Prioritaskan Pencegahan Konflik untuk Konservasi Harimau Sumatera
Upaya konservasi harimau sumatera didorong ke arah pencegahan konflik dengan manusia. Penyelesaian akar masalah pemicu konflik dinilai lebih hemat dan efektif sebagai upaya konservasi satwa terancam punah ini.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
DHARMASRAYA, KOMPAS — Upaya konservasi harimau sumatera didorong ke arah pencegahan konflik satwa dan manusia. Penyelesaian akar masalah pemicu konflik dinilai lebih hemat dan efektif untuk konservasi satwa terancam punah ini. Meski demikian, penegakan hukum tetap harus dilakukan secara tegas.
Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno, Rabu (29/7/2020), mengatakan, upaya konservasi harimau sumatera memerlukan cara-cara baru yang lebih cerdas. Penyelesaian konflik dengan evakuasi harimau bisa memakan waktu belasan hingga puluhan jam dan jarak ratusan kilometer.
”Penyelamatan harimau penting, tetapi menurut saya, pemerintah yang efektif adalah pemerintah yang berhasil mencegah terjadinya konflik,” kata Wiratno dalam webinar ”Global Tiger Day” yang diadakan Yayasan Arsari Djojohadikusumo.
Wiratno melanjutkan, salah satu upaya yang telah dilakukan pihaknya adalah membersihkan jerat yang menjadi momok harimau. Dalam beberapa tahun terakhir, tim Direktorat Jenderal KSDAE KLHK telah mengumpulkan 3.000 jerat di dalam kawasan konservasi dan lebih dari 3.000 jerat di luar kawasan konservasi.
Di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, kata Wiratno, sebanyak 700 jerat dibersihkan. Artinya, ada setidaknya 700 satwa liar yang terancam mati akibat jerat terselamatkan.
Di luar wilayah konservasi, menurut Wiratno, kerja sama dengan desa-desa tempat asal-usul para pemasang jerat juga dilakukan. Sebab, perlu dicari tahu akar persoalan yang memicu masyarakat memasang jerat.
”Kalau masalahnya kemiskinan, yang menyebabkan pemasangan jerat, mari diurusi kemiskinannya. Jadi tidak hanya mengurusi harimaunya, tetapi kepala balai juga mesti bekerja sama dengan masyarakat untuk menyelesaikan masalah kemiskinan,” ujar Wiratno.
Kasus para pemburu badak di Ujung Kulon bisa menjadi contoh. Mereka diberdayakan menjadi pencari badak untuk difoto dan kemudian berhenti berburu.
Menurut Wiratno, kasus para pemburu badak di Ujung Kulon bisa menjadi contoh. Mereka diberdayakan menjadi pencari badak untuk difoto dan kemudian berhenti berburu. Jadi, kebiasaan berburu badak untuk kebutuhan ekonomi dihentikan dengan cara memberdayakan mereka sebagai penunjuk jalan menemukan badak di cagar alam.
”Selain pendekatan hukum, persoalan perlu didekati dengan kolaborasi bersama masyarakat,” ujar Wiratno. Di samping pencegahan, upaya intelijen dan surveilans sangat penting untuk memenjarakan kelompok yang sengaja berburu harimau untuk kepentingan bisnis dan ekonomi.
Konflik
Berdasarkan data Ditjen KSDAE KLHK, hingga Juni 2020 terjadi 23 konflik harimau dan manusia. Rinciannya, sebanyak 8 konflik di Aceh, 7 konflik di Riau, 3 konflik di Bengkulu-Lampung, 2 konflik di Sumatera Utara, dan masing-masing satu konflik di Sumatera Barat, Jambi, dan Sumatera Selatan.
”Ini menunjukkan ketidakseimbangan rantai makanan, kehilangan habitat, habitat terfragmentasi, dan kemungkinan masih ada problem perburuan harimau,” kata Wiratno.
Wiratno menjelaskan, Pulau Sumatera termasuk wilayah yang paling cepat mengalami alih fungsi lahan. Kawasan konservasi banyak dikelilingi perkebunan monokultur yang memicu fragmentasi habitat dan hilangnya habitat harimau sumatera. Ini menjadi suatu persoalan besar sehingga membutuhkan dukungan banyak pihak.
”Kami mengonservasi harimau, tetapi kemudian harus mempertimbangkan komitmen para pemilik kebun, HTI, HPH, dan siapa pun yang konsentrasi ke perlindungan harimau sumatera,” ujar Wiratno.
Ia tidak ingin harimau sumatera seperti harimau bali dan harimau jawa yang dinyatakan telah punah.
Konflik dengan manusia membuat populasi harimau sumatera kian menyusut. International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengklasifikasi harimau sumatera sebagai satwa kritis teracam punah. Populasi harimau sumatera hanya tinggal 600 ekor, yang tersebar di 23 kantong habitat (Kompas, 31/7/2019).
Kepala BKSDA Sumbar Erly Sukrismanto, dalam webinar, mengatakan, tahun ini ada tiga harimau sumatera yang dievakuasi di Sumbar karena berkonflik dengan masyarakat. Mereka adalah dua bersaudara Putri-Putra Singgulung asal Solok dan Ciuniang Nurantih asal Padang Pariaman.
Ketiga harimau itu sudah direkomendasikan oleh Pusat Rehabilitasi Harimau Sumatera Dharmasraya (PR-HSD), yang dikelola Yayasan Arsari Djojohadikusumo, untuk dilepasliarkan. Menurut Erly, timnya sedang menyurvei lokasi untuk lepas liar. Kemungkinan lepas liar dilakukan awal Agustus 2020.
Erly juga mengapresiasi masyarakat Sumbar yang kooperatif dalam kasus konflik dengan harimau. Sejauh ini tidak ada laporan masyarakat membantai harimau yang berkonflik dengan mereka. ”Masyarakat Minangkabau kooperatif. Jika terjadi konflik, mereka langsung lapor ke BKSDA sehingga bisa langsung ditangani dengan cepat,” kata Erly.
Suaka harimau
Ketua Yayasan Arsari Djojohadikusumo Hashim Djojohadikusumo menyampaikan dalam webinar, pihaknya telah menandatangani naskah kerja sama dengan Dirjen KSDAE KLHK dalam pengelolaan cagar biosfer di Giam Siak Kecil-Bukit Batu, Riau, seluas 100.000 hektar. Yayasan Arsari Djojohadikusumo menjadikan kawasan itu sebagai suaka harimau sumatera.
”Kami menganggap ini suatu tanggung jawab yang diberikan kepada kami dalam menjalankan kemitraan antara pemerintah dan kami sebagai lembaga swadaya masyarakat atau organisasi nonpemerintah,” kata Hashim.
Satwa liar merupakan ciptaan Tuhan yang tidak ternilai harganya dan semua orang wajib melindungi dan melestarikannya agar tidak punah.
Hashim menyatakan komitmen Yayasan Arsari Djojohadikusumo dalam pelestarian satwa liar, khususnya harimau sumatera. Satwa liar merupakan ciptaan Tuhan yang tidak ternilai harganya dan semua orang wajib melindungi dan melestarikannya agar tidak punah.
”Kalau ada satwa liar punah, itu penistaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Itu terkutuk bila tidak ikut melindungi mereka. Apakah itu harimau, kera, badak, atau makhluk ganas seperti hiu dan buaya, harus dilindungi. Kami ambil bagian dalam tugas mulia ini,” ujar Hashim.
Terkait harimau sumatera, Yayasan Arsari Djojohadikusumo merehabilitasi 12 harimau sumatera melalui PR-HSD yang berdiri sejak 29 Juli 2017. Sebanyak empat harimau berhasil direhabilitasi dan dilepasliarkan kembali, sedangkan tiga harimau tidak terselamatkan. Lima harimau sedang direhabilitasi dan siap dilepasliarkan kembali ke habitatnya.