Sudah 64 Mantan Anggota DPRD Sumut Terjerat Uang Ketuk Palu
Penahanan 11 anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 diharapkan menimbulkan efek jera terhadap korupsi massal yang membudaya di Sumut. Penyelidikan kasus “uang ketuk palu” masih terus bergulir.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Penahanan 11 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara periode 2009-2014 dan 2014-2019 diharapkan menimbulkan efek jera terhadap korupsi massal yang membudaya di Sumut. Penyelidikan kasus ”uang ketuk palu” oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang terus bergulir sejak 2015 telah menjerat 64 anggota dan pimpinan DPRD Sumut.
”Penindakan yang dilakukan KPK sejak 2015 menunjukkan korupsi massal telah membudaya di Sumut dengan melibatkan seluruh cabang kekuasaan, mulai dari eksekutif, legislatif, hingga yudikatif,” kata pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Mirza Nasution, Kamis (23/7/2020).
Mirza mengatakan, penyelidikan KPK yang terus bergulir menunjukkan korupsi melibatkan hampir semua anggota di DPRD Sumut. Lembaga legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan terhadap eksekutif justru bersekongkol secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.
Penindakan yang dilakukan KPK sejak 2015 seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan di Sumut.
Menurut Mirza, penindakan yang dilakukan KPK sejak 2015 seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan di Sumut. Pemerintah Provinsi Sumut dan DPRD Sumut harus memperbaiki tata kelola pemerintahan yang lebih transparan.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Jakarta mengatakan, pihaknya menahan 11 dari 14 tersangka yang merupakan anggota DPRD Sumut karena diduga menerima hadiah atau janji dari bekas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho sejak 2012 hingga 2015. Tiga tersangka lainnya belum ditahan karena tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka.
Hadiah itu berkaitan dengan persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemprov Sumut 2012 hingga 2014, persetujuan perubahan APBD Sumut 2013 dan 2014, pengesahan APBD 2014 dan 2015, serta penolakan penggunaan hak interpelasi oleh DPRD Sumut tahun 2015.
”Penyidik mendapatkan fakta bahwa 14 tersangka menerima fee dari Gatot Pujo Nugroho terkait pelaksanaan fungsi dan wewenang mereka sebagai anggota DPRD Sumut,” kata Ghufron.
Penetapan 14 tersangka tersebut merupakan bagian dari penyelidikan yang telah dilakukan KPK sejak 2015. Sebelas bekas anggota DPRD Sumut yang telah ditahan adalah Sudirman Halawa, Rahmad Pardamean Hasibuan, Megalia Agustina, Ida Budiningsih, Syamsul Hilal, Robert Nainggolan, Ramli, Layani Sinukaban, Japorman Saragih, Jamaluddin Hasibuan, dan Irwansyah Damanik.
Tiga tersangka lainnya, yakni Nurhasanah, Ahmad Husein Hutagalung, dan Mulyani, belum ditahan karena tidak memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka.
Hingga kini sudah 64 anggota dan pimpinan DPRD Sumut yang dinyatakan terlibat. Lima unsur pimpinan DPRD Sumut sudah lebih dulu diproses hukum pada 2015.
Pada tahun 2016, KPK menangkap dan memproses hukum tujuh ketua fraksi di DPRD Sumut. Kemudian pada 2018, sebanyak 38 anggota DPRD Sumut pun diproses hukum di KPK. Mereka telah dijatuhi vonis di pengadilan 4-6 tahun penjara.
Ghufron mengatakan, kasus tersebut harus menjadi pelajaran bagi masyarakat agar memilih wakil rakyat yang memiliki integritas dan tidak ada rekam jejak korupsi.
Ketua DPRD Sumut Baskami Ginting menyebutkan, kasus korupsi massal tersebut menjadi momentum bagi pihaknya untuk membenahi lembaga perwakilan rakyat itu. Menurut dia, DPRD Sumut kini berupaya menutup celah korupsi dengan lebih terbuka. ”Semua rapat di DPRD Sumut kini terbuka untuk umum,” katanya.
Dengan rapat-rapat yang terbuka, menurut Baskami, peluang pemberian ”uang ketuk palu” bagi anggota DPRD Sumut semakin sempit. Pihaknya kini sedang merencanakan sistem elektronik agar proses penganggaran dan pengesahan di DPRD Sumut bisa diakses masyarakat. ”Mudah-mudahan tahun depan sudah bisa dilaksanakan,” katanya.