Sejumlah daerah di Maluku kesulitan mencukupi permintaan anggaran pilkada. Kas dua kabupaten minus. Biaya pilkada yang mahal belum tentu menghasilkan pemimpin yang mau dan mampu menyejahterahkan rakyatnya.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Dua kabupaten di Provinsi Maluku, yakni Kepulauan Aru dan Buru Selatan, tekor anggaran daerah lantaran besarnya biaya pemilu di daerah tersebut. Kas dua daerah itu minus.
Kepulauan Aru minus Rp 1,9 miliar, sedangkan Buru Selatan minus Rp 9,8 miliar. Pembangunan di daerah terpaksa dikorbankan demi hajatan politik untuk memilih pemimpin yang belum tentu berhasil menyejahterakan masyarakat.
Menurut data yang dihimpun dari Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri pada Senin (27/7/2020), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di dua daerah itu untuk tahun 2020 tergolong paling rendah di Maluku. APBD Buru Selatan sebesar Rp 653,7 miliar, sedangkan Kepulauan Aru sebesar Rp 884,5 miliar.
Dalam pilkada kali ini, anggaran daerah harus digunakan untuk membiayai pilkada. Penggunaan anggaran menggunakan nomenklatur naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). Anggaran dimaksud untuk kebutuhan KPU selaku penyelenggara teknis, Bawaslu selaku pengawas pemilu, dan institusi Polri dibantu TNI sebagai pelaksana pengamanan.
Untuk Buru Selatan, anggaran untuk KPU sebesar Rp 21,91 miliar, Bawaslu Rp 8 miliar, dan pengamanan Rp 5 miliar. Sementara untuk Kepulauan Aru, KPU mendapatkan dana sebesar Rp Rp 23 miliar, Bawaslu sebesar Rp 9 miliar, dan pengamanan sebesar Rp 8 miliar. Anggaran sebesar itu wajib dikeluarkan dari kas daerah untuk diserahkan kepada tiga institusi tersebut.
Setelah digabungkan dengan anggaran rutin untuk belanja pegawai, pengeluaran untuk tahun ini melebihi ketersediaan anggaran. APBD jebol. Kas daerah Buru Selatan minus Rp 9,8 miliar, sedangkan Kepulauan Aru minus Rp 1,9 miliar.
Saldo kas daerah di Buru Selatan per 22 Juli 2020 sebesar Rp 21,27 miliar dengan besaran biaya yang masih harus disetor kepada tiga institusi tulang punggung pilkada sebesar Rp 20,9 miliar, sedangkan Kepulauan Aru sebesar Rp 8,90 miliar. Akibatnya, realisasi NPHD di dua kabupaten itu masih minim.
Selain Buru Selatan dan Kepulauan Aru, daerah lainnya di Maluku yang juga menggelar pilkada tahun ini adalah Seram Bagian Timur dan Maluku Barat Daya. Kondisi fiskal di dua daerah itu masih kelebihan meski tidak terlalu aman. Jika terjadi kondisi kedaruratan, pemerintah daerah bakal kewalahan.
Seram Bagian Timur memiliki APBD sebesar Rp 796,2 miliar dengan alokasi untuk KPU sebesar Rp 32 miliar, Bawaslu Rp 9 miliar, dan pengamanan Rp 6,5 miliar. Saldo kas daerah masih kelebihan Rp 41,15 miliar. Adapun Maluku Barat Daya memiliki APBD sebesar Rp 1,08 triliun dengan alokasi untuk KPU Rp 28 miliar, Bawaslu Rp 13 miliar, dan pengamanan Rp 5 miliar. Masih ada kelebihan Rp 113,9 miliar.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam video konferensi di Ambon pada Kamis (23/7/2020) mengingatkan para kepala daerah agar sesegera mungkin mengalokasikan anggaran untuk menunjang pelaksanaan pilkada. Tito menunjukkan bukti bahwa sejumlah daerah di Maluku yang pancairan anggarannya masih minim. Ia berharap agar Gubernur Maluku Murad Ismail membantu mendorong percepatan pencairan itu.
Ia sekaligus mengoreksi data yang disampaikan Murad bahwa semua daerah di Maluku sudah hampir 100 persen mencairkan anggaran pilkada. Ternyata setelah dicek, data yang disampaikan Murad tidak akurat. Tito mengonfirmasi hal itu dengan menanyakan langsung kepada penyelenggara pemilu.
Meski begitu, Tito menyadari bahwa ada daerah yang kondisi kasnya akan mengalami minus. Ia memahami betapa kecilnya APBD di sejumlah daerah yang sebagian besar menunggu transfer dari pusat. Pendapatan asli daerah (PAD) di Maluku, misalnya, tidak lebih dari 10 persen APBD. Kecil sekali. ”Pencairannya bisa diatur secara bertahap,” ujar Tito.
Kecilnya anggaran daerah di Maluku lebih disebabkan oleh politik anggaran yang dianggap tidak memihak. Murad mengatakan, alokasi anggaran dari pusat hanya menghitung jumlah penduduk dan luas wilayah daratan. Daerah kepulauan, seperti Maluku, dengan luas laut sekitar 96 persen mendapatkan porsi yang sangat kecil.
APBD Provinsi Maluku tahun 2020, misalnya, hanya Rp 3,3 triliun dengan PAD Rp 377 miliar, sisanya adalah transfer dana dari pusat. Sekadar membandingkan, APBD Kota Malang Rp 2,7 triliun yang levelnya adalah kota/kabupaten.
Alokasi anggaran dari pusat hanya menghitung jumlah penduduk dan luas wilayah daratan.
Ketua KPU Maluku Syamsul R Kubangun mengatakan, sejauh ini tidak ada persoalan terkait anggaran. KPU pada empat kabupaten itu masih terus melaksanakan tahapan pilkada. ”Untuk tahap saat ini, semua berjalan lancar. Memang pencairan anggaran dilakukan secara bertahap,” ujarnya.
Kendati demikian, Syamsul tidak dapat memprediksi lancar tidaknya pencairan pada tahap selanjutnya, terlebih pada masa krusial seperti kampanye, percetakan surat suara, dan alat peraga, distribusi logistik, pencoblosan, hingga pascapenghitungan suara. Jika anggaran macet pada tahap itu, proses pemilu bisa kacau.
Sejumlah pejabat di Kepulauan Aru dan Buru Selatan yang dimintai tanggapan terkait kas daerah yang minus diseret anggaran pilkada itu memilih bungkam. Pihak internal di Kepulauan Aru, yang tidak bersedia disebut namanya, dalam nada canda mengatakan, daerah tidak mungkin melawan. ”Mana berani daerah macam-macam selama APBD masih mengharap dari pusat. Dijalani saja,” ujarnya.
Pengamat sosial politik dari Universitas Pattimura, Ambon, Joseph A Ufi, berpendapat, biaya pilkada yang besar telah mengambil porsi anggaran pembangunan untuk masyarakat, baik infrastruktur maupun pemberdayaan ekonomi. Lebih menyedihkan lagi, jika pada saat berkuasa, pemimpin yang lahir dari pilkada berbiaya mahal itu gagal menyejahterakan rakyatnya.