DPR Aceh Wacanakan Pembatalan Proyek Rp 2,6 Triliun
DPR Aceh mewacanakan membatalkan 15 unit proyek tahun jamak senilai Rp 2,6 triliun karena dinilai proses pengesahannya tidak sesuai regulasi. DPRA dan pemerintah diminta transparan ada persoalan apa di balik polemik itu.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mewacanakan membatalkan 15 unit proyek tahun jamak senilai Rp 2,6 triliun karena dinilai proses pengesahannya tidak sesuai regulasi. Namun, meski ditolak, Pemerintah Provinsi Aceh akan tetap mengerjakan proyek tersebut sesuai rencana.
Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin, Selasa (21/7/2020), mengatakan, rapat paripurna menentukan pembatalan atau melanjutkan proyek tahun jamak itu akan digelar pada Rabu (22/7/2020). Namun, pada rapat Badan Musyawarah DPRA pada Senin (20/7/2020), wacana pembatalan kuat disuarakan.
Proyek tahun jamak itu sebelumnya sudah masuk dalam Qanun/Perda Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2020. Nota kesepakatan proyek tahun itu disetujui oleh empat unsur pimpinan DPRA periode 2014-2019 jelang akhir jabatan. Namun, kata Dahlan, pengesahan proyek tahun jamak itu tidak sesuai regulasi sebab tanpa kajian bersama semua anggota DPRA waktu itu.
Empat unsur pimpinan DPRA periode 2014-2019 adalah Sulaiman (Partai Aceh), Sulaiman Abda (Golkar), Teuku Irwan Djohan (Nasdem), dan Dalimi (Demokrat). Sementara empat unsur pimpinan DPRA 2019-2024 adalah Dahlah Jamaluddin (Partai Aceh), Hendra Budian (Golkar), Dalimi (Demokrat), dan Safaruddin (Gerindra).
Dahlan menuturkan, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah jelas disebutkan bahwa kebijakan penganggaran tahun jamak atas persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD (DPR Aceh). Kesepakatan itu kemudian dituangkan dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Priorotas Plafon Anggaran Sementara (PPAS).
”Kami tidak anti-pembangunan, tetapi ini cacat prosedur. Jika eksekutif menganggap proyek ini penting, silakan ajukan dalam rencana anggaran 2021. Kita bahas bersama,” kata Dahlan.
Proyek tahun jamak senilai Rp 2,6 tiliun itu mencakup pembangunan 12 ruas jalan antarkabupaten. Menurut rencana, pembangunan jalan tersebut dimulai 2020 hingga 2022. Meski ada wacana pembatalan, proses tender proyek itu terus dilakukan oleh pihak eksekutif. Proyek itu menggunakan dana otonomi khusus.
Anggota Banmus DPRA dari Partai Keadilan Sejahtera, Bardan Sahidi, menuturkan, proyek tahun jamak dalam APBA 2020 disetujui oleh empat unsur pimpinan Dewan sebelumnya tanpa melibatkan semua anggota DPRA. Karena itu, kata Bardan, prosesnya tidak sesuai dengan regulasi dan harus dibatalkan.
”Kesepakatan pimpinan Dewan berbeda dengan kesepakatan anggota Dewan secara kelembagaan yang lahir melalui paripurna,” kata Bardan yang juga anggota DPRA periode 2014-2019.
Asisten II Pemprov Aceh Teuku Ahmad Dadek mengatakan, meski DPRA memutuskan membatalkan proyek tahun jamak itu, pihaknya akan tetap melanjutkan. Alasannya, perencanaan pembangunan sudah masuk dalam Qanun/Perda APBA 2020 yang disahkan oleh DPRA pada awal September 2019.
Menurut Dadek, pembangunan jalan antarkabupaten sangat dibutuhkan oleh warga pedalaman Aceh agar mobilisasi dan aktivitas ekonomi semakin bergairah. Pembangunan infrastruktur itu menjadi bukti kehadiran pemerintah membebaskan warga dari ketinggalan.
Samsul meminta Pemprov Aceh dan DPRA untuk terbuka pada publik apa persoalan di balik polemik tersebut.
Beberapa ruas jalan yang masuk dalam proyek tahun jamak adalah ruas Pereulak, Kabupaten Aceh Timur, dengan Kabupaten Gayo Lues, Jantho (Aceh Besar) dengan Banda Aceh, jalan Samarkilang (Bener Meriah), dan Janto dengan Lamno (Aceh Jaya).
Bupati Bener Meriah Syarkawi mengatakan, pembatalan pembangunan jalan di Bener Meriah melalui proyek tahun jamak merugikan warganya. Syarkawi berharap pembangunan tetap dilanjutkan sebab warga Samarkilang sangat membutuhkan jalan yang layak.
Rektor Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal menilai, persoalan proyek tahun jamak yang sedang dibahas DPRA terjadi karena ada sesuatu yang tidak beres dalam proses perencanaan. Samsul meminta Pemprov Aceh dan DPRA untuk terbuka pada publik apa persoalan di balik polemik tersebut.
”Anggaran Rp 2,6 tiliun itu cukup besar dan harus digunakan untuk kepentingan rakyat, tetapi prosesnya juga harus sesuai dengan aturan,” kata Samsul.
Samsul menuturkan, sikap kenegarawan pada pemimpin di Aceh kian luntur. Akibatnya, hubungan disharmonis antarlembaga pemerintah kerap terjadi. Samsul berharap anggaran publik dikelola dengan amanah untuk menyejahterakan warga Aceh.