Sejak pandemi berlangsung, pentas wayang topeng malang terhenti. Sampai saat ini belum ada kejelasan kapan kegiatan seni ini bisa kembali menyapa masyarakat. Para seniman wayang topeng kini didera gelisah.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·5 menit baca
Sejak pandemi berlangsung, pentas wayang topeng malang terhenti. Sampai saat ini belum ada kejelasan kapan kegiatan seni ini bisa kembali menyapa masyarakat. Seniman gelisah. Di satu sisi mereka paham situasi pandemi, tetapi di sisi lain mereka butuh penghidupan. Seniman sulit beralih profesi.
Puluhan topeng tokoh Panji setengah jadi tertata rapi di atas meja di Sanggar Seni Topeng Malang Asmorobangun, Dusun Kedungmonggo, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Topeng-topeng itu dibuat sendiri oleh pemilik sanggar, Tri Handoyo (42).
Selama pandemi Covid-19 berlangsung, nyaris tidak ada kegiatan seni di sanggar yang berada di tepi Kali Metro itu. Suasana ceria puluhan anak berlatih menari diiringi musik gamelan dari tape yang biasanya menggaung tiap Hari Minggu praktis tak terdengar.
Begitu pula pentas rutin tiap bulan (Gebyak Senin Legi kalender Jawa) untuk sementara waktu diistirahatkan. ”Apalagi, pentas di acara formal instansi swasta atau pemerintah sama sekali tidak ada sejak pandemi,” tutur Handoyo, Minggu (27/7/2020).
Biasanya Handoyo dan anak asuhnya kerap pentas di berbagai pergelaran, baik yang diadakan di Malang Raya maupun luar kota. Pentas massal Wayang Topeng melibatkan 5.000 orang yang dimotori oleh Pemerintah Kabupaten Malang—menggandeng Padepokan Asmorobangun—pernah dilakukan 2017 silam.
Selama ini Sanggar Seni Topeng Malang Asmorobangun bukan saja sebagai tempat belajar menari, melainkan padepokan ini juga menjadi tempat wisata budaya. Tidak sedikit mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Pulau Jawa dan wisatawan mancanegara datang untuk menyaksikan langsung kegiatan seni di tempat itu.
Menurut Handoyo, kegiatan seni terhenti sejak Maret atau tepatnya setelah ada surat edaran soal penghentian kegiatan yang bisa memancing kerumunan. Padahal, saat itu ada lima rombongan, masing-masing terdiri atas 100-150 orang dari Malang dan luar kota dijadwalkan datang. Rencana itu pun akhirnya batal.
”Saya sendiri tidak mau berisiko. Mengingat siswa yang belajar menari tidak hanya anak-anak sekitar sini, tetapi juga luar kota, kegiatan latihan pun saya liburkan,” ujar Handoyo, yang merupakan cucu dari salah satu maestro seni Wayang Topeng Malang, Mbah Karimun.
Seiring dengan berhentinya kegiatan latihan dan pentas, pesanan topeng dalam jumlah masal juga ikut terhenti. Di tengah kegelisahannya berharap pandemi segera berlalu, Handoyo menyibukkan diri membuat topeng—dibantu saudara—hanya untuk stok.
”Untungnya masih ada satu-dua tamu datang ke sini dan membeli topeng. Kemarin, misalnya, ada juga yang dari luar kota telepon membeli topeng, terus kami kirim,” ucapnya.
Meski kegiatan belajar menari terhenti, Handoyo masih rajin mengirimkan materi ke murid-muridnya. Misalnya, dia membuat repertoar baru untuk kemudian dikirim melalui grup percakapan. Dengan begitu, proses pembelajaran dan interaksi antara Handoyo dan 150-an muridnya bisa terus berlangsung.
Sementara itu, seperti halnya Asmorobangun, Padepokan Seni Wayang Topeng Mangun Dharma di Dusun Kemulan, Desa Tulusbesar, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, juga sempat istirahat sekitar empat bulan sebelum akhirnya memulai kembali kegiatan latihan sejak satu bulan lalu. Latihan digelar seminggu sekali dengan jumlah murid 20 orang.
Jika Padepokan Asmorobangun mewakili wayang topeng malang subarea Kawi yang berada di wilayah Barat Kabupaten Malang, Padepokan Mangun Dharma yang didirikan sejak 1989 mewakili subarea Tengger-Semeru yang berada di sisi timur.
Ki Sholeh Adi Pramono (69), selaku pemilik padepokan—cucu dari Ki Rusman yang telah membuat komunitas wayang topeng sejak 1916—mengatakan, latihan kembali diadakan setelah pihak musyawarah pimpinan kecamatan memerbolehkan latihan kembali digelar. Tentu saja dengan memperhatikan protokol kesehatan.
Meski geliat latihan sudah dimulai, Ki Sholeh mengaku ia dan seniman lainnya masih gelisah terkait suasana saat ini. Sudah lima bulan tidak ada pentas dan sejauh ini belum ada tanda-tanda sampai kapan status ini akan berlangsung. Padahal, dari pentas itu asap dapur bisa terus mengepul.
”Seniman itu, kalau sudah dikenal, tidak ada warga yang minta bantuan menjadi buruh tani. Bisanya, ya, hanya mengandalkan dari kerja seni. Itulah yang menjadi masalah. Kami belum tahu kebijakan pemerintah seperti apa terhadap nasib kesenian tradisional,” ujarnya.
Maestro wayang topeng ini teringat kapan terakhir pentas sebelum libur pandemi. Ia pentas terakhir di Taman Krida Budaya Jawa Timur di Kota Malang pada Januari. Bahkan, saat itu, mobil beserta isi pakaian tari di dalamnya terbakar. Peristiwa ini terjadi sesaat setelah ia selesai pentas.
Seniman, menurut Ki Sholeh, sebenarnya menyadari bahwa pandemi ini merupakan persoalan serius, tetapi harus ada solusi agar semua pihak tidak dirugikan. Perlu ada terobosan oleh pihak terkait agar denyut kegiatan seni bisa bergulir. Ki Sholeh mencontohkan, bagaimana mengolaborasikan kegiatan seni dengan sosialisasi waspada Covid-19 oleh pihak terkait.
”Seni boleh tampil, protokol kesehatan diperhatikan. Itu saja tuntutan saya. Nah, sekarang tinggal mengaturnya musti duduk bersama. Sejauh ini belum dilakukan oleh pemangku kepentingan,” ungkap Ki Sholeh, yang selama pandemi juga membuat topeng dan berencana membuka warung kopi di belakang rumahnya ini.
Seni boleh tampil, protokol kesehatan diperhatikan. Itu saja tuntutan saya. Nah, sekarang tinggal mengaturnya musti duduk bersama. (Ki Sholeh Adi Pramono)
Untung ada lomba Ekspresi Virtual Tari yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pergelaran ini menjadi pengobat kangen menari. Ki Sholeh mengirimkan tutorial pembelajaran tari tradisi melalui video. Dari 280 peserta yang mengirim, Ki Sholeh masuk ke 70 besar dan sekarang dia tengah menanti 20 besar.
Lomba ini tidak hanya diikuti oleh Ki Sholeh, tetapi juga anak didiknya. Mereka mengajukan aneka aksi, mulai dari tari remo hingga beskalan. ”Seniman kalau tidak ada tanggapan, ada gangguan psikis. Ini bisa sedikit mengobati gangguan psikis itu,” tuturnya.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang Made Arya Wedhantara mengatakan, sejauh ini belum ada kepastian kapan pergelaran kebudayaan, termasuk pentas seni, bisa kembali digelar di wilayahnya. ”Yang ada baru uji coba pembukaan destinasi wisata secara bertahap. Untuk kegiatan kesenian belum,” ujarnya saat dihubungi Selasa (28/7/2020).
Menurut Made, ada sejumlah pertimbangan mengapa aktivitas seni tidak dibuka bersamaan dengan destinasi wisata. Salah satunya kegiatan seni berpotensi menyedot banyak orang dan tempatnya berpindah-pindah sehingga menyulitkan pengawasan. Sementara destinasi wisata, khususnya alam, berada di satu lokasi sehingga mudah dalam hal penerapan protokol kesehatan.
Sejumlah pertimbangan mengapa aktivitas seni tidak dibuka bersamaan dengan destinasi wisata. Salah satunya kegiatan seni berpotensi menyedot banyak orang dan tempatnya berpindah-pindah sehingga menyulitkan pengawasan. (Made Arya Wedhantara)
”Kalau pentas seni, kan berpindah lokasi. Misalnya, ada orang hajatan di desa-desa. Sementara kegiatan di instansi yang biasanya membutuhkan tampilnya kesenian, sejauh ini juga masih terbatas,” ucapnya.