga telah membentuk Persatuan Peladang Tradisional Kalbar untuk memperjuangkan hak peladang. Persatuan Peladang Tradisional Kalbar memiliki jaringan langsung ke komunitas AMAN di Kalbar.
Meraih hak
Masyarakat adat juga terus bergerak meraih hak atas wilayah adat dan hutan adat mereka. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012, masyarakat adat telah merebut wilayah adat dengan melakukan uji materi Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan melalui putusan MK.35/PUU-X/2012.
Putusan MK menyatakan hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan negara. Dengan adanya putusan itu, diharapkan ada aturan turunan yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Gerakan masyarakat adat di Kalbar juga telah mendorong tujuh peraturan daerah (perda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, yakni di Kabupaten Sintang, Sanggau, Landak, Melawi, Bengkayang, Sekadau, dan Kapuas Hulu. Implementasi dari mandat perda tersebut, telah ditetapkan sebanyak 12 komunitas di Kalbar melalui surat keputusan (SK) bupati, serta 10 SK penetapan hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
”Setidaknya 1,7 juta ha wilayah adat di Kalbar telah dipetakan secara partisipatif oleh masyarakat hukum adat. Dari data tersebut, telah terbit tujuh unit perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat,” ujar Uyub.
Terdapat 16 SK bupati tentang pengakuan masyarakat hukum adat di empat kabupaten, dengan luas wilayah 166.592,18 ha, dengan potensi hutan adat 66.943,90 ha. Dari luas hutan adat tersebut, baru 4.626,30 ha yang telah mendapatkan SK Menteri LHK dan sekitar 62.317.60 ha yang harus diverifikasi teknis oleh KLHK agar mendapat SK Menteri LHK.
Namun, masih ada beberapa kabupaten belum mengimplementasikan perda. Hal itu dibuktikan dengan masih adanya beberapa kabupaten yang belum memiliki perda tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Tantangan lainnya, adanya maklumat dari Kepolisian Daerah Kalbar terkait larangan membakar hutan dan lahan yang membuat resah peladang. Peladang resah karena adanya masyarakat adat yang ditangkap karena membakar ladang seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Wakil Ketua I Dewan AMAN Kalbar Stefanus Masiun menuturkan, tantangan masyarakat adat masih besar. Hak-hak kelola masyarakat adat masih terus menghadapi ancaman. Dari sekitar 14,7 juta ha wilayah Kalbar, wilayah kelola masyarakat hanya 3 juta ha.
”Artinya masa depan masyarakat adat mengerikan karena mereka hidup dan tumbuh berbasis sumber daya alam. Kalau ini tidak diselamatkan, maka masa depan masyarakat adat suram,” kata Masiun.
Upaya AMAN membuat negara lebih perhatian untuk melindungi hak masyarakat adat juga dilakukan 2012 dengan mengajukan rancangan peraturan daerah masyarakat adat. Prosesnya hingga kini belum berhasil disahkan di tingkat provinsi.
Secara nasional, AMAN juga menginginkan keberpihakan negara yang lebih nyata dengan UU masyarakat adat. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda UU itu akan dibahas, apalagi untuk disahkan.
Dari data AMAN Kalbar, berdasarkan basis kampung dan wilayah ketemenggungan, ada 169 komunitas adat Dayak di Kalbar. Direktur Eksekutif Institut Dayakologi (ID) Krissusandi Gunui’ menuturkan, terkait jumlah peladang, ID pernah meneliti di Kabupaten Ketapang, jika dalam suatu kampung terdapat 100 keluarga, sekitar 60 persen yang berladang. Dari 60 persen itu yang masih menggunakan kearifan lokal tidak lebih dari 40 persen.
Kepala Bidang Humas Polda Kalbar Komisaris Besar Donny Charles Go, seusai apel pengecekan sarana untuk mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan, Selasa (7/7), menuturkan, Kepala Polda Kalbar telah mengeluarkan maklumat yang lebih banyak persuasif untuk mengingatkan korporasi maupun masyarakat untuk tidak membuka lahan dengan membakar.