Pandemi Covid-19 membuat sepi permintaan kain sasirangan. Namun, para perajin kain tradisional Banjar itu bertekad terus bertahan dengan cara bersatu dan saling berbagi rezeki.
Oleh
Jumarto Yulianus
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 membuat sepi permintaan kain sasirangan. Namun, para perajin kain tradisional Banjar itu bertekad terus bertahan dengan cara bersatu dan saling berbagi rezeki.
Para perajin kain sasirangan dengan bahan pewarna alami yang tergabung dalam Komunitas Sasirangan Alam Nusantara atau Samut berkumpul di rumah produksi Mayo Sirang di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (16/7/2020). Dalam bahasa Banjar, samut berarti ’semut’ atau ’serangga’.
Belasan perajin yang berkumpul di tempat itu memproduksi kain sasirangan berpewarna alam. Mereka berbagi tugas. Ada yang menyiapkan bahan pewarna alam, memberi pewarna pada kain, menjemur kain, dan membuka ikatan benang pada kain. Seperti semut yang selalu bekerja sama melakukan sesuatu, mereka juga bekerja sama memproduksi kain sasirangan.
”Kami sedang mengerjakan kain sasirangan pesanan Ibu Ketua Tim Penggerak PKK Kota Banjarmasin. Pesanannya cukup banyak. Jadi, kami kerjakan bersama-sama,” kata Ketua Umum Komunitas Samut Meylan, yang juga pemilik usaha Borneo Alam Sasirangan (Borlamsa).
Hari itu kegiatan produksi dilakukan di rumah produksi Mayo Sirang. Hal ini karena Ketua Tim Penggerak PKK Kota Banjarmasin Siti Wasilah, yang merupakan istri Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina, ingin melihat proses produksinya. PKK Kota Banjarmasin memesan 855 lembar kain sasirangan berpewarna alam. Harganya Rp 200.000 per lembar.
Kain sasirangan alam yang dipesan PKK Kota Banjarmasin berwarna coklat. Warna tersebut dihasilkan dari serbuk kayu ulin atau kayu besi yang direbus satu jam. ”Sebanyak 10 liter air rebusan serbuk kayu ulin bisa digunakan untuk
mewarnai lima lembar kain,” kata Riza Aspihany, pemilik usaha Katuju Sasirangan.
Kain putih polos yang sudah dilukis, dijelujur, direbus, dan diikat selanjutnya direndam larutan air rebusan serbuk kayu ulin. Setelah direndam dengan lima kali pencelupan, dilakukan penguncian warna atau fiksasi dengan larutan kapur. Selanjutnya adalah mencecerkan pewarna serbuk kayu ulin dan tunjung dari karatan besi pada kain.
Setelah pewarnaan kain selesai, ikatan dan jahitan kain dibuka. Kain dikeringkan tanpa terkena sinar matahari langsung. Kain kemudian disetrika dan siap dipasarkan. ”Proses produksi dari awal sampai akhir memakan waktu 3-4 hari,” ujar Meylan.
Riza menuturkan, bahan pewarna yang digunakan bukan hanya serbuk kayu ulin, melainkan juga daun indigofera, buah pinang, dan kulit bawang. Berbeda bahan, berbeda pula warna yang dihasilkan. ”Pembuatan kain sasirangan dengan pewarna alam lebih rumit. Karena itu, harga jualnya juga lebih tinggi,” katanya. Kain sasirangan alam dijual mulai dari Rp 150.000 hingga Rp 3 juta per lembar tergantung bahan dan motif. Sebagai perbandingan, harga kain sasirangan alam berbahan katun satin bisa Rp 400.000 per lembar, sedangkan yang menggunakan pewarna sintetis sekitar Rp 120.000 per lembar. Satu lembar kain sasirangan berukuran 2 meter x 1,1 meter.
Lesu
Komunitas Samut terbentuk sekitar 1,5 tahun lalu. Ada 17 perajin sasirangan di Banjarmasin dan Banjarbaru yang bergabung dalam komunitas itu. Mereka adalah perajin yang cukup lama menggeluti usaha pembuatan kain sasirangan dengan pewarna sintetis. Namun, mereka kini pelan-pelan beralih ke pewarna alam agar lebih ramah lingkungan.
Menurut Riza, sasirangan berpewarna alam banyak diminati pembeli dari luar Kalsel. Pesanan banyak datang dari Pulau Jawa hingga luar negeri. Di Kalsel sendiri justru masih kurang diminati karena warna sasirangan berpewarna alam cenderung lebih kalem atau lembut. ”Orang Banjar lebih menyukai sasirangan yang warnanya ngejreng. Itu hanya bisa dibuat dari pewarna sintetis,” katanya.
Sebelum pandemi, Katuju Sasirangan setiap bulan memproduksi hingga 10 lembar kain sasirangan berpewarna alam untuk memenuhi pesanan dari sejumlah daerah. Untuk kain sasirangan berpewarna sintetis, produksinya mencapai 1.000 lembar per bulan untuk seragam sekolah.
Bersatu
Menurut Meylan, semua perajin sasirangan mengalami situasi yang sama di masa pandemi ini. Karena itu, mereka yang tergabung dalam Komunitas Samut bersatu menghadapi situasi yang tak mudah agar bisa tetap hidup.
Kegiatan produksi tidak hanya dibagi rata di antara anggota Komunitas Samut, tetapi juga dibagi ke perajin lain, seperti melukis, menjelujur, dan mewarnai kain. Dengan saling berbagi pekerjaan, mereka meyakini akan mampu bertahan menghadapi situasi sulit ini.
Siti Wasilah mengatakan, berbagai sektor usaha terimbas pandemi Covid-19. ”Kami menaruh perhatian khusus kepada Komunitas Samut karena sudah banyak memproduksi karya-karya yang spesial. Saya sangat berharap komunitas perajin sasirangan ini bisa terus berkembang,” katanya.