Di tengah peluang ekspor yang semakin terbuka, pembudidaya udang di Lampung mengkhawatirkan fenomena kematian dini udang vaname. Sejumlah pembudidaya terpaksa melakukan panen lebih cepat untuk menekan kerugian.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Di tengah peluang ekspor yang semakin terbuka, pembudidaya udang di Lampung mengkhawatirkan fenomena kematian dini udang vaname yang saat ini terjadi. Sejumlah petambak pun terpaksa melakukan panen lebih cepat untuk menekan kerugian.
Ismanto (40), salah satu petambak udang di Kabupaten Lampung Timur, Lampung, menuturkan, gejala penyakit yang menyebabkan kematian dini udang vaname ini berbeda dengan white spot syndrome virus (WSSV) yang selama ini sering menyerang udang vaname.
”Kematian udang kali ini tidak terjadi serentak, tetapi sedikit demi sedikit,” ujar Ismanto saat dihubungi dari Bandar Lampung, Rabu (29/7/2020).
Menurut dia, kematian udang bisa terjadi pada usia 5-7 minggu setelah petambak menebar benih. Selain kematian yang berlangsung perlahan, tubuh udang yang mati juga berubah menjadi kemerahan.
Untuk mengatasi hal itu, petambak memilih melakukan panen dini guna mencegah kerugian yang lebih besar. Selain itu, petambak juga melakukan isolasi agar penyakit itu tidak menyebar ke tambak lainnya.
Menurut Ismanto, munculnya fenomena kematian udang ini membuat budidaya tidak optimal. Dengan panen dini, udang yang dihasilkan petambak sulit diekspor karena ukurannya terlalu kecil. Selain itu, udang hasil budidaya yang terkena penyakit juga akan sulit diserap pasar luar negeri.
Padahal, peluang ekspor komoditas perikanan di Lampung semakin meningkat di tengah pandemi Covid-19. Berdasarkan data Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Kelas I Lampung, pada periode Januari-Juni 2020, jumlah ekspor produk perikanan Lampung tercatat sebanyak 8.770,4 ton.
Jumlah itu meningkat sekitar 21,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang tercatat 7.194,3 ton. Adapun nilai ekspornya meningkat dari Rp 985,9 miliar menjadi Rp 1,045 triliun pada semester I-2020. Pada periode yang sama, ekspor udang naik dari 5.910,2 ton menjadi 6,192 ton.
Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Praktisi Akuakultur Bambang Nardianto menuturkan, fenomena kematian dini udang itu paling banyak menyerang tambak di wilayah pesisir Kabupaten Lampung Timur. Tingkat kematian udang bisa mencapai 60 persen.
Menurut dia, pihaknya juga berkomunikasi dengan instansi terkait untuk melakukan penelitian terkait penyakit yang menyerang udang tersebut. Dia berharap pemerintah bisa segera menemukan penyebab dan solusi untuk mengatasi penyakit ini.
Penelitian budidaya lobster ini menggunakan benih halus dengan berat sekitar 0,2 gram.
Terkait hal ini, Kepala BKIPM Kelas I Lampung Rusnanto menjelaskan, pihaknya sedang melakukan penelitian terkait penyakit ini. Hingga kini, hasil penelitian belum bisa disampaikan secara resmi karena masih dalam proses. Namun, dugaan sementara, penyakit itu disebabkan oleh virus.
Budidaya lobster
Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPL) Lampung juga tengah melakukan penelitian budidaya lobster. Penelitian ini untuk mengetahui potensi budidaya lobster dari benih. ”Penelitian budidaya lobster ini menggunakan benih halus dengan berat sekitar 0,2 gram,” ujar Suciantoro, peneliti madya di BBPL Lampung.
Suciantoro menjelaskan, selama ini, budidaya lobster di Indonesia umumnya dilakukan dari benih berukuran 50 gram. Dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah NKRI, penelitian budidaya lobster dari benih yang lebih kecil pun dilakukan.
Penelitian lobster di BBPL itu baru dimulai sekitar tiga bulan lalu. Penelitian diperkirakan masih berlangsung hingga 1-2 tahun ke depan.
Awalnya, benih lobster seberat 0,2 gram dibudidayakan di dalam bak. Setelah dipelihara selama 1,5 bulan, berat lobster menjadi 3 gram. Budidaya kemudian dipindahkan ke laut. ”Sejauh ini perkembangannya bagus. Tingkat kehidupannya sekitar 65 persen,” ujar Suciantoro.