Sastrawan Ajip Rosidi meninggal di usia 82 tahun. Dia masih meninggalkan karya roman yang belum tuntas ditulis dan bercita-cita membuat buku kumpulan puisi.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Sastrawan Ajip Rosidi (82) tutup usia di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar, Kota Magelang, Jawa Tengah, Rabu (29/7/2020) malam. Beberapa hari terakhir, sebelum dirawat di rumah sakit dan meninggal, almarhum masih sempat menulis sebuah karya yang belum selesai.
Titis Nitiswari (55), putri bungsu Ajip, mengatakan, pertengahan Juli lalu, ayahnya sempat mengutarakan keinginan untuk menulis satu buku berisi kisah roman dan satu buku puisi. Kisah roman itu sempat diketiknya sendiri. Namun, karena almarhum sudah terlihat kesulitan membaca dan mengetik, Titis kemudian membantu melanjutkan.
”Tulisan roman itu baru selesai delapan halaman,” ujar Titis saat ditemui, Kamis (30/7/2020).
Kisah roman yang akan diketiknya adalah kisah dengan latar waktu sekitar tahun 1950-an. Karena tidak ingin salah menggambarkan situasi saat itu, Ajip memutuskan berhenti sebentar dan berkeinginan membaca-baca kembali sebagian koleksi buku di perpustakaan Jati Niskala miliknya. Sudah sempat membaca, tetapi akhirnya keinginan menulis tidak diteruskan karena dia harus menjalani perawatan di rumah sakit.
Titis tidak tahu judul dan kisah seperti apa yang akan ditulis. Namun, dari sebagian hasil pemikiran yang disampaikan ayahnya, sebagian cerita mungkin akan bertutur tentang kisah ayahnya sendiri, tentang pergulatannya hingga merasa menjadi pribadi yang sangat mencintai Indonesia.
Keinginan menulis ini disampaikan almarhum beberapa hari setelah dia jatuh dan kepalanya terbentur keras di lantai rumah. Sekalipun sempat benjol, ketika itu dia tidak mengalami gangguan kesehatan apa pun dan bisa beraktivitas seperti biasa.
Karena masih terlihat sehat dan masih bersemangat menulis, keluarga pun beranggapan bahwa almarhum Ajip tidak mengalami sakit atau cedera serius. Namun, Rabu (22/7/2020), almarhum tiba-tiba muntah-muntah dan berlanjut keesokan paginya. Ketika itu, keluarga pun ragu untuk langsung membawa almarhum ke rumah sakit.
”Di tengah kondisi pandemi seperti sekarang, kami justru khawatir, dirawat di rumah sakit akan membuat kondisi almarhum semakin parah,” ujarnya. Keluarga pun akhirnya mengambil solusi memanggil dokter, meminta agar almarhum diperiksa di rumah.
Dari pemeriksaan tersebut, dokter menyebutkan, gejala muntah dimungkinkan terjadi karena gejala masuk angin biasa atau karena adanya cedera parah di bagian otak. Namun, untuk lebih jelasnya, disarankan agar almarhum dirawat di rumah sakit.
Kamis (23/7/2020), hasil pemeriksaan di rumah sakit menyebutkan bahwa almarhum pengalami pendarahan di bagian otak dan dijadwalkan operasi pada Sabtu (25/7/2020). Operasi tersebut dimaksudkan untuk mengeluarkan darah dari bagian otak. Operasi berjalan lancar dan dokter menyatakan almarhum Ajip sudah kembali sehat.
Minggu (26/7/2020), Titis yang datang menengok sulit dikenali oleh ayahnya. ”Perlu waktu beberapa saat hingga akhirnya bapak bisa kembali menyebut saya sebagai anak bungsunya,” ujarnya.
Minggu malam, Titis juga melihat tangan ayahnya terangkat menghentek-hentak, seperti kejang. Namun, karena tidak terlalu intens, dia pun beranggapan bahwa itu gejala biasa pascaoperasi.
Namun, semakin malam, sekitar pukul 23.00, keluarga ditelpon dan diberi kabar bahwa almarhum Ajip benar-benar kejang. Setelah itu, dokter berupaya memberikan obat, dengan dosis yang semakin ditambah.
Karena kejang tidak kunjung berhenti, dokter juga sempat meminta izin keluarga untuk memberikan obat dengan takaran paling maksimal guna menghentikan kejang, tetapi keluarga menolak. Tak berapa lama setelah itu, Ajip dinyatakan meninggal.
Hingga akhir hidupnya, Titis mengatakan, tidak diketahui apa yang menyebabkan kondisi ayahnya seperti itu. ”Kami tidak tahu apa yang menyebabkan bapak terus kejang setelah operasi hingga meninggal,” ujarnya.
Nundang Rundagi (59), putra keempat almarhum, mengatakan, dia adalah putra yang kerap mendampingi almarhum ke mana-mana. Dia mengenang, almarhum, di usinya yang senja, masih memiliki semangat tinggi untuk menulis. Dia pun juga tetap ingin menulis dengan cermat dan akurat, sama seperti yang dilakukannya semasa muda.
Dia pun juga tetap ingin menulis dengan cermat dan akurat, sama seperti yang juga dilakukannya semasa muda.
”Selama hidupnya, dia dikenal sebagai sastrawan yang menulis kenyataan,” ujarnya. Ajip, menurut dia, juga memiliki ingatan kuat atas semua data dan fakta dalam kenyataan yang sudah dilaluinya.
Sebelum jatuh, kata Nundang, Ajip sempat divonis menderita kanker prostat, payudara, dan tulang oleh dokter. Namun, yang bersangkutan mengatakan kepada anak-anaknya tidak merasa sakit.
Sebelum berpulang, Nundang mengatakan, ayahnya masih sangat bersemangat untuk mewujudkan keinginannya menulis roman dan membangun sebuah pondok pesantren. Kisah romah tersebut nantinya mungkin akan ditawarkan untuk dilanjutkan oleh penulis lain.
Kolektor dan kurator seni rupa Indonesia Oei Hong Djien mengatakan, dia dan Ajip berteman cukup dekat. Mereka acap kali saling mengunjungi satu sama lain.
Karena terkendala situasi pandemi Covid-19, Oei sempat ragu berkunjung saat Lebaran dan akhirnya baru menemui Ajip pada 3 Juli 2020. Ketika itu, Ajip mengaku baru saja jatuh dan sudah berjalan. ”Sekalipun dia mengatakan hanya jatuh biasa, dari cara bicaranya yang mulai jatuh tersebut, saya tahu dia jatuh karena ada serangan stroke,” ujarnya.
Kerap bertemu dan mengobrolkan berbagai macam hal, mulai dari budaya hingga politik, Oei mengagumi dan mengakui Ajip sebagai pribadi yang luar biasa cerdas. ”Saya merasa sangat kehilangan karena bagi saya, Ajip adalah teman diskusi dan guru untuk berbagai hal,” ujarnya.
Ajip dimakamkan di pemakaman keluarga di kompleks rumahnya sendiri di Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis ini. Rumah almarhum Ajip meliputi kompleks yang sangat luas, mencapai sekitar satu hektar. Di dalamnya terdapat satu gedung perpustakaan, rumah tinggal, dan area pemakaman.
Dia dimakamkan bersama mendiang istri pertamanya, Fatimah Wirjadibrata, yang lebih dahulu berpulang pada 2014. Selamat jalan Pak Ajip, karya-karyamu tetap akan abadi.