Sebaran titik panas di Nusa Tenggara Timur meluas sejak terpantau satelit 18 Juni hingga 27 Juli 2020. Lokasi sebagian besar terdapat di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Kabupaten Kupang.
Oleh
Kornelis Kewa Ama
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Jumlah sebaran titik panas di Nusa Tenggara Timur terus meluas. Sejak terpantau satelit 18 Juni hingga 27 Juli 2020 terdapat 100 titik panas dengan lokasi sebagian besar terdapat di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, dan Kabupaten Kupang. Penyebab titik panas karena ulah warga sekitar tempat kejadian. Butuh peraturan desa melarang warga desa membakar hutan dengan sanksi yang tegas.
Kepala Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika Stasiun Metereologi El Tari Kupang Agung Sudiono di Kupang, Senin (27/7/2020), mengatakan, jumlah 100 hot spot atau titik panas itu sesuai hasil pantauan satelit Terra, Aqua, Suomi, NPP, dan NOAA20 oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Pada periode 18 Juni-3 Juli 2020, satelit mencatat 22 titik panas.
Sebaran titik panas itu terpantau satelit saat iklim sedang kering dan curah hujan menurun.
Dalam kurun waktu lebih satu bulan, jumlahnya terus meluas atau meningkat, sebagian di lokasi baru, tetapi sebagian di wilayah yang sama tetapi belum terbakar. Sampai dengan 27 Juli, tercatat 100 titik panas, termasuk dua titik panas hari ini, yakni di Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, dan Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur. ”Sebaran titik panas itu terpantau satelit saat iklim sedang kering dan curah hujan menurun,” kata Sudiono.
Wilayah dengan jumlah titik panas terbanyak dan tertangkap satelit adalah Kabupaten Sumba Timur 35 titik panas, Sumba Tengah 21, Kabupaten Kupang 19 titik panas, Kabupaten Alor 10 titik panas, dan Kabupaten Lembata 7 titik panas. Kabupaten yang belum ditemukan titik panas oleh satelit yakni Sabu Raijua dan Manggarai Barat.
Ia mengatakan, tingkat kepercayaan titik panas ada tiga berdasarkan warna. Warna merah menandakan tingkat kepercayaan titik panas 80 persen sehingga segera dilakukan penanggulangan. Warna kuning memiliki tingkat kepercayaan 30-80 persen dan perlu diwaspadai. Warna hijau, dengan tingkat kepercayaan 30 persen, patut diperhatikan.
Tingkat kepercayaan ini ditentukan banyak faktor, antara lain tutupan awan saat kejadian, ada tidaknya air di wilayah itu, nilai temperatur, dan jenis tanah di wilayah itu. Ia mengatakan, titik panas yang tertangkap satelit belum tentu titik api atau kebakaran karena itu perlu diverifikasi langsung di lapangan.
Luas sebaran setiap titik panas mencapai 1 kilometer persegi atau 100 hektar sehingga 100 titik panas, 10.000 ha lahan terbakar. Jumlah 200 hektar terbakar hari ini, yakni 100 ha di Kabupaten Kupang dan 100 hektar di Sumba Timur. Kebakaran ini bakal terus terjadi selama musim kemarau berlangsung.
Walhi memantau
Ketua Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Wilayah Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang mengatakan, data satelit itu 100 persen benar. Informasi BMKG Kupang mengenai titik panas di lokasi tertentu, saat dipantau Walhi NTT, di lapangan juga sedang terjadi kebakaran itu. Foto satelit itu sesuai fakta di lapangan.
Ia mengatakan, NTT dikenal sebagai provinsi yang akrab dengan kebakaran, setiap tahun, saat memasuki musim kemarau, Juni-November. Kebakaran ini akibat ulah warga sekitar lokasi kebakaran. Perilaku membakar ini telah menjadi ”budaya” di kalangan masyarakat, yang erat kaitan dengan pembukaan lahan baru, sistem perladangan berpindah tempat.
”Pembakaran karena warga ingin mendapatkan rumput hijau setelah kebakaran sebagai pakan ternak. Kebakaran terjadi saat warga memanen madu hutan di pohon seperti di wilayah Amfoang, Kabupaten Kupang, juga sikap dari warga membuang punting rokok di rumput kering secara tidak bertanggung jawab atas lingkungan sekitar,” kata Wulang.
Meski NTT menempati peringkat pertama nasional kebakaran pada 2019, dengan luas lahan terbakar 71.712 ha dari total lahan terbakar nasional 135.749 ha, sampai hari ini belum ada tindak lanjut dari pemda bagaimana mengatasi kebakaran itu. Mungkin karena sebagian besar kawasan hutan di NTT hanya berupa padang sabana, yang kering, coklat, dan tandus sehingga dianggap layak dibakar.
Namun, di dalam kawasan padang sabana itu hidup sejumlah fauna dan flora endemi NTT. Kebakaran menyebabkan seluruh fauna dan flora itu punah. Bahkan, beberapa jenis burung predator belalang, seperti di Sumba Timur, punah akibat kebakaran sehingga sekarang belalang begitu leluasa hidup di sana.
Larangan membakar
Anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara NTT, Umbu Manurara, mengatakan, desa-desa di NTT perlu memasukkan larangan membakar hutan di dalam peraturan desa sekaligus sanksi yang tegas bagi para pelaku. Peraturan ini didukung dengan hukum adat desa yang mewajibkan semua warga desa menjaga lingkungan sekitar.
Kekeringan berdampak terhadap gagal panen, rawan pangan, dan gizi buruk. NTT akrab dengan masalah itu, tetapi masalah lingkungan yang ada kaitan dengan kekeringan tidak mendapat perhatian pemerintah.
Komitmen masyarakat desa ini butuh dukungan dari bupati melalui perda atau peraturan bupati. Kekeringan setiap tahun di NTT harus dipahami sebagai masalah kemanusiaan sehingga pejabat daerah setempat memiliki kepedulian untukmengatasi masalah kebakaran itu.
”Kekeringan berdampak terhadap gagal panen, rawan pangan, dan gizi buruk. NTT akrab dengan masalah itu, tetapi masalah lingkungan yang ada kaitan dengan kekeringan tidak mendapat perhatian pemerintah,” kata Manurara.
Bupati Sumba Timu Gidion Mbilijora mengatakan, kebakaran di Sumba Timur karena peternak setempat ingin mendapatkan rumput segar untuk pakan ternak. Hampir semua padang sabana di Sumba Timur adalah padang penggembalaan. Pada musim kemarau seperti sekarang ternak sapi, kuda, dan kerbau kesulitan pakan.
Pemda sudah mengeluarkan larangan membakar hutan saat pembukaan lahan pertanian baru dan padang penggembalaan, tetapi hal itu sulit. Masyarakat selalu memiliki alasan untuk membakar, terutama keterbatasan pakan.