Jaga Pesan Terakhir Sultan Sepuh demi Masa Depan Gemilang
Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat telah berpulang. Namun, pesannya untuk terus melestarikan budaya seharusnya abadi.
Kepergian Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat tidak hanya meninggalkan duka mendalam. Masa depan keraton di Cirebon, Jawa Barat, bakal menemui babak baru. Suram atau gemilangnya bakal ditentukan kualitas para pemimpinnya mengarungi masa depan.
Sultan Sepuh mangkat dalam usia 54 tahun, Rabu (22/7/2020) pukul 05.20, di Rumah Sakit Santosa, Bandung, Jabar. Sepekan sebelumnya, Sultan menjalani kemoterapi ketiga untuk melawan lagi kanker usus yang diderita lima tahun terakhir. Namun, kondisinya semakin menurun hingga tutup usia.
Mendung pagi itu di wilayah Cirebon seakan menggambarkan kesedihan masyarakat atas kepergian Sultan. Puluhan karangan bunga ucapan dukacita seketika menghiasi Keraton Kasepuhan. Ratusan warga dengan berbagai latar belakang hingga Gubernur Jabar Ridwan Kamil turut melayat.
Di antara pelayat, budayawan Tionghoa Cirebon, Indrawati (76), tampak tertunduk sambil menggenggam tisu. ”Minggu lalu, saya bawain ayam rebus pek cam untuk Pak Sultan. Garamnya khusus untuk orang sakit dan ada jahenya,” kata Giok, sapaan Indrawati, mengenang pertemuan terakhirnya dengan Sultan.
Meskipun berbeda latar belakang, Giok sudah menganggap Sultan Sepuh sebagai keluarga sendiri. Begitu juga sebaliknya. Setahun terakhir, ketika Sultan menjalani kemoterapi, Giok kerap membawakannya masakan, seperti botok tahu, nasi tim, atau apa pun yang dipesan Sultan.
”Setelah kemoterapi, biasanya Pak Sultan susah makan. Beratnya saja turun 37 kilogram,” katanya.
Baca juga : Sultan Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat Mangkat
Giok tidak tahu pasti mengapa Sultan Sepuh acap memintanya menyajikan makanan. Baginya, interaksi tersebut menjadi kenangan indah sekaligus bukti toleransi tumbuh subur di keraton, pusat penyebaran agama Islam pada abad ke-15.
”Pak Sultan mudah ditemui. Pintu keraton selalu terbuka untuk siapa pun, termasuk kami dari Tionghoa,” ungkap Giok yang tinggal di sekitar Keraton Kanoman. Giok berharap pengganti Sultan Sepuh terus melestarikan keberagaman yang terjalin berabad-abad di Cirebon.
Ketika Giok masih mengusap air matanya, Satu (47), abdi dalem keraton, sibuk meniup kemenyan. Ia turut menyiapkan sajadah untuk shalat jenazah Sultan Sepuh, mengatur kursi bagi tamu, hingga mengangkut air mineral. Badannya yang mungil membuatnya gesit hilir mudik.
Sejak 1988 melayani keluarga Sultan, ini kali kedua Satu menyaksikan kepergian sultan. Ketika Sultan Sepuh XIII Pangeran Raja Adipati Maulana Pakuningrat, ayahanda Sultan Arief, wafat, ratusan tamu juga melayat. Kesedihan kala itu kembali menyergapnya.
Bagi Satu, Sultan seperti keluarganya. Ia pernah diizinkan tinggal di kompleks keraton sebelum pindah ke kediaman istrinya di Brebes, Jawa Tengah. Keluarga Sultan pernah membiayai sekolah anaknya hingga tingkat menengah atas di Bandung. Ia juga diwarisi keterampilan menjalankan tradisi, seperti kuliner bekasem ikan untuk menyambut Maulid.
Baca juga : Pesan Toleransi dari Lukisan Keramik
”Meskipun gaji di sini enggak banyak, saya dan sekitar 100 abdi dalem masih bisa hidup. Yang penting belajar ikhlas dan mengambil berkahnya. Saya mau di sini sampai mati,” kata Satu yang juga mengandalkan penghasilan dari menjadi pemandu wisata di keraton.
Belum usai Satu mengisahkan kenangannya di keraton, Putra Mahkota Keraton Kasepuhan Cirebon Pangeran Raja Adipati Luqman Zulkaedin membacakan wasiat ayahnya yang bertakhta satu dekade. ”Masyarakat dan pemerintah harus melestarikan budaya Cirebon,” ujarnya.
Pesan itu mengiringi pelepasan jenazah Sultan Sepuh untuk disemayamkan di Astana Gunung Jati. Sebagian besar warga bahkan turut mengantar jenazah Sultan dengan berjalan kaki 8 kilometer. Selawat dan senandung doa dipanjatkan sepanjang perjalanan.
Kepergian Sultan Sepuh tidak hanya menyisakan duka mendalam, tetapi juga pertanyaan tentang masa depan keraton di Cirebon, bahkan di Nusantara. Apalagi, Sultan Sepuh merupakan Ketua Forum Silaturahmi Keraton Nusantara. Ia giat menyuarakan revitalisasi keraton di Tanah Air, termasuk saat menjadi tuan rumah Festival Keraton Nusantara 2017 yang dihadiri Presiden Joko Widodo.
Baca juga : Tradisi Jelang Maulid di Keraton Kasepuhan Cirebon
Di Cirebon, Keraton Kasepuhan yang didirikan pada 1529 merupakan pengembangan dari Keraton Dalem Agung Pakungwati, awal mula Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati, salah satu wali sanga atau tokoh besar penyebar agama Islam, bertakhta di sana.
Kala itu, keraton tidak hanya melepaskan diri dari Kerajaan Galuh, tetapi juga mampu menjadikan Cirebon sebagai jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Muara Jati Cirebon ramai dikunjungi pedagang suku Bugis, Madura, bahkan Arab, Persia, India, Malaka, hingga China. Mereka pun membaur dalam keberagaman.
Pada 1588, muncul Keraton Kanoman yang didirikan Sultan Anom Pertama, Pangeran Badridin Kartawijaya. Ia adalah adik dari Sultan Sepuh Pertama Pangeran Samsudin Martawijaya. Pada awal abad ke-18, muncul Keraton Kacirebonan yang merupakan pecahan Keraton Kanoman.
Meskipun jumlah keraton bertambah, para sultan tidak lagi punya kuasa politik. Ini terjadi setelah perjanjian persahabatan dengan Vereenigde Oost-indische Compagnie (VOC) pada 7 Januari 1681. Isinya antara lain kompeni melindungi keluarga sultan dan rakyatnya dari perampok. Namun, hasil bumi Cirebon hanya boleh dijual kepada kompeni dengan harga pasar.
Depolitisasi dan demiliterisasi para sultan Cirebon kian terasa ketika VOC menempatkan residen pertama yang berkuasa, Marten Samson, pada 1685. Residen merupakan wakil Belanda yang mengawasi administratif, legislatif, yudikatif, fiskal, serta menjembatani hubungan gubernur jenderal dengan sultan. Hingga 1930, pemerintah kolonial sudah menempatkan lebih dari 69 residen di Cirebon (Zaenal Masduqi dalam Cirebon dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial).
Jasa beliau begitu luar biasa. Dari beliau, saya belajar bagaimana memimpin dan bermanfaat untuk masyarakat. Pemprov Jabar berkewajiban melestarikan keraton. Kami sedang menyiapkan dana hibah untuk keraton.
Ketika Indonesia merdeka, sultan tetap tidak punya kekuasaan politik. Bahkan, kedua pihak sempat berseteru. Sultan Sepuh XIII, misalnya, pernah dilaporkan oleh Perusahaan Daerah (PD) Pembangunan Cirebon ke Polresta Cirebon dengan tuduhan menyerobot 20,5 hektar tanah milik negara di Kelurahan Harjamukti (Kompas, 16/2/2002).
Meskipun kehilangan kekuasaan, para sultan tetap menjadi benteng penjaga seni budaya dan tradisi di Cirebon. Tradisi Maulid, Panjang Jimat, Gerebek Syawal, hingga Gamelan Sekaten yang berusia ratusan tahun tetap lestari. Bahkan, ribuan orang berkumpul saat Maulid. Perputaran ekonomi pun terjadi.
Itu sebabnya, Ridwan Kamil mengatakan, masyarakat Jabar merasa kehilangan atas kepergian Sultan Sepuh. ”Jasa beliau begitu luar biasa. Dari beliau, saya belajar bagaimana memimpin dan bermanfaat untuk masyarakat. Pemprov Jabar berkewajiban melestarikan keraton. Kami sedang menyiapkan dana hibah untuk keraton,” ungkapnya.
Baca juga : Ujian Berat untuk Toleransi di ”Kota Wali” Cirebon
Apalagi, keraton menjelma menjadi primadona pariwisata Cirebon. Sebanyak 190.172 wisatawan mengunjungi tiga keraton tersebut pada 2018. Jumlah tersebut sekitar 18 persen dari kunjungan wisatawan saat itu, yakni 1.070.754 orang.
Sektor pariwisata, seperti hotel, restoran, dan hiburan, berkontribusi hingga 44 persen dari target pendapatan pajak Kota Cirebon sekitar Rp 159 miliar tahun ini. Artinya, keraton turut mendorong geliat ekonomi daerah.
Sultan Kacirebonan IX Abdul Gani Natadiningrat mengatakan, keraton di Cirebon akan berupaya melakukan terobosan pelestarian budaya seperti yang digagas Sultan Sepuh. Adapun Pangeran Patih Raja Muhammad Qadiran dari Keraton Kanoman berharap pimpinan keraton lebih bersinergi menjaga budaya serta mengembangkan pariwisata Cirebon.
Keraton menjelma menjadi primadona pariwisata Cirebon. Sebanyak 190.172 wisatawan mengunjungi tiga keraton tersebut pada 2018. Jumlah tersebut sekitar 18 persen dari kunjungan wisatawan saat itu, yakni 1.070.754 orang.
Mumun (48), penarik becak yang biasa mangkal di Keraton Kasepuhan, mengaku kerap mendulang rupiah saat akhir pekan karena mengantar para wisatawan. Uang Rp 50.000 bisa dengan mudah didapatkan per hari. Tidak ada larangan atau pajak dari keraton.
Ketika warga berjalan kaki menuju Astana Gunung Jati untuk melepas Sultan Sepuh, Mumun ikut mengayuh becaknya dengan membawa salah satu dari tujuh muazin Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Becaknya pun berlapis kain putih, tanda duka. ”Enggak tahu, kami dibayar atau tidak. Yang penting kami ikut mengantar kepergian Sultan. Semoga dapat berkah,” katanya.
Mungkin hanya itu yang bisa Mumun berikan, seperti Ibu Giok yang menghidangkan makanan untuk Sultan saat sakit. Namun, semuanya bisa jadi bukti kebesaran sultan keraton menjaga seni budaya, mendorong perekonomian daerah, hingga menyemai toleransi. Semuanya tak boleh berhenti. Masa depan seharusnya jauh lebih gemilang.
Baca juga : Menjaga Napas Toleransi di ”Kota Wali”