Mahasiswa Timor Tengah Selatan Meminta Komnas HAM Turun ke Besipae
Perwakilan mahasiswa Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur mendesak Komnas HAM RI turun ke lapangan mendengar aspirasi masyarakat lima desa di wilayah Besipae Kecamatan Amanuban Selatan, TTS.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Perwakilan mahasiswa Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, mendesak Komnas HAM turun ke daerah itu untuk mendengar aspirasi masyarakat lima desa di wilayah Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, TTS. Sekitar 2.000 warga dari tiga desa itu, saat ini merasa diintimidasi aparat keamanan, meninggalkan lahan itu oleh Pemprov NTT.
Koordinator Aksi Damai Perwakilan Mahasiswa Timor Tengah Selatan (TTS) Francis Natun di Kupang, Jumat (7/8/2020) mengatakan, warga adat Besipae yang tinggal di lima desa, yakni Mio, Linamnutu, Oe Ekam, Oe Tete, dan Desa Polo di Kecamatan Amanuban Selatan, TTS, resah karena dipaksa keluar dari lahan itu oleh dinas peternakan dan pemprov. Oknum anggota Polres TTS sering datang ke lokasi dengan sikap tak ramah terhadap warga yang tinggal di hutan itu.
Ini tindakan sepihak, pemaksaan, teror, dan intimidasi terhadap warga. Warga tidak pernah diajak bicara, tiba-tiba ada upaya merelokasi warga dari lahan warisan leluhur selama ini. (Francis Natun)
Menurut Francis Natun, enam polisi TTS datang ke Besipae, dengan tiga tugas yakni mendata jumlah warga desa di dalam kawasan hutan, melakukan penertiban, dan merelokasi warga. ”Ini tindakan sepihak, pemaksaan, teror, dan intimidasi terhadap warga. Warga tak pernah diajak bicara, tiba-tiba ada upaya merelokasi warga dari lahan warisan leluhur selama ini,” katanya.
Komnas HAM, ujar Francis, perlu segera datang ke Besipae untuk berdialog dengan masyarakat dan menyelesaikan masalah konflik tanah antara warga adat dan Pemprov NTT. Upaya pemprov mengambil dan menguasai lahan Besipae seluas 3.780 hektar (ha) dengan cara mengusir pemilik lahan dari lokasi itu, bertentangan dengan hak-hak masyarakat sipil untuk menempati lahan permukiman dan tanah olahan yang diatur undang-undang.
Perwakilan mahasiswa yang hendak masuk ke halaman Gedung DPRD NTT dihadang satpol PP. Mereka pun terpaksa berorasi di Jalan El Tari, sekitar 200 meter dari Gedung DPRD.
Pada era keterbukaan informasi dan demokrasi ini, tidak boleh lagi ada pemaksaan kehendak yang cenderung menindas masyarakat. Masyarakat berjuang mempertahankan tanah ulayat, sebagai warisan leluhur. Mereka lahir dan besar di tanah itu termasuk nenek moyang mereka.
Sekitar 2.000 warga yang mendiami lima desa di Besipae tidak bisa diabaikan begitu saja. Segala upaya mempertahankan tanah ulayat itu terbentur pada kekuasaan yang sulit mereka hadapi. Masyarakat Besipae, yang diwakili belasan ibu-ibu pada 22 Mei 2020 melakukan aksi telanjang dada saat menyambut kedatangan Gubernur NTT Viktor Laiskodat ke lokasi itu.
Dialog antara pemprov dan masyarakat adat belum mencapai kesepakatan bersama. Pemprov NTT pun bersikeras menguasai lahan itu dan mendesak masyarakat segera meninggalkan lokasi. Alasannya di atas lahan tersebut akan dibangun instalasi peternakan sapi sekaligus pakan ternak di wilayah itu.
Dalam kesempatan itu, mahasiswa mengajukan sembilan tuntutan, antara lain, menolak penggusuran warga Besipae, mencabut sertifikat hak pakai, menghentikan segala bentuk intimidasi, menghentikan pendataan, penertiban, dan rencana relokasi warga. Mereka juga mendesak penghentian semua aktivitas pembangunan di lokasi Besipae sebelum adanya penyelesaian, mengakui hak lahan terhadap masyarakat adat dan hutan adat Besipae.
Praktisi Hukum NTT Gabriel Suku Kotan mengatakan, sertifikat hak pakai (SHP) Nomor 1/Desa Mio Tahun 1986 pada lahan instalasi peternakan Besipae atas nama Dinas Peternakan dengan tenggat waktu pengelolaan selama 25 tahun, telah selesai pada 2012. Jika diperpanjang maka perlu musyawarah dengan masyarakat adat setempat.
Ia mengatakan, pemprov lebih paham soal adat dan hak-hak masyarakat, tentu tidak ada upaya pengambilan lahan itu secara paksa apalagi merugikan masyarakat.
Aksi ibu-ibu Besipae 22 Mei 2020 yang telanjang dada menghadang Gubernur Viktor Laiskodat, viral di media sosial, sebagai bentuk penolakan atas pengambilan lahan itu oleh pemprov. Mereka tidak punya cara lain, selain bertelanjang dada, meminta perhatian Pemprov NTT agar lahan tetap menjadi hak warga.
Kepala Biro Humas Setda NTT Marius Jelamu membantah ada upaya pengambilan lahan di Besipae oleh pemprov secara paksa, juga tidak ada relokasi warga dari Besipae. Pemprov sedang bernegosiasi dengan warga setempat soal lahan pertanian dan peternakan Besipae untuk pengembangan ternak dan pertanian.