Universitas Mataram Didesak Membentuk Posko Pengaduan
Kasus dugaan pelecehan seksual di Fakultas Hukum Universitas Mataram masih menjadi perhatian. Sejumlah pihak saat ini mendesak adanya posko pengaduan bagi korban pelecehan seksual di kampus itu.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Kasus dugaan pelecehan seksual di Fakultas Hukum Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, oleh salah seorang dosen terhadap mahasiswinya masih menjadi perhatian banyak pihak, termasuk dari Koalisi Antikekerasan terhadap Perempuan NTB. Meski telah ada sanksi yang dijatuhkan dalam kasus itu, koalisi tersebut mendesak agar pihak kampus membentuk posko pengaduan.
Seperti diberitakan, pimpinan Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram) menskors NIN (36) dari tugasnya sebagai dosen selama lima tahun atau sepuluh semester karena melanggar kode etik. Dosen Ilmu Hukum Pidana itu diduga melakukan pelecehan seksual terhadap YN (22), mahasiswi bimbingannya.
Poin itu juga menjadi salah satu dari lima pernyataan sikap koalisi terhadap kejadian di Fakultas Hukum Universitas Mataram. (Endang Susilowati)
Dalam sidang majelis etik di kampus itu, Selasa (21/7/2020), terungkap bahwa NIN diduga melakukan pelecehan seksual tersebut pada 24 Juni 2020 di ruang hukum pidana FH Unram. Perbuatannya itu membuat ia terbukti melanggar kode etik dosen.
NIN terbukti memberikan bimbingan skripsi kepada YN dengan cara yang tidak biasa, misalnya tidak berhadap-hadapan, melainkan meminta YN duduk di sampingnya. Kondisi itu kemudian dimanfaatkan NIN untuk melakukan tindakan seperti memegang tangan hingga memeluk YN (Kompas, 22 Juli 2020).
Mengapresiasi
Endang Susilowati, aktivis perempuan yang juga tergabung dalam Koalisi Antikekerasan terhadap Perempuan NTB, di Mataram, Selasa (28/7/2020), mengapresiasi keputusan itu. Menurut Endang, itu merupakan keputusan yang berat dan diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi dosen lain untuk tidak berbuat serupa.
Endang mengatakan, selanjutnya tinggal pihak universitas menindaklanjuti atau melaksanakan keputusan majelis etik Fakultas Hukum Universitas Mataram. Pelaksanaan keputusan itu tanpa ada ”main mata” antara pihak universitas dan pelaku.
”Poin itu juga menjadi salah satu dari lima pernyataan sikap koalisi terhadap kejadian di Fakultas Hukum Universitas Mataram,” kata Endang.
Selain itu, kata Endang, pihaknya juga mendesak agar Universitas Mataram membentuk posko pengaduan bagi korban pelecehan seksual. Posko itu bersifat independen, bebas aktif tanpa pengaruh dari pihak mana pun.
”Kami sering mendengar pelecehan seksual di kampus ketika mahasiswi sedang konsultasi (skripsi), tetapi tenggelam. Salah satu penyebabnya, mereka bingung mau mengadu ke mana selain juga malu,” kata Endang.
Selain itu, para korban juga takut mengadu ke pejabat kampus karena identitas mereka diketahui.
”Oleh karena itu, kami juga mendorong agar posko pengaduan ini bisa secara daring. Tidak mesti hadir secara fisik. Namun, harus dipastikan mereka yang berada di posko ini adalah orang-orang yang independen, misalnya dari pusat studi wanita Unram. Mereka tentu bisa lebih dekat secara psikologis dan emosional sehingga bisa terbuka,” tutur Endang.
Pengaduan secara daring memang sempat dilakukan ketua majelis etik yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Unram, Zainal Asikin, sehari sebelum ia memimpin sidang terhadap NIN.
”Hasilnya, saya mendapat dua laporan terkait tindakan serupa dari NIN. Hanya saja, kedua mahasiswi ini sudah diwisuda. Kami sudah arahkan untuk melapor ke ranah pidana. Namun, mereka mengatakan tidak mau karena menyangkut nama baik,” kata Zainal.
Perwakilan koalisi lainnya, Beauty Erawati, mengatakan, selain terkait posko pengaduan, koalisi yang beranggotakan 16 lembaga itu juga mendesak pihak kampus membuat aturan jelas dan tegas dalam upaya membersihkan predator seks dari Univeritas Mataram.
”Kami juga meminta agar kampus membangun tempat yang aman, nyaman, dan manusiawi bagi mahasiswa atau mahasiswi saat bimbingan atau kegiatan pendidikan lainnya. Termasuk mewajibkan dosen atau pengajar memahami hak asasi manusia dan hak asasi perempuan,” kata Beauty.
Pernyataan sikap itu sudah diserahkan langsung kepada pihak Unram. Menurut Endang, wakil rektor III bidang kemahasiswaan dan alumni Eni Yuliani yang menerima perwakilan koalisi mengatakan akan menyerahkan pernyataan sikap itu kepada Rektor Unram.
Sementara itu, Joko Jumadi, dosen di Fakultas Hukum Unram sekaligus pendamping YN, mengatakan proses terhadap NIN menjadi penegasan bahwa Fakultas Hukum bukan tempat bagi para predator seks.
”Kejadian ini menjadi momentum untuk mengampanyekan FH Unram adalah kampus yang tidak nyaman bagi predator. Kami sangat menghindari kasus-kasus seperti itu karena kami sangat menjaga kualitas dan kredibilitas lembaga,” kata Joko.
Sementara menurut Dekan FH Unram Hirsanuddin, kejadian itu sebagai pembelajaran bagi pihaknya. Oleh karena itu, FH Unram akan mengevaluasi kegiatan bimbingan skripsi, misalnya tidak boleh ada bimbingan (dosen dan mahasiswa) jika tidak ada orang lain. Selain itu, FH Unram akan memasang kamera pemantau atau CCTV di setiap ruang.