Warga Dairi Minta Pendanaan Tambang Seng PT DPM Dihentikan
Masyarakat menolak keberadaan tambang seng milik PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Mereka telah mengirim surat kepada Pengawas Bank Dunia agar menghentikan pembiayaan pertambangan.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Sejumlah kelompok masyarakat menolak keberadaan tambang seng milik PT Dairi Prima Mineral di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Mereka telah mengirim surat kepada Pengawas Bank Dunia agar menghentikan pembiayaan pertambangan itu. Hingga kini, masyarakat belum mendapat sosialisasi memadai tentang kegiatan dan dampak pertambangan.
”Setelah beroperasi kembali sejak 2017, kami belum mendapatkan informasi tentang apa saja kegiatan, dampak, dan risiko dari pertambangan itu bagi kami,” kata Sugianto Hasugian, warga Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-Pungga, Dairi, dalam konferensi pers melalui sambungan konferensi video, Selasa (21/7/2020).
Konferensi pers itu dihadiri oleh perwakilan warga, Yayasan Diakonia Pelangi Kasih, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Yayasan Petrasa, dan Inclusive Development International (IDI).
Menurut data yang dihimpun IDI, PT Dairi Prima Mineral (DPM) adalah perusahaan tambang yang usahanya mengembangkan tambang seng, timah, dan perak di wilayah pegunungan Sumut di Dairi. Seng akan menjadi fokus pertambangan itu karena wilayah konsesi seluas 27.420 hektar itu diperkirakan menyimpan lima persen cadangan seng dunia.
Proyek itu mengajukan penggunaan teknik penambangan bawah tanah untuk mengekstraksi bijih dan membawanya ke permukaan. Bijih akan diolah menjadi konsentrat di fasilitas yang akan dibangun dekat lokasi tambang.
Sekretaris Eksekutif Bakumsu Manambus Pasaribu mengatakan, kegiatan pertambangan itu saat ini masih dalam tahap konstruksi. Karena itu, mereka menuntut agar pertambangan itu ditutup. Pertambangan itu sempat berhenti dari tahun 2012 hingga 2017 karena ditolak oleh warga. Namun, kegiatan di pertambangan itu pun kembali dilakukan pada tahun 2017.
Pertambangan itu menyimpan risiko dampak lingkungan yang cukup besar, tetapi adendum amdal-nya hingga kini belum selesai. (Manambus Pasaribu)
Menurut Manambus, pertambangan PT DPM hingga kini menyimpan sejumlah persoalan seperti dokumen adendum (perubahan) analisa masalah dampak lingkungan (amdal) yang belum selesai, sosialisasi kepada masyarakat yang sangat minim, ancaman kerusakan lingkungan, ancaman hilangnya sumber kehidupan ekonomi masyarakat, pengolahan limbah, dan ancaman bencana.
”Pertambangan itu menyimpan risiko dampak lingkungan yang cukup besar, tetapi adendum amdal-nya hingga kini belum selesai,” kata Manambus.
Menurut Manambus, pertambangan tersebut telah mendapatkan amdal pada 2005. Namun, saat ini mereka membutuhkan amdal yang baru karena skala kegiatannya jauh lebih besar dari rencana awal. ”Berdasarkan komunikasi warga dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Maret 2020 mereka belum mendapat persetujuan lingkungan hidup yang baru. Sebelumnya, PT DPM telah mendapat amdal tahun 2005,” katanya.
Salah satu ancaman lingkungan terbesar dari pertambangan itu adalah pengolahan limbah tailing beracun. Pertambangan itu menurut rencana membangun bendungan besar untuk menampung jutaan meter kubik tailing. Risiko runtuhnya bendungan dinilai sangat besar mengingat pertambangan itu berada di area rawan bencana gempa karena sangat dekat dengan sesar besar Sumatera.
Secara terpisah, Yusri, perwakilan dari PT Dairi Prima Mineral, mengatakan, ia belum bisa menanggapi penolakan tersebut. ”Nanti ada rekan saya yang akan berbicara soal hal itu,” katanya saat dihubungi Kompas melalui sambungan telepon.
Bupati Dairi Eddy Keleng Ate Berutu mengatakan, pihaknya mendukung investasi untuk pembangunan daerah yang meningkatkan kesejahteraan rakyat, termasuk yang dilakukan oleh PT DPM. ”Namun, investasi harus dilakukan secara hati-hati dan memenuhi peraturan.
Eddy mengatakan, pihaknya akan mencari jalan keluar yang menguntungkan bagi warga dan juga daerah.