Berbisnis Kuliner agar Dapur Terus Mengepul Saat Pandemi
Pandemi membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, bisa karena dirumahkan atau pemutusan hubungan kerja. Agar bisa bertahan, mereka mencari alternatif. Salah satunya adalah berbisnis kuliner.
Covid-19 telah membuat banyak orang kehilangan sumber penghasilan. Tak ingin hanya meratapi nasib, mereka mencari cara untuk bisa bertahan. Bisnis kuliner menjadi pilihan agar dapur terus mengepul.
Jam menunjukkan pukul 12.15 Wita, Rabu (8/7/2020), saat Paskalis Rony (28) tiba di kawasan Jalan Majapahit, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Siang itu, ia mengendarai sepeda motor dengan sebuah kotak besar bertuliskan Nyemilclub.id di bagian belakang.
Begitu turun dari motor, Rony mengambil ponsel, mengetik nomor, kemudian menelepon. Tak berapa lama, seorang pria keluar dari sebuah toko. Rony bergegas membuka kotak, mengambil satu kantong plastik berisi dua mika pisang green tea lumer.
Setelah menyerahkan kantong plastik itu dan menerima uang pembayaran, Rony mengucapkan terima kasih, kemudian pamit. Ia lalu menghidupkan sepeda motor dan melanjutkan mengantar pesanan ke tujuan berikutnya.
Pada hari yang sama, Lalu Satria Permadi Arif (31) juga berkeliling dari satu tempat ke tempat lain di Kota Mataram untuk mengantar sambal produknya sendiri. ”Selain berkeliling mengantar pesanan, saya juga buka lapak di motor. Kemudian diam di pinggir jalan. Sehari bisa 30 cup (wadah) sambal terjual,” kata Satria.
Jika Rony dan Satria lebih banyak mengantar pesanan di Kota Mataram, lain cerita Yuni Sulpia Hariani (31) dari Pawon Rigby. Dalam seminggu, Yuni bisa berkali-kali menempuh perjalanan lebih dari 20 kilometer dari Jonggat, Lombok Tengah, ke Mataram untuk mengantar pesanan. Pawon Rigby menjual beraneka makanan, mulai dari donat hingga masakan Nusantara.
”Selain dari wilayah Lombok Tengah, pesanan memang datang juga dari konsumen di Mataram. Jadi, harus saya antar. Tidak apa-apa karena ada ongkos kirimnya,” kata Yuni.
Terdampak Covid-19
Merebaknya Covid-19 telah berdampak pada semua daerah di Indonesia, termasuk Nusa Tenggara Barat. Semua bidang pekerjaan terimbas.
Bagi yang beruntung, mereka tetap bisa bekerja seperti biasa dengan berbagai penyesuaian. Sebaliknya, ada juga yang harus dirumahkan hingga menerima pemutusan hubungan kerja karena tempat mereka bekerja sebelumnya tutup.
Dalam kondisi tidak bekerja dan tanpa penghasilan seperti biasa, mereka harus memutar otak agar bisa bertahan. Pilihan yang kemudian muncul adalah bisnis kuliner atau makanan.
Kuliner paling memungkinkan karena peminatnya banyak.Pada saat yang sama, masyarakat juga masih mengurangi makan di luar rumah untuk menghindari penyebaran Covid-19. Termasuk di NTB yang hingga saat ini masih berada dalam zona merah Covid-19.
Lucia Cindy (28), pemilik Nyemilclub.id, menuturkan, sebelum Covid-19, ia bekerja di salah satu hotel di kawasan Senggigi, Lombok Barat. ”Setelah Covid-19, hotel tempat saya bekerja terpaksa harus tutup sementara. Saya juga turut diistirahatkan,” kata Cindy.
Untuk mengisi waktu luang, Cindy kembali ke usaha kuliner. Sebelumnya, Nyemilclub.id pernah berjalan sekitar enam bulan pascagempa Lombok 2018. Namun, karena mendapat tawaran bekerja di hotel, Cindy istirahat dari bisnis kuliner.
”Saat merintis dulu, bisnis kuliner memang sedang ramai. Jadi, saya sudah mengembangkan minat di sana sehingga saat pandemi seperti sekarang tinggal melanjutkan apa yang sudah saya bangun,” katanya.
Satria juga merasakan dampak pandemi. Merebaknya Covid-19 membuat pemerintah melarang kegiatan yang mengumpulkan banyak orang. Otomatis pria yang sebelumnya bekerja sebagai vendor sound system dan dekorasi pelaminan itu kehilangan pemasukan karena tidak ada resepsi pernikahan. ”Benar-benar habis, tidak ada pemasukan lagi,” kata Satria.
Menurut dia, bisnis makanan tidak akan pernah mati sehingga dia banting setir ke sana. ”Jualan kuliner jadi satu-satunya alternatif. Lalu saya memilih sambal karena itu identik dengan Lombok,” kata Satria yang bersama istrinya merintis produk bernama Sambal Mandalika.
Ia menuturkan, hampir sebagian besar pekerja di bidang jasa pernikahan mengikuti jejaknya. ”Mereka, kan, memilih tidak memecat karyawan. Jadi, harus mencari alternatif untuk tetap bisa memberi gaji. Makanya, pilih kuliner juga. Ada yang jualan salad, sate, dan berbagai makanan ringan,” ujar Satria.
Tidak semuanya merambah bisnis kuliner murni karena kehilangan pekerjaan. Beberapa di antaranya kebetulan hobi memasak. Gayung bersambut karena saat pandemi, makanan yang mereka bikin laris.
”Saya baru selesai kuliah ketika pandemi ini dimulai. Kebetulan sekali saya hobi masak dan menfotonya, kemudian diunggah ke media sosial. Ternyata teman-teman saya tertarik dan memesannya,” kata Yuni.
Hal serupa juga disampaikan Supriatin Rahayu Ibrahim (35) yang membantu kakaknya menjual kacang kara. Menurut Supriatin, ia memang hobi memasak, kemudian suka mengunggah foto masakannya ke media sosial.
”Ternyata ada yang tertarik dan pesan. Tidak hanya di tempat kerja, tetapi juga sampai luar kabupaten,” kata Supriatin yang sehari-hari bekerja di Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lombok Barat.
Meski demikian, keduanya mengakui bahwa penghasilan dari usaha kuliner itu sangat membantu ekonomi keluarga di tengah pandemi. ”Saya rasa ekonomi terbantu karena suami yang bekerja di sektor pariwisata, tepatnya di salah satu resor, terkena imbas dan dirumahkan,” kata Yuni.
Omzet
Semua produk yang dijual baik oleh Cindy, Satria, Yuni, maupun Supriatin adalah buatan sendiri. Produk-produk kue, misalnya, dibuat berdasarkan pesanan di awal (pre-order) yang dibuka sehari sebelumnya. Sementara sambal dibuat dalam jumlah banyak, lalu menunggu pemesanan.
Nyemilclub.id milik Cindy saat ini memiliki sedikitnya enam menu yang terdiri dari tiga varian pisang lumer (cokelat, keju, dan green tea) serta ceker pedas, lumpia sayur, dan nasi ayam sambal matah atau balado.
Yuni menjual donat, kue kering, hingga masakan Indonesia dan Barat. Adapun Satria fokus pada sambal. ”Tetapi, dalam waktu dekat, kami akan membuat rarit (daging sapi yang dikeringkan),” kata Satria.
Menurut Supriatin, selain tetap menjual kacang kara pedas milik kakaknya, dia juga mulai merambah ke menu lain, yakni mi bumbu. ”Itu olahan mi menggunakan bumbu. Pemesannya banyak. Dalam sehari bisa dua kali pengantaran,” katanya.
Semua produk itu mereka promosikan lewat media sosial, seperti Instagram, Facebook, termasuk juga Whatsapp. Biasanya, tak menunggu lama, pesanan dari konsumen langsung masuk.
”Saya memproduksi sambal tiga kali seminggu. Totalnya ada 300 wadah. Semua bahannya segar. Cabai saya beli langsung dari petani di Lombok Timur,” tutur Satria.
Terkait omzet per hari, ia mengatakan bisa menjual sekitar 30 cup sambal per hari dengan pendapatan sekitar Rp 500.000. Satu wadah ukuran 300 gram sambal ia jual dengan harga Rp 18.000 atau Rp 15.000 jika pelanggan membeli dua wadah sekaligus.
”Itu sekaligus untuk menjaga pelanggan, termasuk meniadakan ongkos kirim,” katanya.
Sementara Cindy dalam sehari bisa mendapat sekitar Rp 175.000. Namun, jika banyak pesanan, ia bisa mendapatkan Rp 200.000-Rp 250.000 per hari.
Agar bisa menjaga pelanggan, Cindy terus berusaha menjaga rasa dan kualitas menu serta memastikan harga tetap terjangkau. Ia juga terus mengeksplorasi menu-menu baru.
”Saya juga selalu menjaga kualitas rasa. Kadang-kadang juga memberi promo gratis antar dan bonus ketika berbelanja dalam jumlah tertentu,” kata Yuni.
Penyesuaian
Melihat fenomena masyarakat berjualan kuliner kala pandemi, pengamat ekonomi Universitas Mataram, M Firmansyah, mengatakan, manusia memang harus bertahan agar dapur tetap mengepul.
”Manusia diciptakan untuk menyesuaikan dengan keadaan. Dalam kondisi pandemi seperti sekarang, orang akan mencari ruang-ruang baru untuk tetap bertahan,” kata Firmansyah.
Menurut dia, munculnya fenomena ini bagus karena pada saat yang sama membantu pemerintah menstabilkan kehidupan sosial. Sulit untuk sepenuhnya mengandalkan bantuan, seperti jaring pengaman sosial (JPS) dan bantuan langsung tunai (BLT), karena jumlahnya sangat terbatas.
”Saya percaya, pada setiap momen akan lahir keseimbangan ekonomi atau ekuilibrium baru. Pandemi, misalnya, melahirkan pola kehidupan baru karena kita tidak akan kembali ke belakang. Pola kehidupan baru baik dalam berinteraksi, transaksi, yang juga mendorong inovasi-inovasi baru,” kata Firmansyah.
Ia yakin bahwa bisnis kuliner yang saat ini muncul karena pandemi bisa terus bertahan. Apalagi melihat pasokan dan permintaan yang bagus.
”Konsumen juga terbuka. Lalu ada modal sosial yang mungkin jarang ditemukan di dunia lain seperti di Indonesia, yakni jualan dari rumah ke rumah, mulut ke mulut, termasuk dari pertemanan,” ujarnya.
Firmansyah melihat, ini menjadi titik awal yang baik, termasuk bagi pemerintah, jika ingin melakukan reorientasi industri kecil menengah (IKM).
”IKM bisa kita dorong mengutamakan produk kebutuhan pokok. Sebelumnya, kan, sektor sekunder dan banyak terdampak, seperti kerajinan dan oleh-oleh. Dalam kondisi pandemi, orientasi masyarakat ke kebutuhan pokok,” katanya.