Silpa Rp 1,1 Triliun, DPRD Sidoarjo Usulkan Perombakan Pejabat Daerah
Tim anggaran pemerintah daerah dan sejumlah pejabat di Sidoarjo dinilai tidak mampu bekerja optimal sehingga perlu dirombak. Indikasinya, sisa lebih pembiayaan anggaran selalu tinggi setiap tahun.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS —Tim anggaran pemerintah daerah dan sejumlah pejabat pada organisasi perangkat daerah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, dinilai tidak mampu bekerja secara optimal sehingga perlu dirombak. Indikasinya, kembali terjadi sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan dengan nilai tinggi seperti beberapa tahun sebelumnya.
Usulan perombakan pejabat daerah itu disampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo dalam rapat paripurna dengan agenda Penyampaian Laporan Banggar tentang rancangan peraturan daerah pertanggungjawaban APBD 2019, Senin (27/7/2020), di gedung DPRD. Rapat dihadiri Pelaksana Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin.
DPRD meminta eksekutif menindaklanjuti dengan memperbaiki sistem pengendalian internal dan mencari penyebabnya, serta memberikan sanksi kepada penyelenggara negara yang menangani persoalan tersebut.
Juru bicara Tim Banggar DPRD Sidoarjo, Nurhendriyatiningsih, mengatakan, pelaksanaan APBD Sidoarjo 2019 belum sesuai harapan karena terdapat sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan (silpa) sebesar Rp 1,128 triliun. Proporsi silpa yang mencapai 26 persen dari dana yang tersedia Rp 5 triliun ini tergolong besar. Apalagi silpa APBD Sidoarjo terus menunjukkan kecenderungan naik dari tahun ke tahun.
Sebagai gambaran, pada APBD 2018 lalu terdapat silpa sebesar Rp 1,028 triliun, sedangkan sebelumnya pada tahun anggaran 2017 terdapat silpa sebesar Rp 883 miliar. Silpa yang besar itu menjadi temuan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Jatim. Selain silpa, BPK juga menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 7 miliar.
”Terkait hal itu, DPRD meminta eksekutif menindaklanjuti dengan memperbaiki sistem pengendalian internal dan mencari penyebabnya, serta memberikan sanksi kepada penyelenggara negara yang menangani persoalan tersebut,” ujar Nurhendriyatiningsih.
Terkait tren kenaikan silpa yang meningkat dari tahun ke tahun mengindikasikan buruknya kinerja eksekutif dalam membuat perencanaan dan pelaksanaan APBD. Oleh karena itu, perlu adanya pergantian Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan pejabat OPD. Pergantian itu harus mengakomodasi para penyelenggara negara yang memiliki kompetensi sesuai bidang pekerjaan.
Tak kunjung terealisasi
Berdasarkan evaluasi DPRD Sidoarjo, selain silpa tinggi, ada sejumlah proyek pembangunan fisik yang strategis bagi masyarakat tetapi tak kunjung terealisasi padahal telah direncanakan sejak lama. Contohnya proyek pembangunan jalan paralel (frontage road) dari Waru-Sidoarjo sepanjang 9,4 kilometer yang direncanakan sejak 2012 dan pembangunan RSUD wilayah barat.
Proyek jalan paralel ditargetkan selesai pembebasan lahan 2019 dan mulai pembangunan 2020. Faktanya, hingga saat ini pembebasan lahan baru terealisasi 50 persen dan belum ada pembangunan fisik. Sementara proyek RSUD di wilayah barat sudah dua tahun ini gagal terealisasi karena ketidaksepahaman antara eksekutif dan legislatif terkait mekanisme pembiayaannya dan sistem pembangunannya.
Ketua DPRD Sidoarjo Usman mengatakan, tingginya silpa APBD sangat merugikan masyarakat sebab hal itu mengindikasikan adanya anggaran yang belum dimanfaatkan untuk menunjang program pembangunan daerah. Oleh karena itu, pihaknya mendesak eksekutif segera mencari solusinya agar tidak terulang lagi di 2020.
Terkait usulan DPRD Sidoarjo yang meminta perombakan TAPD dan pejabat OPD, Pelaksana Tugas Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin mengatakan, pihaknya mengapresiasi hal itu. Dia juga sependapat perlunya menghadirkan sejumlah ahli yang berkompeten di bidangnya untuk mengatasi permasalahan yang mendera Sidoarjo setiap tahun ini.
”Masukan itu baik proporsional maupun profesional. Namun, sebagai pelaksana tugas bupati, saya berada dalam masa transisi yang kewenangannya juga dibatasi oleh peraturan perundang-undangan,” kata Nur Ahmad.
Sesuai ketentuan, seorang pelaksana tugas bupati tidak bisa melantik pejabat daerah, seperti kepala OPD sebagai pejabat definitif. Pihaknya hanya memiliki kewenangan mengisi jabatan yang kosong di sejumlah OPD, itu pun pejabat yang dilantik sifatnya hanya sebagai pelaksana tugas.
Meski demikian, Nur Ahmad akan menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan oleh DPRD Sidoarjo sejauh tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Nur Ahmad sejatinya merupakan Wakil Bupati Sidoarjo yang mendampingi Bupati Saiful Ilah. Dia dilantik sebagai Pelaksana Tugas Bupati Sidoarjo pada awal 2019 setelah Saiful dinonaktfkan karena berstatus tersangka korupsi.
Dalam beberapa kesempatan, Sekda Sidoarjo Achmad Zaini mengatakan, upaya menurunkan silpa telah dilakukan, misalnya mempercepat pembahasan rencana belanja APBD dengan DPRD. Memotivasi OPD agar melakukan tender lelang proyek jauh-jauh hari untuk menghindari pekerjaan yang molor melampui tahun berjalan.
”Cara lain, memberikan sanksi kepada OPD yang penyerapan anggarannya rendah dengan menyematkan bendera hitam,” ujar Zaini.