Halaman SD Katolik Santa Maria, Kota Magelang, Jawa Tengah, dimanfaatkan para guru untuk menanam sayuran. Hasil panen dijual dan sebagian lainnya dibagi untuk para wali murid yang terdampak pandemi.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Di tengah kesulitan pembelajaran jarak jauh, kebosanan siswa di rumah, hingga beragam persoalan semasa pandemi Covid-19, semangat dan harapan tetap tumbuh di halaman SD Katolik Santa Maria, Kota Magelang, Jawa Tengah. Harapan itu bermekaran dari tanaman sayuran.
Sebanyak 600 wadah pot atau polybag berisi sedikitnya delapan jenis sayuran diletakkan berjajar di halaman sekolah. Pemandangan sekolah yang biasanya diisi keceriaan anak-anak berlarian dan bermain di area tersebut kini berganti dengan hijaunya lembar sawi yang mulai mekar dan semburat merah muda tomat-tomat kecil.
Kepala SD Katolik Santa Maria Kota Magelang Bernadet Tri Weningastuti menuturkan, aneka tanaman sayuran itu adalah kegembiraan baru bagi 13 guru dan seorang petugas satpam sekolah. Sebenarnya ada tiga guru yang secara khusus bertugas bergantian menyiram tanaman. Namun, 10 guru dan seorang petugas satpam lainnya selalu sukarela membantu di saat senggang, terutama kala panen tiba.
”Di tengah aktivitas PJJ (pembelajaran jarak jauh), bertanam sayuran ibarat penyegaran bagi kami,” ujar Bernadet sembari tersenyum, Selasa (21/7/2020).
Ide menanam aneka sayuran itu muncul secara mendadak, tanpa direncanakan sebelumnya. Sejumlah guru mengusulkan agar halaman yang kosong tersebut diisi dengan sejumlah tanaman. Dari ide itu, sejumlah guru lain menambahkan bahwa tanaman yang paling mudah ditanam adalah sayuran. Karena tanpa rencana, modal untuk memulainya pun disiapkan secara mendadak dengan uang pinjaman.
”Setelah membahas hal ini dalam rapat, dua guru kemudian berinisiatif meminjamkan uang untuk berbagai kebutuhan kegiatan menanam sayuran ini,” ujar Bernadet. Dari dua guru tersebut, pihak sekolah meminjam uang sekitar Rp 2 juta.
Setelah modal terkumpul, aktivitas pun langsung dimulai dengan membeli bibit dan benih dari petani di Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Adapun bibit sayuran yang dibeli terdiri dari terong, sawi, bayam, kembang kol, tomat, cabai rawit merah, cabai merah keriting, kacang tanah, dan kol.
Setelah semua benih dan bibit disiapkan, aktivitas menanam dan merawat tanaman dimulai. Dari situlah para guru yang semula hanya terbiasa pada aktivitas mengajar kini harus berlaku sebaliknya, kembali belajar dan menekuni hal yang benar-benar baru.
Semua guru sepakat untuk bertani secara organik, tanpa menggunakan obat-obatan kimia. Setiap hari, masing-masing menjalankan tugas menyiram. Karena tidak terbiasa merawat sayuran, tak semua guru menyadari ketika ada hama yang mulai menyerang, seperti belalang.
”Saya jarang melihat dan tidak menyadari bahwa belalang itu adalah hama tanaman,” ujar F Ima Putri Wulandari, guru kelas III, sambil terkekeh.
Dari situlah para guru yang semula hanya terbiasa pada aktivitas mengajar kini harus berlaku sebaliknya, kembali belajar dan menekuni hal yang benar-benar baru.
Koordinator kegiatan menanam sayuran, Yohanes Djoko Riyanto, mengatakan, dirinya yang menyadari keberadaan belalang itu kemudian mencoba bertanya kepada salah seorang rekannya yang menekuni aktivitas bertani bagaimana cara menghalau belalang. Dari informasi yang didapatnya, dia kemudian menemukan cara efektif dengan menyirami tanaman menggunakan air dari kolam lele di halaman belakang sekolah.
Djoko mengatakan, para guru menyepakati aktivitas bercocok tanam ini akan terus berlangsung hingga masa normal baru, saat anak-anak sudah kembali masuk sekolah. Bahkan, bertanam sayuran dimaksudkan sebagai kegiatan edukasi agar para murid juga pintar bercocok tanam dan lebih mengenali karakter tanaman.
Adapun hasil panen sayuran selalu ditawarkan oleh para guru melalui strategi mulut ke mulut. Awalnya, para guru menawarkan kepada orangtua murid melalui grup percakapan daring. Selanjutnya, sejumlah wali murid menginformasikannya kepada tetangga dan kenalan masing-masing.
Akhirnya, tak jarang para guru mendapatkan pertanyaan dari orang lain, di luar wali murid, yang tertarik pada hasil panen tersebut. Mereka pun datang dan membelinya di sekolah.
Bernadet mengatakan, semula hasil penjualan sayuran digunakan untuk menambal kekurangan dana sekolah swasta tersebut selama pandemi. Pasalnya, sejak bulan Maret, pemasukan dana untuk sekolah tidak berjalan mulus karena banyak wali murid tiba-tiba meminta diskon atau perpanjangan masa pelunasan SPP.
Semula hasil penjualan sayuran digunakan untuk menambal kekurangan dana yang dimiliki sekolah swasta tersebut selama pandemi.
”Karena terdampak pandemi, banyak wali murid mengaku kesulitan membayar SPP,” ujarnya. Rata-rata besaran SPP bagi 143 siswa di SD Katolik Santa Maria adalah Rp 150.000 per bulan.
Mereka yang kesulitan membayar SPP tersebut adalah wali murid yang menjadi korban PHK, petani, ataupun wiraswasta yang pemasukannya terganggu kondisi pandemi Covid-19. Pada akhirnya, tidak sekadar memberi keringanan pembayaran SPP, hasil panen sayuran itu pun digunakan untuk membantu keluarga murid yang terdampak pandemi.
”Sejumlah orangtua murid datang ke sini, mengeluh kesulitan ekonomi, dan akhirnya kami izinkan membawa pulang sayuran gratis,” ujar Djoko. Tak hanya itu, orangtua murid pun juga sering kali membawa gratis ikan lele dan nila peliharaan sekolah. Dua jenis ikan ini sudah terlebih dahulu dipelihara sekolah sejak tahun lalu.
Dengan kondisi tersebut, saat ini, hasil penjualan sayuran tidak bisa diandalkan sebagai penghasilan tambahan sekolah. ”Modal bertani mencapai Rp 2 juta. Sementara dua kali panen hanya memberikan kami hasil Rp 140.000,” ujar Bernadet.
Kendati demikian, para guru tidak ingin memaksakan diri. Di luar masalah tanggung jawab untuk mencicil membayar utang pinjaman modal dan keinginan menambah penghasilan, mereka menyadari bahwa di masa sekarang, setiap orang harus tergerak saling membantu. Dengan menanam sayuran, mereka pun bisa membantu meringankan beban sesama.