Harga Ikan Rendah, Nelayan Cirebon dan Indramayu Gamang Melaut
Harga sejumlah komoditas ekspor perikanan di tingkat nelayan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, masih rendah. Pemerintah diminta segera menyerap hasil tangkapan nelayan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Harga sejumlah komoditas ekspor perikanan di tingkat nelayan Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, masih rendah akibat pandemi Covid-19. Pemerintah diminta segera menyerap hasil tangkapan nelayan.
Harga rajungan di Cirebon, misalnya, menyentuh Rp 25.000 per kilogram. ”Sebelum Pak Menteri (Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo) hadir di Cirebon (7 Juli), harganya Rp 40.000 per kg. Normalnya, sih, Rp 70.000 per kg,” kata Rustoni (45), Ketua Koperasi Nelayan Subur Laut Cirebon, Selasa (21/7/2020) di Cirebon.
Harga komoditas ekspor tersebut, lanjutnya, mulai anjlok saat pandemi Covid-19 empat bulan terakhir. Pembelian rajungan oleh perusahaan, katanya, dibatasi karena permintaan dari luar negeri juga berkurang. Hasil tangkapan nelayan pun ditawar rendah oleh pedagang dengan alasan stok rajungan masih menumpuk.
Akibatnya, hasil tangkapan tidak sesuai dengan biaya operasional nelayan saat melaut. Dia mencontohkan, modal sepekan melaut dengan kapal ukuran 5 gros ton (GT) Rp 10 juta. Sementara hasil melaut berkisar 6 kuintal rajungan.
Dengan harga Rp 25.000 per kg, nelayan mendapatkan Rp 15 juta. Setelah dikurangi biaya perbekalan, nelayan memperoleh Rp 5 juta. Dari jumlah tersebut, Rp 2 juta merupakan bagian pemilik kapal dan Rp 1,5 juta diberikan kepada nakhoda.
Sisanya, Rp 1,5 juta, dibagi tiga kepada anak buah kapal. Jadi, setiap ABK mendapatkan Rp 500.000 selama sepekan atau sekitar Rp 70.000 per hari. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan upah buruh bangunan yang sekitar Rp 80.000 per hari.
Padahal, risiko melaut jauh lebih besar. ”Tetapi, kalau enggak melaut, nelayan mau makan apa? Kalau utang di warung, kan, istri nelayan beralasan nanti dibayar kalau suaminya sudah pulang dari melaut,” ungkap Rustoni.
Di Indramayu, menurut Guntur, Sekretaris Koperasi Perikanan Laut Mina Sumitra, harga ikan yang kerap diekspor juga belum stabil. Harga ikan gulama, misalnya, menyentuh Rp 19.000 per ekor di tingkat nelayan. ”Padahal, biasanya Rp 27.000 per kg,” ucapnya.
Menurut Guntur, penurunan harga terjadi seiring menurunnya permintaan terhadap komoditas ekspor tersebut akibat pandemi Covid-19. ”Eksportir di Jakarta, misalnya, dulu bisa kirim 10 kontainer ikan sekali ekspor. Sekarang, saat pandemi, hanya 2 kontainer. Kabarnya, mereka khawatir barangnya dimusnahkan semuanya kalau kena Covid-19,” ungkapnya.
Kondisi tersebut, lanjutnya, berdampak pada motivasi nelayan untuk melaut karena hasil tangkapan tidak sebanding dengan biaya perbekalan. Akibatnya, produksi Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Karangsong yang dikelola KPL Mina Sumitra pada enam bulan pertama 2020 hanya 8.805 ton atau senilai Rp 165,8 miliar. Padahal, produksi pada 2019 lebih dari 23.654 ton dengan nilai lebih dari Rp 512,8 miliar.
Ketua Pengawas KPL Mina Sumitra Yanto mendorong pemerintah memberikan solusi terkait anjloknya harga ikan. ”Caranya, badan usaha milik negara, yang membidangi perikanan, menyerap hasil tangkapan nelayan dengan harga bagus dan dibayar kontan,” katanya.
Sebelumnya, saat mengunjungi Karangsong awal Juli lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan, pihaknya berupaya mengatasi jatuhnya harga ikan. Salah satunya, hasil tangkapan nelayan akan dibeli untuk menjadi bagian dalam bantuan sosial warga terdampak Covid-19.
”Kami juga punya keterbatasan. Bapak (nelayan) harus rajin mengingatkan kami,” katanya.