Sepeda, Tambora, dan Covid-19
Apa kesamaan bencana letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa 205 tahun lalu dengan pandemi Covid-19? Tambora dan Covid-19 ternyata sama-sama ”menghidupkan” sepeda.
Rentang waktu meletusnya Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan pendemi virus korona mencapai 205 tahun. Namun kedua peristiwa itu sama-sama mengguncang dunia. Banyak korban jiwa. Ekonomi dunia dibikin babak belur. Uniknya, Tambora dan Covid-19 ternyata sama-sama pula mengidupkan sepeda.
Pada April 1815, dunia dikejutkan oleh meletusnya Gunung Tambora. Bayangkan, letusan itu terdengar hingga jarak lebih kurang 2.600 kilometer, dan abunya jatuh mencapai 1.300 kilometer. Material letusan itu ”terjebak” dalam lapisan atmosfer menjadikannya seperti ”bintik” pada matahari. Di belahan bumi utara, setahun kemudian berlalu tanpa musim panas.
Suhu normal dunia berkurang 0,4-0,7 derajat celsius. Banyak wilayah di Eropa dan Amerika dihantam badai dingin yang luar biasa. Salju menebal. Gelap gulita. Bahkan, hingga tahun 1816, wilayah Eropa seolah berjalan tanpa musim panas. Usaha pertanian gagal total. Situasi itu dinilai bencana terburuk sebab baru pertama kali terjadi.
Cuaca yang buruk tersebut membuat kuda tak bisa diandalkan menjadi transportasi. Bahkan, di mana-mana kuda terpaksa disembelih. Tindakan itu bukan karena pemiliknya tak lagi memiliki cadangan makanan, melainkan juga karena kesulitan mencari makanan untuk hewan itu.
Kelahiran sepeda
Kondisi itu ”memaksa” Baron Karl von Drais, lelaki asal Baden, Jerman, yang saat itu berusia 34 tahun membuat alat transportasi sederhana memiliki roda dua diberi nama Draisine. Ken McGin dalam tulisannya berjudul The Original of Bicycle melukiskan Draisine dibuat dari kayu dan belum memiliki pedal. Satu-satunya cara untuk mengendarainya adalah dengan menjejakkan kaki ke tanah agar Draisine bisa meluncur. Itu sebabnya, alat ini juga disebut hobby horse merujuk pada arti ”kuda-kudaan” karena Draisine dibuat untuk menggantikan kerja kuda.
Terlepas apa pun kekurangannya, penemuan Karl von Drais ini menjadi titik awal prinsip keseimbangan sepeda modern. Draisine pun menjadi sepeda pertama yang hak patennya didaftarkan pada tahun 1818. Drais memulai sejarah baru berpergian tanpa kuda ketika dia mengendarai kendaraan yang disebut juga laufmaschine (mesin berjalan) pada 12 Juni 1817 sejauh 7,5 kilometer di jalan Mannheim-Schwetzingen, Jerman.
Tahun-tahun berikutnya sepeda mengalami penyempurnaan. Muncul penemuan pedal, setang, roda, dan lain sebagainya. Sepeda mulai hidup sejak berdiri pabrik pertama di Coventry, Inggris, tahun 1885. Pabrik yang didirikan James Starley itu semakin berkembang menyusul John Dunlop yang menemukan teknologi ban angin tahun 1888. Laju sepeda pun tidak lagi berguncang.
Selepas itu muncul lagi penemuan suku cadang lainnya, seperti rem, perbandingan gigi yang bisa diganti-ganti, rantai, dan setang yang bisa digerakkan, yang semakin menambah daya tarik sepeda. Sejak itu produksi sepeda meningkat. Warga dunia pun giat bersepeda, di mana Amerika dan Eropa sebagai pionir.
Sejumlah pabrik sepeda bermunculan. Di Inggris, misalnya, pabrik sepeda merek Humber didirikan tahun 1901, Hercules tahun 1922, Raleigh tahun 1939, dan Philips tahun 1956. Di Belanda lahir merek Batayus tahun 1920, merek Gazelle tahun 1925, Valuas tahun 1940, Master tahun 1950, dan masih banyak lagi merek lainnya.
Dalam perjalanan waktu, mulai tahun 1960-an teknologi transportasi juga kian marak berkembang. Sepeda motor dan mobil hadir dengan teknologi, desain dan variasi produk yang menarik untuk segala kelas sosial. Banyak orang beralih ke sepeda motor dan mobil. Sepeda menjadi barang yang tidak bernilai.
Wisata minat khusus
Di Indonesia, dalam 12 tahun terakhir, sepeda hidup kembali. Selama 2007 hingga 2010, misalnya, hampir tiap pekan selalu ada kegiatan sepeda gembira (funbike) di sejumlah kota, termasuk Jakarta. Selepas itu mulai muncul kegiatan perjalanan (touring) sepeda yang dipadukan dengan wisata.
Harian Kompas, misalnya, dengan mengusung tema ”Merajut Nusantara”, memelopori perjalanan sepeda jarak jauh. Kegiatan yang dimulai tahun 2008 tersebut mengajak para pesepeda ke berbagai daerah di seluruh Indonesia melihat dari dekat keragaman budaya, tradisi masyarakat, keunikan panorama alam, dan lainnya.
Indonesia memiliki segalanya, mulai dari dasar laut hingga puncak gunung. Kekayaan yang dimiliki itu tidak terbilang nilainya. Melalui bersepeda, segala kekayaan tersebut dapat diperkenalkan dan dikembangkan untuk kemakmuran seluruh masyarakat.
”Saya merasa beruntung bisa keliling Indonesia. Bisa mendatangi banyak wilayah di Indonesia, melihat dari dekat masyarakat dan tradisinya, bahkan menginap di rumah warga setempat. Itu berkat event-event touring sepeda. Salah satunya yang dilakukan Kompas,” kata Yoke Haulani Latif, pesepeda dari Kelapa Gading, Jakarta, yang juga pemimpin salah satu perusahaan multinasional. Dia bersama puluhan pesepeda pernah menginap di rumah adat Bena di Ngada, Flores, tahun 2015.
Penegasan serupa disampaikan Diah Kusumo Dewi, karyawan Bank BNI di Jakarta. ”Hanya melalui event-event sepeda, saya bisa mendatangi banyak kota di wilayah Indonesia timur, termasuk di titik perbatasan RI di Merauke, Papua, dan Rote di NTT,” ujarnya.
Ajang jelajah sepeda memang selama beberapa tahun terakhir cukup naik daun di Indonesia. Rute yang ditawarkan pun bervariasi. Begitu pula dengan waktu touring. Ada yang hanya sehari, dua hari, tiga hari, lima hari, atau tujuh hari, bahkan hingga 14 hari. Jenis sepeda yang digunakan pun beragam. Ada yang khusus sepeda balap. Ada pula sepeda lipat. Namun, ada event yang membebaskan penggunaan jenis sepeda.
Secara bisnis, industri sepeda juga berkembang cukup baik. Banyak toko sepeda hadir di berbagai tempat. Yang dijual bukan hanya sepeda, melainkan juga suku cadang dalam aneka variasi dan tingkat kualitas. Yang tidak kalah menarik adalah aksesori sepeda, misalnya jersey, botol air, helm, sarung tangan, dan lainnya. Produk ikutan itu memberi nilai tambah yang signifikan bagi perkembangan industri sepeda.
Produk sepeda pun dalam 10 tahun terakhir begitu banyak beredar. Modelnya pun bervariasi dengan beragam bahan baku, seperti karbon hingga titanium. Belakangan, sepeda lipat, termasuk yang paling diminati. Ada model dua lipatan, seperti merek Dahon. Ada pula tiga lipatan seperti merek Brompton. Indonesia kabarnya menguasai pasar Brompton di Asia.
Akan tetapi, sejak awal 2018, industri sepeda sedikit lesu. Pembelinya stagnan dan pada merek dan jenis tertentu jarang laku terjual. Beberapa toko cenderung mengandalkan penjualan dari aksesori sepeda dan suku cadang.
Momentum Covid-19
Namun, semua itu berbalik 180 derajat ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Di saat masa pembatasan dibuka, dunia sepeda seolah dibangkitkan dari kelumpuhan. Warga menyerbu toko sepeda. Pengelola toko kewalahan melayani permintaan sepeda.
Industri sepeda pun mengerahkan segala kekuatan untuk meningkatkan produksi memenuhi permintaan masyarakat. Namun, permintaan meningkat hingga 300-400 persen, jauh melampaui produksi.
Pabrik sepeda di Kendal, Jawa Tengah, misalnya, menurut CEO PT Roda Maju Bahagia (RMB) Hendra, sepeda yang keluar dari pabrik saat ini tidak sempat lagi masuk gudang sebab sudah ditunggu agen di depan pabrik dan langsung mengangkutnya. ”Ini sudah luar biasa,” ujarnya.
Di pabrik ini diproduksi sepeda lipat Element, Dahon Ion, FlodX, dan Pasific. Total produksi berkisar 1.000-1.200 unit per hari. Volume produksi ditargetkan beberapa bulan mendatang bisa mencapai 1.500 unit per hari.
Saat ini hampir semua toko sepeda tidak memiliki stok. Banyak pembelian terpaksa dilakukan melalui inden selama beberapa minggu, bahkan hingga bulanan. Fenomena seperti ini belum pernah terjadi dalam sejarah penjualan sepeda. Baru terjadi pada saat pandemi Covid-19.
Semoga momentum ini terus terjaga sehingga semangat bersepeda masyarakat terus bertahan selamanya saat pandemi Covid-19 berakhir. Ayo bersepeda! (Jannes Eudes Wawa, mantan wartawan Kompas, pegiat touring sepeda)