Terima Suap Penerimaan Polri, Dua Pamen Divonis 5 Tahun Penjara
Terbukti menerima suap dalam seleksi penerimaan polisi, dua perwira menengah Polda Sumsel, Komisaris Besar (Purn) Soesilo Pradoto,dan Ajun Komisaris Besar Syaiful Yahya, divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang memvonis Komisaris Besar (Purn) Soesilo Pradoto, bekas Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Sumsel, dan Ajun Komisaris Besar Syaiful Yahya 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 5 bulan penjara. Keduanya terbukti menerima suap dalam Penerimaan Calon Siswa Bintara Polri Tahun 2016 senilai Rp 6,05 miliar dari 50 calon siswa bintara Polri.
Putusan itu lebih tinggi dibandingkan tuntutan jaksa, yakni 4 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara.
Putusan ini disampaikan Ketua Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Palembang Abu Hanifah dalam sidang virtual, Kamis (23/7/2020). Kedua terdakwa yang merupakan perwira menengah (pamen) itu mendengarkan vonis dari Rumah Tahanan Kelas 1 Palembang. Dalam putusan tersebut, terdakwa terbukti melanggar Pasal 12 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Soesilo terbukti menerima suap dari 50 calon siswa yang mendaftar dalam Penerimaan Anggota Brigadir Polri, Bintara Penyidik Pembantu, dan Bintara Umum pada periode April-Mei 2016. Saat itu posisi Soesilo adalah Ketua Tim Panitia Pemeriksaan Kesehatan (Rikkes) Penerimaan Calon Siswa Bintara Polda Sumsel Tahun 2016.
Dalam fakta persidangan terkuak, praktik suap itu sudah diatur sejak awal. Siswa yang ingin lulus seleksi harus membayar uang Rp 250 juta. Adapun untuk mereka yang ingin lulus bidang kesehatan, Soesilo mematok harga Rp 20 juta per orang.
Semua calon yang ingin lulus harus berkoordinasi dengan Ajun Komisaris Besar Syaiful Yahya yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Tim Panitia Rikkes . ”Terdakwa meminta agar pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dilakukan dengan baik dan bagi yang ingin meminta bantuan kelulusan bisa berkoordinasikan dengan Syaiful,” ujar Abu.
Syaiful juga berkoordinasi dengan ketua tim bidang lain, yakni bidang tes akademi, tes jasmani, dan tes psikologi. Caranya dengan menitipkan nomor peserta yang perlu diluluskan ke mereka.
Dari Rp 6,05 miliar uang suap yang terkumpul, Soesilo mendapatkan Rp 3 miliar dari Syaiful. Sebanyak Rp 1 miliar diserahkan kepada Ketua Tim Seleksi Psikologis Ajun Komisaris Besar Edya Kurnia dan Rp 300 juta diserahkan kepada Ketua Tim Seleksi Jasmami Ajun Komisaris Besar Thoat Achmad.
Adapun untuk Ketua Tim Seleksi Akademik Ajun Komisaris Besar Deni Dharmapala, Bidang Kesehatan tidak memberikan dana tetapi menjalankan sistem barter atau saling titip nama peserta seleksi.
Soesilo juga menerima Rp 350 juta dari salah satu anggota panitia kesehatan, Komisaris Mansuri. Bagi Soesilo, semua uang yang ia terima dianggap sebagai honornya sebagai Ketua Tim Panitia Rikkes dan biaya operasional.
Dari 50 calon siswa bintara yang menyerahkan uang, ternyata hanya 25 orang yang lulus. Uang suap calon yang tidak lulus dikembalikan, tetapi totalnya hanya Rp 350 juta. Sementara sisa uang lainnya masih berada di tangan Syaiful.
Terdakwa sudah mencoreng nama baik institusi Polri dan dapat memunculkan ketidakpercayaan generasi muda untuk mengikuti tes penerimaan Polri ke depannya.
Abu mengatakan, tidak ada hal yang meringankan terdakwa karena perbuatan kedua terdakwa sudah mencoreng nama baik institusi Polri dan dapat memunculkan ketidakpercayaan generasi muda untuk mengikuti tes penerimaan Polri ke depannya. Padahal, pelaksaan penerimaan Polri dapat dilangsungkan secara adil dan obyektif.
Di dalam persidangan ada sejumlah barang bukti yang dipaparkan, termasuk uang yang merupakan hasil suap sebesar Rp 2,2 miliar. Ke semuanya dirampas untuk negara. Sejumlah barang bukti akan digunakan untuk pengembangan penyidikan dengan tersangka Edya.
Selepas pembacaan vonis, hakim menyatakan terdakwa diberi waktu selama tujuh hari untuk berkonsultasi dengan penasihat hukumnya, demikian juga dengan jaksa. Setelah membacakan vonis, persidangan ditutup.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Palembang Dede Muhammad Yasin memaparkan, pihaknya masih pikir-pikir atas putusan hakim ini.
Ada perbedaan antara pasal yang digunakan pada putusan hakim dan pasal yang digunakan jaksa saat tuntutan. Pada putusannya, hakim menggunakan Pasal 12, sedangkan pada tuntutan, jaksa menggunakan Pasal 5. ”Setelah berkoordinasi dengan pimpinan, kami akan mengambil langkah hukum lanjutan,” ujarnya.
Kapolda Sumsel Inspektur Jenderal Eko Indra Heri menegaskan, apa pun keputusan pengadilan, Polri akan menghormatinya. ”Terhadap anggota yang masih aktif bertugas sebagai polisi, tentu kami akan melaksanakan mekanisme yang diatur dalam organisasi polri,” kata Eko.