Presiden Jokowi: Kasus Covid-19 di Delapan Provinsi Masih Jadi Perhatian
Presiden Jokowi menginginkan upaya serius dilakukan di delapan provinsi dengan jumlah kasus Covid-19 yang tinggi. Jumlah kasus dari delapan daerah ini mencapai 74 persen dari kasus positif Covid-19 di Indonesia.
Oleh
Nina Susilo dan Anita Yossihara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih tingginya penambahan kasus Covid-19 di delapan provinsi menjadi perhatian Presiden Joko Widodo. Presiden meminta di daerah itu diterapkan upaya lebih untuk menurunkan angka kematian, meningkatkan angka kesembuhan, dan mengendalikan laju penambahan kasus positif baru secepat-cepatnya.
Kedelapan provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Papua. Jumlah kasus dari delapan daerah ini mencapai 74 persen dari kasus positif Covid-19 yang ada di Indonesia.
Pada Senin (27/7/2020), jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 100.303 dengan pasien sembuh 58.173, pasien dalam perawatan 37.292, dan meninggal 4.838 orang. Dalam situs Covid19.go.id, tercatat kasus di Jawa Timur 20.539, DKI Jakarta 19.125, Sulsel 8.881, Jateng 8.412, Jabar 6.039, Kalsel 5.656, Sumut 3.390, Sumsel 3.251, dan Papua 2.889.
Penambahan kasus pada Senin ini mencapai 1.525 dengan paling banyak di DKI Jakarta 467, Jawa Timur 273, Jateng 210, Sulsel 110, Bali 62, Papua 56, Sulawesi Utara 56, dan Jabar 45. Adapun, secara global, kasus Covid-19 sudah mencapai 15,8 juta dengan jumlah pasien meninggal mencapai lebih dari 640.000.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi meminta para menteri dan kepala lembaga menangani Covid-19 sebagai krisis serta bekerja lebih cepat dan serius. Pengendalian penambahan kasus baru di delapan provinsi harus dilakukan sebaik-baiknya.
”Turunkan angka kematian serendah-rendahnya, tingkatkan angka kesembuhan setinggi-tingginya, juga kendalikan laju pertumbuhan kasus-kasus positif baru secepat-cepatnya. 3T; testing, tracing, dan treatment betul-betul dilakukan secara masif dan agresif,” tutur Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas bersama Komite Penanganan Covid-19 dari Istana Merdeka, Senin (27/7/2020).
Hadir dalam ratas virtual tersebut, antara lain, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Juliari Batubara, Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala BIN Budi Gunawan, dan Kepala BPS Suhariyanto.
Untuk penanganan di delapan provinsi itu, Presiden juga meminta supaya semua kebutuhan, mulai dari peralatan untuk tes PCR, laboratorium, alat pelindung diri, hingga peralatan di rumah sakit, agar dipenuhi. Selain itu, komunikasi dengan pengelola rumah sakit, masyarakat, dan pemerintah daerah harus dilakukan seefektif mungkin.
Seusai ratas, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo yang juga Ketua Satgas Penanganan Covid-19 menjelaskan, sosialisasi perubahan perilaku masyarakat akan diprioritaskan sampai ke tingkat desa. Untuk itu, Satgas Penanganan Covid-19 akan meningkatkan kolaborasi pentahelix berbasis komunitas dan melibatkan tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, antropolog, sosiolog, dan psikolog di delapan provinsi tersebut.
Perubahan perilaku masyarakat ini sangat penting. Sebab, belajar dari wabah Flu Spanyol yang terjadi Maret 1918 sampai September 1919, korban jiwa di Pulau Jawa saja mencapai empat juta orang. Karena itu, dalam catatan Michigan University yang diterima Satgas, kata Doni, pemerintah kolonial Hindia Belanda mengubah perilaku masyarakat melalui budaya, yakni pertunjukan wayang.
Kampanye jaga jarak, menghindari kerumunan, menggunakan masker dan sering mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir juga akan melibatkan media massa serta semua pemimpin di pemerintahan pusat dan daerah. Keteladanan diperlukan, misalnya, dalam menggunakan masker secara benar dan di saat-saat apa saja.
Selain itu, tambah Doni, Menteri Kesehatan juga sudah berkomunikasi dengan semua pihak serta menyiapkan standar operasi dan prosedur untuk tenaga kesehatan. Harapannya, kerugian dan korban dari dokter dan tenaga medis bisa dihindarkan.
Airlangga juga menegaskan, adanya kabar pemotongan insentif dokter dan tenaga medis di sejumlah daerah diharap tidak terjadi. Sebab, pemerintah masih memiliki anggaran cukup untuk penanggulangan Covid-19. Selain itu, solusi untuk mempercepat penyaluran insentif juga masih dicari.
Terkait adanya penolakan tes cepat atau tes usap di Bali, Doni mengatakan sudah berkoordinasi dengan para tokoh di Bali. ”Mereka yang masih menentang rapid test dan swab test hendaknya dipanggil dan diberi penjelasan. Sebab, ini satu langkah untuk screening dan mengetahui seseorang (terinfeksi) Covid-19 atau tidak. Sebab, kendati berkondisi sehat, tetapi positif Covid-19, dia bisa membahayakan anggota keluarga di rumah,” tutur Doni.
Secara terpisah, Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta agar pemerintah daerah tidak memaksakan penerapan pola hidup baru (new normal) atau melonggarkan pembatasan sosial ketika masih ada kelompok-kelompok masyarakat yang masih menolak menerapkan protokol kesehatan.
”Kalau pelanggaran protokol kesehatan masih marak, sebagaimana terlihat pada sejumlah kota di pulau Jawa, itu berarti pemerintah daerah masih gagal. Sebagian masyarakatnya belum berkesadaran penuh akan pentingnya mematuhi dan melaksanakan protokol kesehatan,’’ tutur Bambang di Jakarta.
Hal ini memang terlihat di DKI dan Jatim, misalnya. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa juga pernah mengakui dalam laporannya dalam kunjungan Presiden Jokowi ke Surabaya bahwa 70 persen warga tidak mengenakan masker. Di Jakarta, aparatur Pemprov DKI sudah mencatat 27.000 lebih kasus pelanggaran penggunaan masker.
”Ini menjadi penanda bahwa Jakarta, Jawa Timur, dan beberapa kota lainnya memang belum siap menerapkan pola hidup baru. Karena itu, jangan dipaksakan. Risikonya cukup besar,’’ ujar Bambang menambahkan.
Membiarkan pelonggaran dan memaksakan pola hidup baru bisa berakibat fatal. Sebab, lonjakan kasus terus berlanjut. Dalam catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kata Bambang, salah satu lonjakan kasus selama dua minggu terakhir di dunia terdapat di Benua Eropa. Hal ini terjadi akibat kelalaian pelaksanaan protokol kesehatan selama fase pelonggaran.