Bocah Lima Tahun Alami Kekerasan Seksual oleh Tiga Anak SD di Kendari
Seorang bocah berumur lima tahun di Kendari diduga kuat mengalami kekerasan seksual oleh tiga orang tetangganya yang berusia 7-8 tahun. Pengawasan ketat orangtua dan lingkungan wajib ditingkatkan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Seorang bocah perempuan berumur lima tahun diduga kuat mengalami kekerasan seksual yang dilakukan tiga orang tetangganya di Mandonga, Kendari, Sulawesi Tenggara. Terduga pelaku juga masih belia, berusia 7-8 tahun dan duduk di bangku sekolah dasar. Pukulan telak saat Indonesia tengah merayakan Hari Anak Nasional.
Kepala Polsek Mandonga Ajun Komisaris I Ketut Arya Mijanarka mengatakan, dugaan kekerasan seksual itu dilaporkan ibu korban pada Rabu (22/7/2020) sore. Aparat lalu menggali informasi lebih jauh dari orangtua korban dan tiga anak lelaki terduga pelaku.
”Kejadian ini diduga terjadi pada hari Minggu (19/7/2020) di sekitar tempat tinggal terduga pelaku dan korban di Mandonga. Ketiga terduga pelaku sempat menonton film dewasa di telepon pintar. Setelah itu, mereka ketemu korban dan diduga melakukan kekerasan seksual,” ucap Arya di Kendari, Kamis (23/7/2020).
Orangtua korban, tutur Arya, mendengar keluhan korban yang merasa sakit saat buang air kecil. Setelah ditanyakan, sang anak menceritakan kejadian naas yang menimpanya. Pihak keluarga lalu melaporkan hal ini kepada polisi.
Saat ini, tambah Arya, pihaknya sedang menunggu visum terhadap korban. Selain itu, proses diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana) sesuai aturan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2012 sedang diupayakan. Sebab, hal itu wajib dilakukan jika pelaku dan korban sama-sama berusia di bawah 12 tahun.
”Saat ini penyidik pembantu sedang melakukan upaya diversi sesuai UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak karena pelaku dan korban masih di bawah umur. Proses diversi juga akan melibatkan pihak profesional,” sambung Arya.
Terkait kejadian ini, ia berharap agar setiap orangtua selalu mengawasi anak, terutama pada masa pandemi seperti saat ini. Anak yang dekat dengan telepon pintar berpotensi menyalahgunakan dan mendapat dampak buruk dunia maya.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi di Kendari. Catatan Rumpun Perempuan Sultra (RPS), organisasi yang kerap menangani permasalahan perempuan dan anak di Sultra, mencatat, pada 2019 terjadi sedikitnya 15 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Selama pandemi, sejak awal tahun 2020, sudah terjadi lima kasus kekerasan seksual anak.
Direktur RPS Husnawati mengemukakan, kasus kekerasan seksual terhadap anak dengan pelaku yang juga di bawah umur harus mengikuti proses diversi sesuai aturan peradilan anak. Keluarga korban, pelaku, dan keluarga pelaku dimediasi untuk mendapatkan jalan keluar terbaik. Sebab, pelaku yang juga di bawah umur berdasarkan aturan tidak bisa ditahan.
”Makanya harus ada penyamaan persepsi antara keluarga korban dan pelaku agar tidak merembet ke mana-mana. Mediasi ini harus melibatkan unsur pemerintah, juga profesional,” terang Husna.
Salah satu hal utama, menurut Husna, bagaimana mendampingi korban agar tidak mengalami trauma mendalam. Pihak terkait, mulai dari aparat sampai pemerintah, harus terlibat dan mendampingi anak juga keluarga korban.
Terhadap terduga pelaku, sebaiknya ditelusuri penyebab sampai melakukan tindakan pelecehan. ”Saya yakin mereka sempat melihat atau mendengar sesuatu yang berbau pornografi sehingga berniat mencoba. Di sinilah peran keluarga dan pemerintah dalam memberikan pemahaman, baik penggunaan gadget maupun edukasi seks,” jelasnya.
Saya yakin mereka sempat melihat atau mendengar sesuatu yang berbau pornografi sehingga berniat mencoba. Di sinilah peran keluarga dan pemerintah dalam memberikan pemahaman, baik penggunaan gadget maupun edukasi seks.
Dalam pandemi seperti saat ini, Husna menambahkan, potensinya bisa lebih tinggi karena penggunaan telepon pintar untuk anak semakin bertambah. Orangtua seharusnya terus-menerus mendampingi anak dan memberikan pemahaman apa yang baik dan tidak boleh dilakukan.
Selain itu, edukasi seks tidak boleh lagi dianggap tabu. Orangtua hingga dinas pendidikan setempat harus bergerak aktif dan memikirkan cara terbaik memberikan pemahaman seks.
”Kita tentu tidak berharap kejadian seperti ini terus terulang. Anak-anak menjadi korban karena ketidaktahuannya terhadap masalah seksual. Kejadian ini merupakan pukulan berat bagi kita semua, terutama yang kini tengah memperingati Hari Anak Nasional,” ucap Husna.