Kepolisian Daerah Sumatera Barat mengungkap praktik prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur di Kota Padang. Prostitusi anak sering dipicu faktor ekonomi dan kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kepolisian Daerah Sumatera Barat mengungkap praktik prostitusi yang melibatkan anak di bawah umur di Kota Padang. Seorang mucikari ditetapkan sebagai tersangka.
Tersangka adalah DEP (26), warga Kota Pariaman, Sumbar, yang sehari-hari dikenal sebagai pengangguran. Sementara korban adalah TFP (19) dan Panggil Saja Bunga (16). Polisi memberi nama korban Panggil Saja Bunga karena korban masih di bawah umur.
Kedua korban sebelumnya berprofesi sebagai gadis promosi penjualan (sales promotion girl) yang kemudian dijajakan oleh DEP. ”Dua wanita itu disuruh oleh DEP berhubungan badan dengan dua lelaki. Mereka diiming-imingi dengan uang,” kata Inspektur Dua Doni Rahmadian, Pembantu Unit I Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Sumbar, di Padang, Rabu (22/7/2020).
Pengungkapan kasus berawal dari laporan masyarakat yang resah dengan maraknya kegiatan prostitusi. Menindaklanjuti laporan itu, polisi menangkap mucikari dan dua korban yang tengah menunggu pemesannya di salah satu hotel di Kota Padang, Sabtu (18/7/2020) pukul 21.30.
Di tempat kejadian, polisi menyita sejumlah barang bukti, antara lain uang tunai Rp 1 juta, dua ponsel pintar, alat kontrasepsi, dan kartu kunci kamar hotel. Setelah diperiksa, DEP ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Sementara itu, Panggil Saja Bunga dan TFP, yang berstatus korban, menjalani rehabilitasi di Panti Sosial Karya Wanita Andam Dewi Kabupaten Solok.
Menurut Doni, sesuai keterangan tersangka, ia menerima pesanan dari pemesan melalui aplikasi Whatsapp. Sekali transaksi kencan singkat (short time) yang bertarif Rp 800.000, DEP mendapat bagian Rp 200.000 dan korban Rp 600.000.
Atas perbuatannya, DEP ditetapkan melanggar Pasal 2 juncto Pasal 17 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan atau Pasal 88 juncto Pasal 76 I UU No 17/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Untuk Pasal 2 juncto Pasal 17 UU No 21/2007, pelaku terancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun. Hukuman pelaku ditambah sepertiga dari ancaman hukuman pidana karena korban merupakan anak. Sementara untuk Pasal 88 juncto Pasal 76 I UU No 17/2016, pelaku terancam pidana penjara maksimal 10 tahun.
Rumah tidak nyaman
Direktur Women Crisis Center (WCC) Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yenti, mengatakan, ada beberapa faktor pemicu anak terjerat dalam prostitusi. Faktor paling sering ditemukan adalah kondisi ekonomi dan ketidaknyamanan anak ketika berada di rumah.
Dalam beberapa kasus yang ditemukan WCC Nurani Perempuan, ada anak yang terjebak prostitusi karena mengalami kekerasan dalam rumah tangga, salah satunya akibat kondisi ekonomi. Orangtua di rumah sering bertengkar dan menyalahkan korban.
Anak yang merasa tidak nyaman kemudian pergi dari rumah dan mencari kesenangan lain di luar rumah. ”Akhirnya, karena tidak punya informasi atau pengetahuan dari orangtua, anak tidak bisa menyaring pengaruh-pengaruh di luar,” kata Meri.
Kondisi tersebut diperburuk pula oleh minimnya pendidikan reproduksi dan seksualitas yang diberikan orangtua kepada anak. Anak-anak zaman sekarang mudah mendapatkan informasi melalui internet dan media sosial, yang terkadang memberikan dampak buruk kepada anak.
Selain itu, kata Meri, godaan untuk menjalani gaya hidup hedonis juga turut memicu anak terlibat dalam prostitusi. Mereka hendak punya ponsel bagus dan hidup lebih gaya tetapi ekonomi terbatas. Terlibat prostitusi pun menjadi jalan pintas.
”Namun, pada prinsipnya, persoalan utama adalah anak-anak tidak pernah diberi pengetahuan dan informasi oleh orangtua sehingga terpengaruh oleh apapun yang ada di lingkungannya. Kalau punya informasi dan pengetahuan baik, anak tidak akan terpengaruh,” kata Meri.