Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan belum mengumumkan pasangan calon untuk mengikuti Pemilihan Wali Kota Surabaya. Publik masih akan penasaran sampai setidaknya menjelang pendaftaran pada 4 September 2020.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·5 menit baca
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) telah mengeluarkan rekomendasi nama calon bupati-wakil bupati atau wali kota-wakil wali kota untuk 10 kabupaten/kota dari 19 daerah tingkat dua di Jawa Timur yang akan melaksanakan pemilihan serentak pada Desember 2020.
Rekomendasi untuk Ngawi, Kabupaten Malang, Sumenep dan Banyuwangi diumumkan di Jakarta, Rabu (19/2/2020). Rekomendasi untuk Kabupaten Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kabupaten Mojokerto, Trenggalek, dan Kota Pasuruan turun dari Ibu Kota pada Jumat (17/7).
PDI-P akan mengumumkan calon pemimpin Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Lamongan, Tuban, Pacitan, Ponorogo, Jember, dan Situbondo pada bulan depan (Agustus). Pemberitahuan nanti disebut oleh partai berlambang banteng moncong putih ini gelombang ketiga.
”Pengumuman gelombang ketiga mungkin pertengahan atau mendekati masa pendaftaran,” kata Ketua PDI-P Jatim sekaligus Ketua DPRD Jatim Kusnadi di Surabaya, Senin (20/7/2020).
Saya yakin kader yang akan maju.
Pengumuman di dua gelombang sebelumnya berada pada dasarian (sepuluh hari) kedua. Gelombang ketiga mungkin akan diwartakan dalam rentang 11-20 Agustus. Jika tidak dalam dasarian kedua, bisa dasarian ketiga, bahkan mepet dengan waktu pendaftaran calon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 4 September 2020.
Surabaya
Meski pertarungan politik di Jatim tahun ini mencakup 19 kabupaten/kota, perebutan kursi kepemimpinan di Surabaya tetap akan mendapat perhatian utama. Surabaya, ibu kota Jatim sekaligus bandar terbesar kedua Nusantara, adalah basis suara PDI-P.
Sejak dipimpin Bambang Dwi Hartono pada 10 Juni 2002 kemudian Tri Rismaharini yang akan berakhir pada 13 Februari 2021 sudah cukup membuktikan bahwa pemimpin Surabaya adalah ”trah” PDI-P. Di sisi lain, PDI-P juga menguasai parlemen Surabaya kurun 1999-2004 lewat M Basuki dan Armuji, 2014-2019 lewat Armuji, dan 2019 sampai sekarang lewat Adi Sutarwiyono.
Untuk itu, mustahil jika PDI-P tidak ingin mempertahankan kekuatan politiknya di Surabaya. Masalahnya yang kemudian ialah siapa kader atau calon yang akan diusung sebagai penerus Risma? Di sinilah letak masalah atau mungkin juga taktik yang sedang dijalankan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Di satu sisi, delapan partai sudah beberapa langkah di depan PDI-P dengan mengusung mantan Kepala Polda Jatim Machfud Arifin sebagai calon wali kota Surabaya. Bekas Ketua Tim Kampanye Joko Widodo-Ma’ruf Amin Daerah Jatim ini sudah resmi mendapatkan dukungan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Golongan Karya (Golkar), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
”Persatuan” delapan partai itu memiliki 31 kursi dari total 50 kursi di DPRD Kota Surabaya. Hanya PDI-P (15 kursi) dan Partai Solidaritas Indonesia (4 kursi) yang belum menentukan jagonya.
PSI tidak bisa mengumumkan sendiri calon wali kota Surabaya karena jumlah kursi di bawah syarat minimal 20 persen atau seperlima kekuatan politik di parlemen. PSI hanya bisa berkoalisi dengan PDI-P, bergabung dengan delapan partai tadi, atau malah nyeleneh dengan tidak bergabung ke mana-mana.
Tiga pasang
Ketua KPU Kota Surabaya Nur Syamsi mengatakan, pendaftaran secara resmi belum dibuka. Belum bisa diketahui ada berapa pasang kandidat yang akan bertarung menjadi Wali Kota Surabaya 2021-2025.
Ketua PDI-P Kota Surabaya Adi Sutarwiyono mengatakan, partai tidak akan berkoalisi dengan yang sudah ada. Meski belum ada pengumuman, besar kemungkinan calon yang akan mendapat rekomendasi adalah kader PDI-P.
”Saya yakin kader yang akan maju,” kata Adi, Ketua DPRD Kota Surabaya.
Jika demikian, hampir pasti kontestasi di Surabaya akan diikuti tiga pasangan, yakni Machfud, calon dari PDI-P, dan pasangan calon dari jalur perseorangan M Yasin-Gunawan. Sebagai catatan, pasangan independen tersebut masih dalam proses verifikasi dukungan faktual oleh tim KPU.
Guru besar sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan, kalangan warga Surabaya akan mendapat tekanan lebih karena belum juga mendapat kepastian siapa yang akan bertarung di kontestasi nanti.
Padahal, saat ini, Surabaya juga sempoyongan dihajar wabah Covid-19 (Coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2). Surabaya adalah kawasan paling parah terpapar pagebluk se-Jatim. Warga jelas sudah tertekan dan mendapat banyak kesulitan menghadapi wabah masih ditambah ketidakpastian siapa saja calon wali kota yang akan dipilih.
Sejauh ini, memang ada nama-nama yang telah mendaftar ke PDIP sebagai calon pengganti Risma. Antara lain, Wakil Wali Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana, anggota DPR Puti Guntur Soekarno, dan anggota DPRD Kota Surabaya Dyah Katarina. Juga kerap disebut nama Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya Ery Cahyadi tetapi tidak mendaftar ke DPC, DPD, atau DPP PDI-P.
Namun, sekali lagi, keputusan nama yang akan muncul merupakan hak Ketua Umum PDI-P. Yang terang, siapa pun nama yang akan keluar nanti, seluruh mesin politik PDI-P harus segera dinyalakan dan bergerak jika ingin mempertahankan kegemilangan di Surabaya.
Dosen ilmu politik Unair, Airlangga Pribadi Kusman, mengatakan, wabah membawa situasi yang berbeda dalam perjalanan kontestasi nantinya. Perbedaan dimaksud adalah besar kemungkinan warga mengabaikan latar belakang politik seorang calon. Masyarakat akan lebih melihat rekam jejak dan keterkenalan.
Kombinasi bisa beragam, tetapi sebaiknya seimbang.
Wabah juga membawa paradigma normal baru (new normal). Airlangga berpendapat, dalam konteks politik khususnya kontestasi di Surabaya, normal baru bisa saja dibaca sejauh mana nantinya pasangan-pasangan yang akan bersaing dipercaya memiliki kemampuan menghadapi berbagai krisis.
Siapakah dan seperti apakah kombinasi di antara birokrat, aparatur, pengusaha, politikus, aktivis, pemuka, seniman yang pantas menang dan mendapat hati rakyat Surabaya?
”Kombinasi bisa beragam tetapi sebaiknya seimbang,” ujar Airlangga.
Maksudnya, pasangan calon yang ideal jangan berangkat dari satu kelompok, misalnya cuma dari birokrat atau aparatur, tetapi dari latar belakang berbeda. Dua periode kepemimpinan Risma, birokrat, ditemani politikus, yakni Bambang Dwi Hartono lalu Whisnu Sakti Buana.