Di masa pandemi, banyak anak di Kota Ambon, Maluku, membantu orangtua mencari nafkah karena guncangan ekonomi keluarga. Masa depan mereka menjadi taruhan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang memukul ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, ikut menyeret anak-anak membantu orangtua mencari uang. Di Kota Ambon, Maluku, banyak anak-anak kini menjadi penjual di pasar, berjualan keliling di perkampungan, menjajakan koran di lampu merah, dan menjaga parkir kendaraan. Tak ada upaya penanganan anak di tengah pandemi.
Pantauan Kompas, Kamis (23/7/2020), di lokasi parkir Lapangan Merdeka, beberapa anak kecil mengatur motor lalu menagih jasa jaga kepada warga yang memarkir kendaraannya. Satu motor ditagih Rp 2.000. ”Pagi sampai siang bisa dapat 30.000,” kata Acim (12), siswa salah satu SMP swasta di Ambon. Mereka berkelompok.
Pada sore harinya, anak-anak itu bergerak ke emperan toko di Jalan AY Patty. Mereka datangi beberapa penjual koran dan mengambil koran yang belum laku terjual. Mereka pergi menjualnya ke tempat perbelanjaan hingga lampu merah. Koran dijual dengan harga Rp 5.000. Setiap satu eksemplar koran mereka mendapat Rp 1.000.
Menu makan pagi, yang sebelumnya nasi kuning, kini hanya sepotong kue atau mi.
”Kadang ada yang kasih uang Rp 10.000 terus mereka tidak mau terima uang kembali,” ujar Acim, anak ke lima dari delapan bersaudara itu. Ibu Acim adalah penjual keliling yang menjajakan rokok, tisu, dan permen di sekitar pusat kota, sedangkan ayahnya bekerja sebagai buruh panggul di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon.
Acim menuturkan, selama pandemi ini, orangtuanya kesulitan mendapatkan uang untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Ia sendiri tidak lagi mendapatkan uang jajan. Menu makan pagi, yang sebelumnya nasi kuning, kini hanya sepotong kue atau mi. Terkadang, mereka tidak dapat sarapan pagi.
Menurut Acim, liburan di tengah pandemi ini menjadi kesempatan mereka untuk mencari uang. Ia mengaku tidak dapat mengikuti pembelajaran jarak jauh yang diberikan guru karena tidak memiliki telepon genggam. Guru-guru juga tidak mengecek aktivitasnya. ”Kalau Pak Guru lihat saya di sini (jaga parkir), pasti dia marah,” katanya.
Sementara itu, di sepanjang Jalan Pantai Mardika hingga Pasar Mardika, banyak anak ikut orangtuanya berdagang hasil kebun dan ikan. Ada yang ikut mendorong gerobak, ada juga yang berjualan jas hujan dan gantungan pakaian. Mereka berjalan kaki di seputaran kota. Sayangnya, banyak dari mereka tidak menjaga protokol kesehatan.
Anak yang ikut bekerja membantu orangtua juga terlihat di kompleks Karang Panjang. Dua kakak beradik, setiap malam, terlihat menjual sayur menggunakan gerobak. Mereka masuk keluar gang dan melewati halaman rumah warga sambil mendorong gerobak hingga pukul 23.00 WIT. Sayur yang mereka jual itu diolah ibu mereka sendiri. ”Kami bantu mama jualan karena bapak jauh,” laya Ronal (11).
Sejauh ini, belum ada upaya untuk menangani anak-anak dari kelompok rentan ini.
Jadi korban
Pemerhati masalah anak di Maluku, Jusmelinda Holle, mengatakan, tekanan ekonomi di tengah pandemi membuat anak terpaksa harus bekerja membantu orangtua. Banyak anak tanpa paksaan melakukan itu lantaran mengalami sendiri guncangan ekonomi keluarga. ”Ini kebanyakan anak-anak dari keluarga miskin. Kelompok paling terdampak,” katanya.
Akibatnya, waktu belajar mereka terganggu. Tugas yang diberikan guru tidak dikerjakan. Terlebih anak-anak yang tidak memiliki akses belajar jarak jauh, mereka semakin tertinggal. Ada potensi mereka akan putus sekolah. Masa depan mereka pun suram. Sejauh ini, belum ada upaya untuk menangani anak-anak dari kelompok rentan ini.
Selain ikut bekerja, lanjut Jusmelinda, berdasarkan laporan yang ia peroleh, ada anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik oleh ayah maupun ibu. Itu juga terjadi di kalangan keluarga miskin. Saat anak meminta uang untuk keperluan belajar, ada orangtua yang marah, bahkan sampai memukul.
Ada juga laporan bahwa rumah tangga tidak lagi harmonis lantaran suami kehilangan pekerjaan dan masih terus menganggur. Hampir setiap hari suami dan istri bertengkar. ”Dan, ada yang mau cerai. Ini ujung-ujungnya anak yang akan jadi korban,” ujarnya.