Belajar Mandiri, Semangat Belajar Tak Surut karena Pandemi
Sembilan tahun lalu, Besiap (16) mengawali petualangannya. Mimpinya menjadi guru Rimba akhirnya terwujud untuk terus ditularkan kepada anak-anak sebaya. Semangat belajar bahkan tak terbendung, oleh pandemi sekalipun.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Sembilan tahun lalu, Besiap (16) mengawali petualangannya. Mimpinya menjadi guru Rimba akhirnya terwujud untuk terus ditularkan kepada anak-anak sebaya. Semangat belajar bahkan tak terbendung, oleh pandemi sekalipun. Sebuah rumah kayu jadi tempat mereka berkumpul. ”Ibo mulai belajor (Iya, mau mulai belajar?” ujar Besiap disambut anak-anak yang berkumpul di hadapannya, Jumat (17/7/2020).
”Sang guru” menuliskan huruf-huruf pada selembar karton bekas pengganti papan tulis. Setiap kali goresan huruf selesai dibuat, anak-anak serentak mengejanya. Setelah lancar, satu per satu huruf dituliskan pada buku tulis.
Pada kesempatan berikutnya, Besiap membacakan buku cerita berwarna. Mulailah mereka hanyut dalam sebuah kisah. Saat cerita berakhir, anak-anak diizinkan rileks sejenak. Namun, mereka tak kunjung beranjak meninggalkan lantai itu. Kardus lusuh berisikan buku-buku cerita jadi santapan berikutnya.
Bagi anak-anak Rimba di pinggir Taman Nasional Bukit Duabelas, Provinsi Jambi, belajar adalah saat-saat yang dinantikan. Di tengah hutan yang jauh dari sistem dan fasilitas pendidikan formal, belajar dapat berlangsung kapan saja dan di mana saja. Apalagi di tengah pandemi, belajar di rimba dianggap jauh lebih aman dari ancaman penyebaran penyakit ketimbang belajar dalam kelas. Tak jarang malam telah larut, tetapi anak-anak masih belajar bersama. ”Guru sudah mengantuk. Murid-murid masih semangat,” ucapnya tergelak.
Niat belajar
Besiap mengawali perburuannya menimba ilmu sembilan tahun lalu. Kala itu, ia masih berusia kira-kira tujuh tahun. Sang bocah terkagum-kagum melihat guru sukarelawan dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang datang untuk mengajar anak-anak dalam rimba Bukit Duabelas di Kabupaten Batanghari. Ketika saatnya guru harus bertolak pulang, Besiap masih ingin belajar. Ia bermaksud menahan, tetapi Abdi, guru tersebut, telah pergi.
Berbekal seadanya, Besiap dan kedua temannya menyusul Abdi. Mereka berjalan kaki menuju Kabupaten Sarolangun. Malam pertama, anak-anak itu menumpang istirahat di pos jaga milik perusahaan sawit. Malam kedua, mereka menumpang tidur di sebuah pos ronda. Bekal roti dimakan sehemat mungkin. ”Siangnya tak makan. Bekal hanya dimakan malam hari,” ujarnya mengenang.
Mereka beruntung masih sempat bertemu Abdi. Melihat besarnya usaha ketiga anak ini untuk belajar, Abdi akhirnya membawa mereka ke rumah indekosnya di Kota Jambi. Di sana, mereka dapat kembali belajar bersama. Setelah hampir sepekan, Besiap mengetahui bahwa Abdi akan memulangkannya kembali ke rimba. Sebelum pulang, ia pun menulis surat dengan kemampuan menulis yang masih terbatas kala itu. ”Selamat tinggal Abdi. Besok kami pulang”. Surat itu ditempelnya pada pintu kamar sang guru.
Besiap beryukur dirinya telah fasih baca menulis dan berhitung meski tak sekalipun mengenyam pendidikan formal. Kini, ia bahkan menjadi guru bagi sesama anak Rimba. Dari 3.600-an warga komunitas Orang Rimba yang menempati ekosistem Bukit Duabelas, Jambi, baru 25 persen yang mengenyam belajar baca, tulis, dan hitung. Mereka difasilitasi sejumlah sukarelawan guru.
Dari jumlah itu, warga yang dapat mengakses pendidikan formal baru segelintir. Jumlah anak yang masuk sekolah dasar ada 315 orang dan sekolah menengah pertama 20 orang. Adapun yang berhasil sampai pada tingkat sekolah menengah atas hanya delapan anak.
Status kependudukan
Meski memiliki semangat besar untuk menimba ilmu, komunitas pedalaman masih terbentur berbagai hambatan. Salah satunya soal status mereka yang belum dianggap secara sah sebagai warga negara. Hanya sekitar 20 persen Orang Rimba tercatat dalam daftar kependudukan, yang berarti dapat mengakses berbagai layanan negara.
Wakil pimpinan Orang Rimba di wilayah Sungai Terab, Batanghari, Menti Ngelembo, mengatakan, keberadaan mereka yang masih seminomaden kerap dianggap orang luar sebagai penghambat. Mulai dari kelahiran hingga kematian, nama mereka tak pernah tercatat. Sepanjang hidup, mereka tiada pernah memiliki kartu keluarga, akta kelahiran, apalagi kartu tanda penduduk.
Akibatnya, saat ingin mendaftar ke sekolah, anak-anak Rimba ditolak lantaran orangtuanya tak dapat memenuhi syarat dokumen KK dan akta kelahiran anak. Pada tahun ajaran ini, empat anak di wilayah itu bermaksud mendaftar masuk sekolah dasar. ”Namun, kami masih bingung bagaimana caranya,” katanya.
Asisten Komunikasi KKI Warsi, Sukmareni, mengatakan, karena tidak tercatat dalam nomor kependudukan, Orang Rimba sering kali terabaikan dari berbagai layanan negara, mulai dari kependidikan hingga bantuan sosial. Sejumlah cara diupayakan sukarelawan pendamping agar anak-anak Rimba tetap mendapatkan pendidikan formal gratis, di antaranya memasukkan nama mereka sebagai warga desa terdekat.
Masalahnya, tidak semua desa mau menerima keberadaan komunitas Orang Rimba sebagai warga setempat. Yang terjadi, mereka kerap ditolak karena dianggap bisa mendatangkan masalah bagi desa. Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Kementerian Sosial La Ode Taufik mengakui, masih banyak warga komunitas pedalaman belum terakses layanan sosial karena belum punya nomor induk kependudukan.
Orang Rimba sering kali terabaikan dari berbagai layanan negara, mulai dari kependidikan hingga bantuan sosial.
Di Jambi, misalnya, terungkap dari 1.372 keluarga penerima bantuan pengaman sosial terdampak Covid-19, hanya 215 orang yang telah memiliki NIK, sedangkan 1.157 orang lainnya belum punya. Demi membantu kehidupan Orang Rimba, bantuan sosial Covid-19 tetap disalurkan dengan cara menerbitkan NIK sementara.
Pihaknya mau serius menindaklanjuti persoalan itu. Ia telah menyurati dinas kependudukan dan pencatatan sipil di tiap-tiap kabupaten yang didiami komunitas pedalaman. Mereka diminta segera memulai perekaman dokumen kependudukan. ”Kami harapkan bisa selesai direalisasikan sebelum peringatan kemerdekaan 17 Agustus bulan depan,” ujarnya.