Hingga H-3 Lebaran Idul Adha 2020, pengawasan terhadap pergerakan masyarakat di Jawa Timur mengendur. Tidak ada lagi pemeriksaan di perbatasan antardaerah dan larangan mudik.
Oleh
IQBAL BASYARI/ AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Hingga H-3 Lebaran Idul Adha 2020, pengawasan terhadap pergerakan masyarakat di Jawa Timur mengendur. Tidak ada lagi pemeriksaan di perbatasan antardaerah dan larangan mudik. Situasi ini dikhawatirkan memunculkan penularan kasus baru dari luar daerah (imported case) terutama dari kawasan zona merah.
Berdasarkan laman resmi http://infocovid19.jatimprov.go.id/ yang dikelola oleh Pemprov Jatim, Selasa (28/7/2020), dari 38 kabupaten/kota, ada tiga kawasan zona merah, yakni Surabaya, Gresik, dan Kota Probolinggo. Sebanyak 28 kabupaten/kota zona jingga dan 7 daerah tingkat dua zona kuning.
Ini potensi penularan yang sangat tinggi jika pergerakannya tidak dibatasi, empat daerah di Madura yang masuk zona oranye bisa saja berubah jika warga dari zona merah yang membawa virus menularkan ke keluarganya di Madura. (Windhu Purnomo)
Mengacu pada pedoman dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, zona merah merupakan kategori suatu kawasan berada dalam level keempat atau risiko tinggi penularan wabah Covid-19. Penyebaran SARS-CoV-2 atau virus korona jenis baru penyebab Covid-19 tidak terkendali. Transmisi lokal sudah terjadi dengan cepat, wabah menyebar secara luas, dan banyak kluster baru.
Gugus tugas pemerintah wajib melaksanakan tes secara intensif dan penelusuran kontak secara agresif pada warga berstatus orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP). Masyarakat harus berada di rumah. Aktivitas, yakni perjalanan, pertemuan publik, belajar mengajar dan kegiatan keagamaan tidak diperbolehkan.
Bersifat esensial
Kegiatan bisnis ditutup kecuali untuk keperluan yang bersifat esensial seperti farmasi, supermarket bahan pokok, klinik kesehatan, dan stasiun bahan bakar. Tempat-tempat umum, area publik/keramaian, fasilitas sekolah juga ditutup.
Di Surabaya, pengawasan di 17 lokasi perbatasan yang diatur dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 sebagai perubahan regulasi Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Kota Surabaya belum diterapkan. Warga bebas keluar masuk Surabaya tanpa ada pemeriksaan petugas.
Pada saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) kurun 28 April-8 Juni 2020, pemeriksaan terhadap orang dari dan ke Surabaya dilaksanakan dengan cukup ketat. Namun, selepas PSBB, tidak ada lagi mekanisme pemeriksaan terhadap lalu lintas dan perjalanan masyarakat dari dan ke ibu kota Jatim ini.
Menurut Epidemiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Windhu Purnomo, pergerakan warga antardaerah yang tidak terkontrol bisa memicu penularan kasus baru yang berasal dari luar daerah. Patut diperhatikan, saat ini merupakan waktu masyarakat mudik Idul Adha. Pergerakan warga meningkat terutama tujuan Pulau Madura karena ada tradisi toron atau mudik. Bagi warga Madura, mereka lebih memperjuangkan mudik saat Idul Adha daripada Idul Fitri.
”Ini potensi penularan yang sangat tinggi jika pergerakannya tidak dibatasi, empat daerah di Madura yang masuk zona oranye bisa saja berubah jika warga dari zona merah yang membawa virus menularkan ke keluarganya di Madura,” kata Windhu.
Keempat kabupaten di Madura ialah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Zona jingga saat ini jika kemasukan warga dari luar Madura yang ternyata positif, tetapi tidak terdeteksi dan tidak bergejala berpotensi meningkatkan risiko penularan di kawasan tersebut.
Akses dari dan ke Madura lewat Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) tidak dijaga ketat oleh petugas. Menurut Kepala Kepolisian Resor Pelabuhan Tanjung Perak Ajun Komisaris Besar Ganis Setyaningrum, penjagaan akan dilakukan dua hari jelang Idul Adha. Petugas akan memeriksa kelengkapan protokol kesehatan pengendara, yakni masker dan pembatasan jumlah penumpang mobil.
Jika ada yang melanggar, sanksi diberikan sesuai dengan aturan yang berlaku di Surabaya, yakni teguran lisan dan teguran tertulis atau secara administratif. Selain itu, ada sanksi berupa paksaan, yakni penyitaan KTP, pembubaran kerumunan, penutupan sementara. Juga ada sanksi sosial berupa tolak angkat (push up), joget atau menari, dan menjadi petugas permakanan untuk orang dengan gangguan jiwa di Liponsos.
”Pengendara tidak diminta putar balik karena belum ada larangan mudik,” ujar Ganis.
Menurut Windhu, Gubernur Jatim harus segera mengeluarkan aturan untuk mencegah terjadinya pergerakan dari daerah-daerah di zona merah agar penularan tidak meluas. Tidak adanya aturan yang melarang pergerakan menunjukkan bahwa aturan yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak dijalankan oleh pemerintah daerah.
”Pelanggaran tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi pemerintah turut melanggar aturan yang seharusnya dilaksanakan,” kata Windhu.
Telah disetujui
Secara terpisah, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan, regulasi terkait dengan pengendalian aktivitas sosial masyarakat dalam konteks wabah Covid-19 telah disetujui bersama dengan DPRD Jatim. Aturan dimaksud ialah rancangan peraturan daerah yang merevisi Peraturan Daerah Jatim Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Pelindungan Masyarakat (Trantibum).
Materi dalam raperda itu, antara lain pengembangan sanksi administratif dan atau pidana dalam pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat dan pemberlakuan protokol sesuai jenis bencana yang terjadi. ”Sudah ditandatangani dan segera kami teruskan ke Kementerian Dalam Negeri,” ujar Khofifah.
Ketua DPRD Jatim Kusnadi menambahkan, raperda tadi disusun agar menjadi payung hukum pembatasan kegiatan masyarakat selama bencana termasuk saat ini wabah Covid-19. Penegakan perda nantinya dilaksanakan oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja dibantu dengan instansi lain, terutama Polri, TNI, dan Kejaksaan.
Dalam raperda itu ada sanksi pidana kurungan maksimal 3 bulan dan denda maksimal Rp 50.000 yang bisa dijatuhkan kepada pelanggar. Namun, hukuman bukanlah esensi dari regulasi itu nantinya melainkan mendorong masyarakat lebih taat dalam penerapan protokol kesehatan.
Selain itu, ada pendelegasian wewenang kepada pemerintah kabupaten/kota untuk penanganan bencana. Perda provinsi ini dapat menjadi dasar hukum bagi bupati/wali kota dalam membuat peraturan lebih teknis.
Ada juga pemberian insentif dan atau penghargaan kepada perseorangan, kelompok masyarakat, korporasi, dan atau pelaku usaha yang berperan membantu pencegahan, penanganan, dan penanggulangan bencana.