Pandemi Covid-19 tak menyurutkan kegembiraan merayakan hari raya kurban di pelosok Banyuwangi. Warga desa bergotong royong saling membantu mewujudkan kurban sapi yang sehat, gemuk, sekaligus cantik dan ”glowing”.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
Marhuma (53) tampak kesulitan ketika memoleskan lipstik ke moncong seekor sapi yang terus menghindar kendati sudah ditambatkan ke sebuah tiang di depan mushala. Merias hewan kurban saat Idul Adha menjadi tradisi yang hidup di masyarakat Papring, Banyuwangi, Jawa Timur, sebagai simbol pemberian kurban terbaik.
”Duh…kari ayu wes. Mugo kurban’e berkah… (Aduhai cantik sekali. Semoga kurban ini membawa berkah),” seloroh Marhuma seusai mempercantik Mawar. Tak hanya diberi lipstik, Mawar juga diberi celak mata (eyeliner) sehingga tampak lebih memesona dan glowing.
Mawar adalah sapi betina indukan milik Alisho (47) yang dikurbankan di Lingkungan Papring, Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi, dalam Idul Adha, Jumat (31/7/2020). Mawar sengaja dirias sebelum dikurbankan di hari raya kurban.
Merias hewan kurban merupakan salah satu tradisi masyarakat di Lingkungan Papring yang heterogen. Daerah yang terletak di Pegunungan Kali Klatak tersebut dihuni warga dari suku Jawa, Osing (suku asli Banyuwangi), dan Madura.
Lingkungan Papring terletak 15 kilometer dari pusat kota Banyuwangi. Lingkungan Papring merupakan permukiman penduduk paling ujung yang berbatasan dengan hutan produksi milik Perhutani.
Ketua panitia kurban di Lingkungan Papring, Asnanto, mengatakan, tradisi tersebut sudah ada sejak lama. Ia tidak bisa memastikan tahun berapa tradisi itu mulai tumbuh. Akan tetapi, sejak zaman kakek-neneknya, tradisi tersebut sudah dilakukan.
Hewan kurban dihias sebagai isyarat bahwa kurban tersebut merupakan persembahan terbaik. Selain dirias, hewan kurban juga dipercantik dengan kalung bunga, diberi bedak, disisir bulunya, dan diberi kain putih bersih yang diikat dengan tali lawai (tali putih).
”Kain putih di tubuh sapi itu menjadi simbol kesucian. Kami percaya, kain itulah yang akan digunakan pemilik kurban untuk alas duduk di surga. Tali lawai putih yang diikatkan pada sapi juga menjadi pegangan untuk menuntun sapi dan pemiliknya ke surga,” tutur Asnanto.
Sementara membedaki, menyisir, dan merias sapi bertujuan agar sapi tampak merona ketika persembahan tersebut sampai di surga. Sementara bunga yang dikalungkan melambangkan harapan agar persembahan tersebut selalu indah dan harum. Dengan demikian, sapi yang menjadi kendaraan menuju surga tampak bersih dan menarik.
Asnanto mengatakan, tradisi ini sebenarnya tidak ada dasarnya di Al Quran. Namun, tradisi ini tumbuh dan dipercaya masyarakat agar lebih mantap dalam berkurban.
”Kurban itu yang pertama niat. Dalam berkurban, semua ajaran dan tuntunan Islam harus terpenuhi. Sementara merias ini hanya tradisi yang kami lakukan untuk memantaskan persembahan kami,” ujarnya.
Mawar si sapi betina itu menjadi satu-satunya hewan kurban yang disembelih di mushala milik warga Lingkungan Papring. Berat daging Mawar sekitar 1,5 kuintal. Daging tersebut nantinya akan dibagikan kepada 110 orang yang menjadi anggota jemaah mushala Lingkungan Papring.
Alisho, pemilik Mawar, memang sudah sejak lama berniat mengurbankan ternaknya tersebut. Sudah 20 tahun lebih Alisho merawat Mawar sejak lahir dari sapi indukan yang juga ia rawat.
”Mawar merupakan sapi satu-satunya dan sapi terakhir saya. Setelah mengurbankan Mawar, saya sudah tidak punya sapi lagi,” ujar Alisho.
Alisho yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu benar-benar ikhlas mengurbankan sapi yang ia besarkan bertahun-tahun tersebut. Tak hanya menjadi salah satu harta berharga, ternak tersebut juga telah ia anggap sebagai keluarganya sendiri.
Di tangan Alisho, sapi tersebut telah banyak membantu perekonomian keluarga. Setidaknya 13 sapi anakan lahir dari Mawar. Sapi anakan tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup Alisho dan keluarganya.
”Saya sama sekali tidak sedih. Saya justru bersyukur, sapi yang saya besarkan tidak hanya ngrejekeni keluarga saya, tetapi dengan dikurbankan juga jadi berkah bagi tetangga di Papring,” ujarnya.
Saya sama sekali tidak sedih. Saya justru bersyukur, sapi yang saya besarkan tidak hanya ngrejekeni keluarga saya, tetapi dengan dikurbankan juga jadi berkah bagi tetangga di Papring.
Niat Alisho untuk mempersembahkan sapi terakhirnya sebagai persembahan terbaik benar-benar sudah bulat. Pagi hari, sehari sebelum Idul Adha, Alisho mengeluarkan ternak terakhirnya itu untuk terakhir kali.
Kesempatan itu ia gunakan untuk memandikan ternaknya dengan kesungguhan hati. Sejak selesai dimandikan, sapi tersebut tidak dimasukkan lagi ke kandang. Ia menjemurnya dan memberikan banyak pakan berupa rumput segar.
Sore hari, ia mengantarkan sapi tersebut sendirian ke mushala yang berjarak tak lebih dari 500 meter dari rumahnya. Sepanjang jalan, Alisho hanya berdoa semoga sapi ini kelak mengantarnya ke surga dan orang yang mendapat dagingnya juga memperoleh rahmat melimpah.
Perayaan kurban di kampung itu pun menjadi luapan kegembiraan warga di tengah masa pandemi yang tak kunjung usai.