Mental Birokrasi ”Asal Hadir” dalam Pelayanan Masyarakat di NTT
Mental birokrasi pemerintahan di Nusa Tenggara Timur masih rendah dalam melayani masyarakat dibanding hak yang mereka terima. Pegawai negeri sipil yang bekerja rajin dapat gaji sama dengan PNS yang malas kerja.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
KALABAHI, KOMPAS — Mental birokrasi pemerintahan di Nusa Tenggara Timur masih rendah dalam melayani masyarakat dibanding hak yang mereka terima. Pegawai negeri sipil yang bekerja rajin dapat gaji sama dengan PNS yang malas kerja, akhirnya semua berprinsip asal hadir di kantor. Kondisi ini menyebabkan NTT tetap miskin dan terbelakang setiap ganti pemimpin daerah. Perlu menerjemahkan Undang-Undang Birokrasi sesuai kebutuhan daerah.
Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat saat tatap muka dengan Bupati Alor, pimpinan organisasi perangkat daerah (OPD), para camat, kepala desa, dan tokoh masyarakat Alor di Kalabahi, Sabtu (1/8/2020), mengatakan, masalah utama kegagalan pembangunan di NTT adalah birokrasi. Mereka belum mampu menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat selama bertahun-tahun.
Sekarang ada prinsip di kalangan pimpinan OPD, kerja atau tidak kerja pun sama. Paling-paling bupati atau gubernur marah, setelah itu selesai persoalan. Ini masalah serius birokrasi di NTT saat ini, (Viktro Laiskodat)
Menurut Laiskodat dalam kunjungan kerja sejak dari Labuan Bajo, Flores Barat, sampai dengan terakhir di Kabupaten Alor, hipotesis yang ditemukan adalah tanpa Covid-19 saja, daerah ini miskin dan terbelakang. ”Adanya pandemi NTT makin terpuruk dan sudah saya uji di lapangan, realitanya pemerintahan ini tidak memiliki daya juang,” ujarnya.
Dalam kunjungan kerja lebih dari satu pekan itu, Laiskodat membawa sejumlah pimpinan OPD provinsi, anggota DPRD NTT, serta pimpinan dan pengurus Bank NTT. Selain memastikan pelayanan birokrasi pemerintah, ia juga memantau langsung kehidupan masyarakat di daratan Flores, Lembata, dan Alor di tengah pandemi Covid-19 ini.
Dalam kesempatan itu, Laiskodat melontarkan sejumlah pertanyaan, antara lain, mengapa birokrasi di NTT selalu mati, tidak kreatif, dan selalu mendatangkan ketidakbaikan bagi masyarakat. Padahal, aset terbesar dalam pembangunan di NTT adalah birokrasi pemerintahan.
”Realitanya aset terbesar NTT selama ini belum memberi nilai dan makna untuk mengangkat masyarakat. Padahal, birokrasi ini memiliki nilai besar yang luar biasa bagi masyarakat,” ucapnya.
Dalam kinerja PNS, harapan pengambil kebijakan selalu tinggi, yakni membawa masyarakat keluar dari kemiskinan, tetapi fakta di lapangan sangat jauh berbeda. Target tidak pernah tercapai dalam urusan apa pun. Padahal, perolehan take home pay bulanan tidak pernah berkurang, artinya perolehan hak itu tidak seimbang dengan kinerja yang diberikan bagi masyarakat. Ini merupakan suatu kecelakaan besar.
”Sekarang ada prinsip di kalangan pimpinan OPD, kerja atau tidak kerja pun sama. Paling-paling bupati atau gubernur marah, setelah itu selesai persoalan. Ini masalah serius birokrasi di NTT saat ini,” katanya.
Tidak menghasilkan
Setiap PNS dan pimpinan OPD setiap hari datang ke kantor, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Namun, mereka mendapat gaji rutin setiap bulan. Lebih buruk lagi, birokrasi itu tidak memberi sumbangsih masyarakat, tetapi uang rakyat dicuri pula dan tidak merasa malu atau bersalah. Kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun.
Dengan mental kerja birokasi seperti ini, NTT tidak akan pernah maju dan keluar dari kemiskinan. Setiap pergantian pemimpin, sebaik apa pun program kerja pemimpin itu, kondisi masyarakat tetap sama. Masyarakat tetap miskin dan terbelakang dari tahun ke tahun.
Karena itu, dibutuhkan satu desain sistem kerja birokrasi yang tepat. Perlu ada insentif psikologis, yakni orang yang bekerja bagus dipromosi, yakni promosi jabatan, eselon II, III, dan eselon IV, yang membuat orang bekerja dengan sungguh-sungguh. Insentif kedua, yakni finansial, sesuai hak sudah diatur.
Dalam undang-undang berbasis kinerja ini sudah ada, tetapi dalam realisasi di lapangan belum optimal. ”Saya sedang susun pergub untuk ini,” kata Laiskodat.
Wakil Bupati Lembata Tomas Ola Langoday membenarkan. Birokrasi itu ibarat mesin yang menggerakkan seluruh roda pembangunan daerah. Sebagai organisasi, semua bagian harus berfungsi sesuai tugas masing-masing. Tidak boleh ada bagian tertentu yang kosong atau ada, tetapi tidak berfungsi.
Dalam hal penempatan jabatan seseorang harus merujuk pada the right man on the right place atau orang yang tepat di tempat yang tepat sehingga menempatkan orang sesuai keahliannya. Penempatan eselon IV, III, dan eselon II. Ia harus menguasai kompetensi dasar, kompetensi bidang, dan kompetensi sosial. Oleh karena itu, perlu ada lelang jabatan. Namun, pada akhirnya, yang menentukan pejabat pembina kepegawaian, dalam hal ini gubernur, bupati, menteri, dan presiden.
Tunjangan kinerja itu hanya berlaku pada tataran struktural. Jadi, yang mendapat penghargaan itu adalah pimpinan atau lembaga bersangkutan. Sementara staf yang bekerja keras dan konsisten tidak memiliki mendapatkan apa pun. Oleh karena itu, ada staf yang bersikap masa bodoh.
Oleh karena itu, sistem birokrasi yang ada perlu terus dievaluasi dan dibehani sehingga birokrasi sebagai sebuah organisasi bisa berfungsi dan memberi nilai bagi masyarakat. Undang-Undang reformasi birokrasi sudah ada, tinggal diterjemahkan sesuai kebutuhan daerah.
Berdasarkan pengakuan seorang PNS di lingkungan Pemkot Kupang, selama 31 tahun sebagai PNS hanya mendapat gaji rutin. PNS dengan golongan IIId karena saat masuk PNS berijazah SMA atau IIa, gaji terakhir yang diperoleh Rp 3 juta lebih per bulan.
”Saya tidak tahu apa tugas dan fungsi saya karena tidak pernah diberi tahu oleh atasan. Saya bekerja kalau disuruh atasan, seperti terima tamu, antar surat, dan memberikan informasi pertemuan internal kantor,” begitu kata aparat sipil negara itu.