Dalam Sengketa, Penyiapan Calon Lahan Hunian Tetap Penyintas di Palu Jalan Terus
Lahan untuk hunian tetap korban likuefaksi di Palu bermasalah karena warga mengklaim sebagian lahan. DPRD meminta menghentikan proses pembangunan huntap di lahan itu, tapi Kementerian PUPR jalan terus.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Meski dalam sengketa, Kementerian PUPR belum menghentikan proyek penyiapan calon lahan untuk pembangunan hunian tetap atau rumah bagi penyintas bencana di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Langkah itu berlawanan dengan permintaan DPRD yang merekomendasikan agar masalah sengketa diselesaikan terlebih dahulu.
Penggusuran dan pembersihan calon lahan untuk pembangunan hunian tetap (huntap) masih berlangsung di lokasi di Kelurahan Talise Valangguni, di belakang pasar Talise atau bagian timur Sirkuit Panggona, Kota Palu, Rabu (22/7/2020). Ada empat alat berat dioperasikan untuk meratakan gundukan tanah. Sejumlah truk juga dikerahkan untuk mengangkut tanah yang digali alat berat.
Anggota Polri/TNI terlihat berjaga di pondok di dekat alat berat di sisi timur lokasi. Penggusuran lahan dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulteng.
Lahan itu menjadi lahan sengketa antara Kementerian PUPR dan warga. Warga Talise dan Talise Valangguni mengklaim lahan yang tengah dipersiapkan untuk pembangunan huntap penyintas gempa, tsunami dan likuefaksi dalam empat bulan terakhir. Selain berunjuk rasa, mereka juga memagari lahan tersebut. Mereka pun mendirikan pondok.
Meskipun mengklaim mengolah lahan itu, warga tak memiliki bukti hak atas lahan baik berupa surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) ataupun sertifikat hak milik. Mereka mengakui hal itu. Lahan tersebut bagian dari bekas hak guna bangunan sebuah perusahaan.
Koordinator Talise Bersaudara Bei Arifin, di sela-sela unjuk rasa pada Selasa (21/7/2020), menyatakan, warga mengolah lahan selama ini karena perusahaan menelantarkannya. Warga meminta agar akses itu diberikan. Lokasi pembangunan huntap bisa digeser ke lahan kosong lain yang masih luas, seperti ke arah timur.
Dalam unjuk rasa warga itu, DPRD Kota Palu menyepakati penerbitan surat atau rekomendasi ke para pihak untuk menghentikan sementara kegiatan di lokasi pembangunan huntap.
Penghentian sementara itu berlaku untuk Kementerian PUPR yang menyiapkan lahan dan warga yang memagari lahan serta mendirikan pondok di area itu. Penghentian dilakukan sambil mencarikan jalan keluar terbaik sengkarut lahan tersebut.
Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Sulteng Ferdinand Kana Lo menyatakan, pihaknya masih tetap bekerja dengan pengawalan anggota Polri/TNI. Penyiapan lahan itu juga pernah disepakati dalam Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompida) Palu.
”Kami menunggu surat dari Wali Kota Palu yang memerintahkan untuk menghentikan pekerjaan. Kalau perintah tertulis sudah ada, kami akan teruskan ke Jakarta untuk meminta arahan,” ujarnya di Palu, Sulteng, Rabu.
Secara terpisah, Kepala Dinas Penataan Ruang dan Pertanahan Kota Palu Moh Risal menegaskan, pihaknya belum menerima surat atau rekomendasi dari DPRD Kota Palu terkait penghentian sementara penggusuran lahan. Kalau surat itu sudah diterima, ia akan melaporkannya ke wali kota untuk pengambilan langkah selanjutnya.
Ancaman pidana
Lahan yang menjadi sengketa itu seluas 46,8 hektar. Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Sulteng telah menetapkan lokasi itu untuk pembangunan huntap. Luasan itu bagian dari 300 hektar lahan yang telah disiapkan untuk pembangunan huntap penyintas di Kota Palu dan Kabupaten Sigi dengan total huntap sekitar 10.000 unit. Di Palu, selain lokasi yang bermasalah itu, titik pembangunan huntap lain berada di Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore dan Kelurahan Duyu, Kecamatan Tatanga.
Ferdinan mengingatkan semua pihak yang menghalangi atau menghambat program rekonstruksi dan rehablitasi pascabencana bisa dipidana. Hal itu diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pasal itu menyebutkan orang yang dengan sengaja menghambat kemudahan akses rehabilitasi dan rekonstruksi terancam pidana penjara paling singkat tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 2 miliar. ”Pembangunan huntap merupakan amanat Undang-Undang,” kata Ferdinand.
Pembangunan huntap merupakan amanat undang-undang.
Kepala Kepolisian Resor Palu Ajun Komisaris Besar Moch Sholeh memastikan, pihaknya menjaga lokasi pembangunan huntap atas permintaan Kementerian PUPR. Selama permintaan itu ada, pengamanan di lakosi tetap dilakukan.
Masih bermasalahnya lahan untuk pembangunan huntap tersebut berpotensi tak bisa rampungnya target penyediaan rumah untuk penyintas hingga akhir 2020. Sejauh ini, total tak lebih dari 2.000 huntap atau rumah sudah dan sedang dibangun di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala. Jumlah itu jauh dari kebutuhan yang mencapai 11.000 huntap.