Mahasiwi Mulai Buka Suara Soal Pelecehan Seksual, UPR Janji Beri Perlindungan
Lima mahasiswi di Universitas Palangka Raya melapor ke BEM, diduga karena mendapatkan pelecehan seksual dari oknum dosen. Pihak UPR perlu menindak tegas para pelaku jika terbukti bersalah dan tidak memberi ruang.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Korban pelecehan seksual di Universitas Palangka Raya mulai buka suara. Setidaknya lima mahasiswi melapor ke organisasi mahasiswa karena merasa mendapatkan pelecehan seksual verbal. Pihak kampus pun berjanji beri perlindungan.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Palangka Raya (UPR) Eprafas Meihaga mengungkapkan, pihaknya mendapatkan lima laporan dari lima mahasiswa yang mendapatkan pelecehan seksual melalui pesan singkat dari aplikasi pesan daring. Pelecehan itu didapat saat sedang berkonsultasi tugas dan saat konsultasi skripsi.
”Mereka datang lalu cerita, tetapi mereka masih takut kalau mau lapor ke pihak kepolisian. Kami juga masih mengumpulkan bukti-bukti untuk diteruskan ke kampus,” ungkap Meihaga saat ditemui di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Rabu (29/7/2020).
Meihaga mengungkapkan, dalam bukti percakapan di aplikasi daring itu, oknum dosen laki-laki diduga meminta mahasiswinya untuk menunjukkan foto, lalu memberi komentar berbau seksual. Beberapa pesan bahkan menunjukkan keinginan dan ajakan yang mengarah ke hubungan intim.
”Para korban ini mahasiswi aktif, jadi mereka takut kalau melaporkankan hal ini ke kampus ataupun ke polisi akan mendapatkan tekanan atau dipersulit saat mengurus skripsi dan tugas lainnya,” ucap Meihaga.
Meihaga menambahkan, pihaknya meminta agar semua mahasiswa yang merasakan kekerasan seksual dengan segala bentuk untuk bisa membuka suara. ”Kami akan menjamin kerahasiaan dan identitas, jadi tak perlu khawatir,” ujarnya.
Menurut Meihaga, sejak kasus mantan Kepala Program Studi Pendidikan Fisika UPR berinisial PS viral diangkat ke publik, beberapa mahasiswi yang menerima pelecehan seksual dari dosen lain mulai angkat suara. Meskipun masih memiliki kekhawatiran, pihak BEM UPR berupaya agar identitas mereka terjaga.
Kami akan menjamin kerahasiaan dan identitas, jadi tak perlu khawatir.
Sebelumnya, PS yang merupakan aparatur sipil negara dan pendidik di UPR dinyatakan bersalah oleh hakim dan dipenjara selama satu tahun enam bulan sembilan hari. PS kemudian mendapatkan asimilasi karena situasi darurat kesehatan dan pulang ke rumahnya lebih cepat dari putusan hakim. Meskipun demikian, hal itu ditentang banyak pihak karena khawatir PS kembali ke kampus.
UPR kemudian menerbitkan surat rekomendasi ke pemerintah pusat untuk memberhentikan PS. PS pun dilarang mengajar atau membuat penelitian di wilayah kampus. Pihak UPR kemudian meminta beberapa dosen dari Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak untuk mendampingi masalah dan melakukan pemulihan trauma terhadap korban.
Kepala Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak UPR Firlianty mengungkapkan, rektorat sudah membuat surat edaran untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan kampus tersebut. Selain itu, terdapat standar prosedur baru bagi para pendidik dalam pembelajaran.
Beberapa poin penting dalam surat edaran dan standar prosedur baru itu, seperti lokasi tempat konsultasi, harus dilakukan di ruang kantor dosen di lingkungan kampus, setiap pintu ruangan harus dibuka selama konsultasi dilakukan, waktu konsultasi hanya dilakukan pada jam kerja, dan melarang para pendidik mengajak mahasiswa untuk konsultasi ke rumah pribadi atau tempat lain.
”Dalam surat edaran itu, kami juga meminta agar para dosen mengirim pesan singkat menggunakan bahasa sopan, singkat, dan informatif. Tak hanya itu, mahasiswa juga saat berkonsultasi harus berpakaian rapi, tidak transparan, dan lainnya,” kata Firlianty.
Firlianty menjelaskan, pihaknya tidak akan memberikan ruang kepada para oknum dosen, staf, ataupun mahasiswa yang ketahuan melakukan pelecehan seksual dalam bentuk apa pun. Pihaknya juga membuka pintu laporan lebar-lebar dengan jaminan keamanan tanpa ada tekanan dari dosen dalam bentuk apa pun.
”Makanya perlu dibuka. Jika masih ada yang melakukannya (pelecehan), kami siap membantu dan memberi tindakan tegas sesuai tupoksi. Jangan ragu melapor, bahkan, ke kepolisian agar ada efek jera,” kata Firlianty.
Firlianty mengungkapkan, pihaknya juga menyiapkan upaya pemulihan bagi para korban karena sudah membentuk tim psikolog UPR. Ia berharap kejadian serupa tidak terulang dan menjadi pelajaran bagi semua pihak di UPR.