Atasi kasus ”stunting” atau tengkes di Nusa Tenggara Timur dimulai dari masa kehamilan dengan memberikan asupan gizi dan protein. Karena itu, semua kepala desa wajib mengetahui dan mendata jumlah ibu hamil di desanya.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
MAUMERE, KOMPAS — Atasi kasus stunting atau tengkes di Nusa Tenggara Timur harus dimulai dari masa kehamilan dengan memberikan asupan gizi dan protein yang cukup. Karena itu, semua kepala desa wajib mengetahui dan mendata berapa jumlah ibu hamil di desa guna segera diintervensi agar anak dalam kandungan tidak mengalami anak balita kerdil. Secara persentase, ada 16 kabupaten mengalami penurunan angka tengkes, tetapi angka riil naik karena terjadi lonjakan kelahiran.
Gubernur NTT Viktor Laiskodat dalam kunjungan kerja di Maumere, Selasa (28/7/2020), mengatakan, kasus tengkes atau stunting di NTT menjadi masalah serius bagi sumber daya generasi muda di provinsi ini ke depan. Masalah ini tidak hanya tanggung jawab pemprov, tapi setiap elemen pemerintah di tingkat paling bawah seperti kepala desa hingga ketua rukung tetangga (RT) dan rukun warga (RW).
”RT, RW, dan kepala desa harus mengetahui berapa orang ibu yang sedang hamil di wilayah itu. Setelah itu langsung diambil tindakan dengan memberikan asupan gizi dan protein yang cukup dengan memanfaatkan dana desa,” kata Laiskodat.
Mereka biasanya dibawa nenek ke kebun dan mengikuti jam makan dari nenek. Kalau nenek makan siang pukul 15.00 Wita, anak-anak pun demikian. Karena berada di kebun, mereka juga tidak pernah istirahat siang.
Semua anggota keluarga juga diberi pemahaman, terutama ibu hamil sendiri, agar selalu memperhatikan kandungan dengan asupan yang cukup. Jika mereka itu keluarga miskin, pemda wajib membantu, khusus untuk ibu hamil melalui bidan desa dan kader posyandu setempat.
Kondisi ibu hamil, melahirkan sampai menjadi bayi dana anak-anak usia di bawah 5 tahun, tetap dipantau untuk memastikan anak itu bebas dari tengkes dan gangguan kesehatan lain.
Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo mengatakan, angka tengkes di Sikka 25 persen kini turun menjadi 22 persen. Jumlah 22 persen ini tersebar di 47.000 keluarga yang masuk kategori warga miskin di Sikka dari total 110.000 keluarga.
Secara bertahap
Pemda dan masyarakat Sikka optimis menurunkan angka tengkes ini secara bertahap. Berbagai langkah yang dilakukan antara lain dengan intervensi asupan gizi dan protein kepada ibu-ibu hamil di setiap desa dan kelurahan, dan dilanjutkan sampai anak itu berkembang mencapai usia 5 tahun.
Ketua Pokja Penanggulangan Tengkes NTT Sarah Lery Mboeik mengatakan, enam kabupaten di NTT mengalami kenaikan stunting tahun ini, yakni Sumba Barat, Ngada, Sumba Barat Daya, Sabu Raijua, Malaka, dan Kabupaten Kupang. Tingkat kenaikan berkisar 1-3 persen dari angka sebelumnya.
Masalahnya menurut Sarah pada pola asuh anak oleh keluarga. Anak-anak dari enam kabupaten ini kebanyakan dititipkan pada nenek, sementara orangtua menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri atau bekerja di luar desa.
”Mereka biasanya dibawa nenek ke kebun dan mengikuti jam makan dari nenek. Kalau nenek makan siang pukul 15.00 Wita, anak-anak pun demikian. Karena berada di kebun, mereka juga tidak pernah istirahat siang,” katanya.
Anak-anak ini tidak mendapatkan asupan gizi dan protein yang cukup sejak dari dalam kandungan ibunya sampai masa bayi dan usia lima tahun. Selain karena pengetahuan ibu yang rendah, juga karena kemiskinan.
Ada 25 indikator yang memperlihatkan seorang anak balita masuk kategori tengkes. Jumlah 25 indikator ini 30 persen dari sisi kesehatan yang disebut kekurangan gizi spesifik, seperti imunisasi, pemberian vitamin, dan nonmedis 70 persen disebut kekurangan gizi sensitif seperti kekurangan air bersih, pangan, dan daya beli orangtua rendah.
Sebanyak 16 kabupaten di NTT memperlihatkan penurunan tengkes dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2018 angka tengkes di NTT menduduki peringkat satu nasional dengan jumlah anak balita 81.434 jiwa atau 35,4 persen. Tahun 2019 turun menjadi 30,3 persen, tetapi angka riilnya naik menjadi 91.563 anak karena jumlah kelahiran meningkat. Tahun 2020, Januari-Juni menurun menjadi 28,2 persen atau 98.477 anak.
”Penurunan paling menonjol terjadi di Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara. Semua stakeholders di wilayah itu turun tangan mengatasi masalah tengkes ini, seperti lembaga agama, tokoh masyarakat, LSM, pemda, dan pengusaha lokal,” ujar Sarah.
Ia mengatakan, penanggulangan stunting antara lain melakukan pengukuran dan penimbangan berat badan oleh setiap dinas kesehatan dan Bappeda setempat. Mereka menentukan desa-desa mana yang segera diintervensi. Kegiatan ini sejalan dengan realisasi APBD di wilayah itu dengan melibatkan lintas sector pemerintah, lembaga agama, tokoh masyarakat, LSM, dan pengusaha lokal.
”Bupati juga menghimpun semua pihak yang memiliki kemampuan menanggulangi kasus tengkes ini. Salah satu sektor unggulan yang diandalkan menurunkan angka tengkes, yakni memanfaatkan dana desa yang ada. Selama ini, sebagian besar desa di NTT belum memanfaatkan dana desa untuk penanggulangan tengkes ini,”katanya.