Meski belum pulih, berlakunya tatanan normal baru diakui membawa dampak bagi sebagian UMKM di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal itu terlihat dari omzet yang kembali masuk. Jumlahnya memang sedikit, tetapi memberi harapan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Penerapan konsep normal baru mulai berdampak pada usaha mikro, kecil, dan menengah di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Setelah cukup lama terpuruk akibat pandemi, mereka mulai bergairah lagi. Meski omzet masih sedikit, setidaknya ada harapan untuk bisa segera pulih.
Terimbasnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Lombok tidak terlepas dari industri pariwisata di daerah itu yang terdampak Covid-19. Sepinya kunjungan wisatawan membuat UMKM kehilangan omzet karena tidak ada pembeli.
”Sangat terdampak. Sejak Covid-19, omzet kami turun hingga 70 persen,” kata Supiani (28), pemilik Akram Mutiara Lombok, di Dusun Kerangkeng Timur, Desa Banyumulek, Kecamatan Kediri, Lombok Barat, saat ditemui di acara Temu Bisnis Produk Unggulan UMKM Hasil Pembinaan Pendampingan Ekonomi Masyarakat Terdampak Gempa Bumi, Kamis (23/7/2020), di Mataram.
Menurut Supiani, sebelumnya, omzet harian mereka bisa mencapai Rp 50 juta karena banyak wisatawan yang langsung berbelanja. Namun, setelah pandemi Covid-19, tidak ada lagi. Kondisi itu membuat Supiani menutup toko selama dua bulan sejak Maret hingga Juni.
”Kami juga menghentikan pesanan bahan dari pemasok mutiara, kemudian hanya menggunakan bahan lama yang tersisa. Itu pun produksi jika ada pesanan. Kalau sebelum Covid-19, setiap hari kami bisa memproduksi 10-15 perhiasan mutiara,” kata Supiani yang membuat berbagai aksesori dari mutiara, seperti cincin, gelang, dan kalung, ini.
Sangat terdampak. Sejak Covid-19, omzet kami turun hingga 70 persen.
Kondisi serupa juga dialami perajin tenun di Desa Sukarara, Lombok Tengah. Mustapa (49), pemilik Mustapa Tenun, menuturkan, Januari hingga Agustus, seharusnya mereka bisa meningkatkan omzet penjualan karena Lombok ramai dikunjungi wisatawan.
”Para periode itu, saya bisa mendapat Rp 25 juta hingga Rp 30 juta dalam sebulan karena tamu datang terus ke Sukarara. Setelah Covid-19, paling banyak Rp 3 juta. Itu karena sekali seminggu baru ada produk yang terjual. Itu pun saya beri potongan harga,” kata Mustapa yang bekerja sama dengan sekitar 20 perajin di Sukarara.
Tidak hanya kerajinan, UMKM yang bergerak di bidang pertanian juga merasakan dampak serupa. Menurut Ruslan (28) dari bagian pemasaran Kelompok Tani Gerok Sokong, Sajang, Sembalun, Lombok Timur, sebelum pandemi Covid-19, kelompoknya bisa mendapat omzet per hari Rp 3 juta hingga Rp 4 juta.
”Saat itu, kami mendapat banyak order, biji kopi (green bean) hingga kopi bubuk kemasan, dari Mataram, Jakarta, dan Surabaya. Tetapi, setelah ada pandemi, pemesanan berkurang, bahkan kosong,” kata Ruslan.
Normal baru
Hingga saat ini, para pelaku UMKM tersebut masih merasakan dampak Covid-19. Meski demikian, ada harapan baru, yakni mulai masuknya pesanan, terutama sejak mulai berlakunya konsep normal baru.
Ruslan mengatakan, mulai dibukanya kafe-kafe membuat pesanan kopi kembali mereka terima. Terakhir, mereka mengirim sekitar 200 kemasan kopi bubuk ke Jakarta. ”Tidak hanya pesanan dari luar NTB, kami juga sudah mulai memasok kopi untuk kafe-kafe di Mataram,” katanya.
Menurut dia, jumlah pesanan yang mereka terima, termasuk dari kafe-kafe di Mataram, memang tidak sebanyak sebelum pandemi. Meski demikian, kata Ruslan, ada harapan baru bagi mereka.
”Selain itu, produk kami masuk dalam program Jaring Pengaman Sosial Gemilang dari Pemerintah Provinsi NTB. Itu juga sangat membantu,” ucapnya.
Supiani mengatakan, setelah berlangsungnya tatanan normal baru, ia juga kembali mendapat pesanan, terutama dari pelanggan di luar NTB, seperti Makassar dan Malang. Semuanya melalui penjualan secara daring, seperti di Instagram, Facebook, dan Whatsapp.
”Setiap ada model baru, saya unggah media sosial. Alhamdulillah, bulan ini sudah ada tiga pesanan. Semoga dengan kondisi normal baru, makin baik,” kata Supiani yang berharap industri pariwisata kembali pulih.
Perubahan
Mustapa menambahkan, berlakunya tatanan normal baru memang belum membawa perubahan besar bagi usahanya dan UMKM di bidang lain. Namun, setidaknya fase normal baru dengan penerapan protokol kesehatan mulai mendorong banyaknya kegiatan untuk kembali menghidupkan UMKM.
”Hari ini, misalnya, ada temu bisnis. Saya diundang. Memang belum ada yang laku terjual, tetapi setidaknya saya bisa promosi di sini. Sebelumnya, kan, tidak boleh ada kegiatan seperti ini,” kata Ruslan.
Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengatakan, program JPS Gemilang menjadi upaya mereka menjaga keberlanjutan industri kecil menengah dan UMKM. Oleh karena itu, penyaluran bantuan tidak dalam bentuk uang tunai, tetapi komoditas produk IKM/UMKM tersebut.
Sebelumnya, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia NTB Achris Sarwani mengatakan, perekonomian di NTB hingga saat ini belum kondusif akibat pandemi. Hal itu terlihat dari penurunan inflow (uang masuk dari perbankan ke BI) dan outflow (uang keluar dari BI ke perbankan).
Dalam kondisi itu, kata Achris, selain mendorong percepatan penyerapan APBD atau APBN, pemberdayaan UMKM agar tetap produktif juga menjadi solusi.
Pemberdayaan itu, ujarnya, harus menjamin ada keterhubungan antara UMKM dan pasar, terutama pasar lokal. Selain itu, penggunaan platform dan pembayaran digital juga berdampak pada data transaksi yang bisa terdokumentasi dengan baik. Hal itu akan menjadi dasar bagi perbankan dalam memberikan pinjaman modal kepada pelaku UMKM.