Kaum ibu bisa dijadikan agen pencerah bias informasi di tengah masa pandemi Covid-19. Mereka juga perlu diarahkan untuk melakukan aktivitas produktif untuk menghindari potensi kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak menggelar sosialisasi terkait adaptasi kehidupan dalam masa pandemi Covid-19 kepada para ibu rumah tangga di Ambon, Maluku, Selasa (28/7/2020) petang. Para ibu dianggap dapat menjadi agen pencerah bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya yang rawan terpapar bias informasi Covid-19.
Acara tersebut berlangsung di Desa Tawiri, Kecamatan Teluk Ambon. Pekan lalu, Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Lappan) juga menggelar sosialisasi serupa bagi kaum ibu di kompleks Air Besar, Desa Batu Merah. Menurut rencana, sejumlah kelompok ibu di Kota Ambon dan sekitarnya akan didatangi beberapa waktu ke depan.
Sisca Wiguno, Health Officer dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), yang diundang sebagai pembicara, mengatakan, kaum ibu harus berinisiatif mengambil peran untuk memastikan semua anggota keluarga menerapkan protokol kesehatan secara benar. Itu dilakukan dengan mengontrol suami dan anak-anak.
”Sebelum suami pergi kerja tolong ingatkan. Bagi yang suaminya kerja berat, bisa siapkan masker cadangan agar bisa diganti pada saat kerja,” kata Sisca. Para ibu yang hadir kebanyakan istri buruh serabutan, pedagang asongan, tukang bangunan, dan tukang ojek. Pekerjaan mereka berisiko tertular Covid-19 lantaran berhubungan dengan banyak orang.
Ia kembali menegaskan protokol kesehatan yang wajib dipatuhi, yakni mengenakan masker, menjaga jarak, dan rajin cuci tangan. Selain itu, hal lain yang diingatkan adalah menjaga sirkulasi udara ruangan, menghindari kerumunan, dan juga pembicaraan jarak dekat. ”Bicara sambil bisik-bisik di telinga itu juga bisa bahaya,” ujar Sisca.
Bicara sambil bisik-bisik di telinga itu juga bisa bahaya.
Dalam sosialiasi itu, para peserta mempertanyakan beberapa hal yang dianggap janggal. Contohnya, ada warga lanjut usia dengan banyak penyakit penyerta yang memeriksa kesehatan ke puskesmas kemudian akhirnya dinyatakan positif Covid-19. Lantaran mengalami tekanan psikologis, warga itu pun meninggal. Stigma bahwa Covid-19 adalah aib membuat pasien tertekan.
”Padahal, orang itu tidak ke mana-mana dan keluarganya pun tidak ada yang positif,” ujar Ani Nunumete (38). Ani mengaku mendapatkan cerita tersebut dari sahabatnya. Hal itu yang menyebabkan banyak orang takut datang ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya. Mereka khawatirkan jika diminta mengikuti tes cepat Covid-19.
Jika tes cepat menunjukkan hasil reaktif, mereka akan diisolasi. Menurut pengalaman keluarga mereka, penanganan pasien di tempat isolasi tak semuanya memuaskan. ”Suami saya hasil tes cepatnya reaktif kemudian diisolasi bersama 20 orang di dalam satu ruangan. Bagaimana kalau ada di antara mereka yang sudah positif?” ujar seorang ibu.
Sisca pun mengklarifikasi bias informasi terkait Covid-19. Ia meyakinkan masyarakat bahwa Covid-19 sungguh ada dan menjadi bencana global. Ratusan ribu orang di seluruh dunia meninggal akibat Covid-19. Covid-19 merupakan penyakit baru sehingga proses penanganannya pun terus disempurnakan.
Kekerasan rumah tangga
Direktur Lappan Baihajar Tualeka mengatakan, kaum ibu dijadikan sasaran sosialisasi karena dianggap dapat menjadi agen pencerah bagi keluarga dan lingkungan sekitar. Kaum ibu dianggap lebih kooperatif menerima masukan di tengah bias informasi yang berkembang di masyarakat. Salah satunya adalah anggapan bahwa Covid-19 adalah rekayasa. Anggapan itu harus dibantah.
Selain sosialisasi Covid-19, Baihajar juga mengajak kaum ibu untuk mengisi keseharian dengan kegiatan produktif seperti menanam sayur dengan pupuk organik. Beberapa kelompok didampingi mulai dari perencanaan sampai pemasaran. ”Pas waktu panen, saya hubungkan mereka dengan pembeli. Semua sayur laku terjual. Memang kebutuhan sayur organik saat ini sangat tinggi,” ujarnya.
Kegiatan produktif yang menghasilkan uang itu bertujuan untuk meminimalisasi potensi kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan terjadi lantaran keluarga kehilangan sumber penghasilan. Banyak tulang punggung keluarga kehilangan pekerjaan. Sehari-hari, mereka tinggal di rumah tanpa ada aktivitas produktif.
Selama pandemi Covid-19, Baihajar mendampingi banyak korban kekerasan dalam rumah tangga. ”Ada yang pukul istri terus ditelantarkan. Mereka kebanyakan dari kalangan ekonomi lemah seperti buruh serabutan,” ujarnya.