Praktik prostitusi daring yang melibatkan remaja masih terjadi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Remaja itu dibujuk muncikarinya melalui iklan lowongan pekerjaan terapis pijat di medsos.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Praktik prostitusi daring melibatkan remaja belasan tahun diungkap di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Remaja itu dibujuk muncikarinya melalui iklan lowongan pekerjaan di media sosial. Motif ekonomi dianggap melatarbelakangi berlangsungnya praktik tersebut.
SF (23), warga asal Kulon Progo, DI Yogyakarta, diciduk jajaran aparat Kepolisian Resor (Polres) Sleman, Juli lalu. Ia menjadi muncikari dari empat pekerja seks komersial (PSK) yang penawaran jasanya dilakukan secara daring. Keempat orang yang dipekerjakan SF berusia di bawah 24 tahun. Bahkan, salah seorang masih berusia 16 tahun.
”Yang bersangkutan ini mempekerjakan perempuan dengan memfasilitasi ponsel dan tempat tinggal. Dari hasil transaksinya, sebesar 60 persen untuk korban (PSK yang dipekerjakan) dan 40 persen untuk tersangka,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Sleman Ajun Komisaris Denny Irwansyah dalam pengungkapan kasus prostitusi daring, di Polres Sleman, DIY, Selasa (4/8/2020).
Denny menjelaskan, sebanyak empat korban yang dipekerjakan SF dijaring melalui unggahan iklan lowongan pekerjaan di laman Facebook. Dalam unggahan itu, pekerjaan yang ditawarkan adalah terapis pijat. Namun, pada akhirnya, korban justru ditawari menjadi PSK dalam jaringan prostitusi daring. Korban tetap menerima tawaran itu karena terdesak kondisi ekonomi masing-masing.
Jasa prostitusi daring itu ditawarkan melalui media sosial Twitter. Tarif yang dikenakan sebesar Rp 400.000 untuk satu kali kencan. SF mengaku baru beroperasi sebagai muncikari selama satu pekan sebelum diciduk aparat kepolisian.
”Saya baru satu minggu sama anak-anak ini. Sebelumnya, saya sendiri (menjadi PSK). Anak-anak itu memang mau ikut saya dan sudah tahu profesi saya. Barangkali, mereka tergiur dengan penghasilannya,” kata SF.
SF tidak menyebutkan berapa banyak penghasilan yang diperolehnya dari praktik prostitusi daring tersebut. Atas perbuatannya, SF dianggap melanggar Pasal 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Pasal 76 F Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, atau Pasal 296 KUHP.
Dihubungi terpisah, Suprapto, sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan, kemunculan fenomena prostitusi daring merupakan dampak dari pergeseran sistem komunikasi dan informasi. Semula, kedua hal itu dilakukan secara langsung. Perkembangan teknologi memungkinkan transaksi tidak dilakukan tanpa tatap muka, tetapi melalui perantara, yakni media sosial.
”Sistem ini memberikan pilihan kepada pelaku prostitusi. Kemudian, mereka menggunakan media ini sebagai sarana memberitahukan kepada orang lain apa yang mereka lakukan,” kata Suprapto.
Suprapto menambahkan, adanya PSK berusia remaja dari praktik prostitusi daring disebabkan sejumlah faktor. Salah satu yang paling kerap dijumpai ialah lemahnya kondisi perekonomian keluarga. Di sisi lain, remaja tersebut juga ingin memperoleh banyak uang secara instan akibat lingkungan pergaulan yang bergaya hidup tinggi.
”Misalnya, teman sepermainan memiliki ponsel canggih. Itu dilihat si anak sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun, kemampuan ekonomi orangtua tidak bisa memenuhinya. Maka, anak itu mencari cara lain. Karena, sekarang ini ada jaringan internet dan medsos, dia menggunakan sarana itu dengan cara prostitusi daring ini,” kata Suprapto.