Risma Bagikan Pengalaman Penanganan Terorisme di Surabaya
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini membagikan pengalamannya menangani peristiwa teror bom Surabaya yang terjadi pada Mei 2018 silam kepada anggota The IIJ.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA/IQBAL BASYARI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini membagikan pengalamannya menangani peristiwa teror bom Surabaya yang terjadi pada Mei 2018 kepada anggota The International Institute for Justice and the Rule of Law (The IIJ), organisasi yang berfokus pada penguatan penegak hukum yang menangani kasus terorisme dan kejahatan transnasional yang berpusat di Valletta, Malta, Kamis (30/7/2020).
Risma menjadi salah satu pembicara dalam seminar bersama Direktur Unit Anti Radikalisasi Brussels, Belgia, Hadeline Feront; dan Manajer Strong Cities Network (SCN), Inggris; Marta Lopes. Seminar ini awalnya direncanakan dilaksanakan di Malta pada 11-13 Maret 2020.
Namun acara akhirnya digelar secara virtual akibat pandemi Covid-19. Acara diikuti oleh para penegak hukum dari anggota The IIJ, di antaranya dari Belanda, Turki, Perancis, Malta, Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Uni Eropa.
Semoga pengalaman dari Surabaya bisa berkontribusi pada penanganan terorisme negara-negara anggota The IIJ.
Dalam paparannya, Risma menceritakan langkah-langkah yang ditempuh Surabaya dalam menangani peristiwa teror serta memulihkan kondisi keamanan dan ekonomi pascateror. ”Semoga pengalaman dari Surabaya bisa berkontribusi pada penanganan terorisme negara-negara anggota The IIJ,” kata Risma.
Untuk diketahui, Surabaya pernah mendapatkan teror bom bunuh diri pada 13-14 Mei 2018. Saat itu, bom meledak di tiga gereja dan Markas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Tiga gereja yang menjadi sasaran bom adalah Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan GPPS Jemaat Sawahan.
Aksi teror dilakukan oleh satu keluarga beranggotakan enam orang, termasuk tiga anak pelaku yang masih di bawah umur. Seluruh pelaku meninggal di lokasi. Peristiwa tersebut mengakibatkan 13 warga meninggal dan puluhan lainnya luka-luka.
Langkah cepat
Risma mengatakan, pemerintah perlu melakukan langkah cepat dalam menangani peristiwa teror. Pertama, korban bom harus segera mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kota juga harus terus dijaga untuk memberikan rasa aman pada warga yang beraktivitas di luar rumah.
“Teror bom membuat kami sangat terpukul karena selama ini Surabaya dikenal sebagai kota yang aman, damai, dan menghargai perbedaan,” katanya.
Berkat penanganan yang cepat itulah, Surabaya bisa segera bangkit. Aktivitas ekonomi yang menurun pascateror bom bisa segera pulih. Warga pun kembali merasa aman untuk beraktivitas. Anak-anak pelaku bom pun mendapatkan pendampingan dari psikolog dan mendapatkan program deradikalisasi.
Untuk mendeteksi teror agar tidak terulang, Risma menggerakkan ibu pemantau jentik di program pencegahan demam berdarah. Ada 22.000 kader bumantik yang setiap minggu memeriksa jentik nyamuk di rumah-rumah warga. Selain memantau jentik, mereka diminta melaporkan jika ada rumah yang aktivitas penghuninya mencurigakan.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Surabaya Muhammad Fikser menambahkan, pihaknya melakukan pemantauan kepada orang luar daerah yang tinggal di Surabaya. Pengurus RT, pengurus RW, dan takmir masjid diminta melaporkan jika ada warga yang mencurigakan. ”Kami berupaya mendeteksi sedini mungkin agar teror tidak kembali terulang,” katanya.