Diduga Lakukan Pelecehan Seksual, Dosen Fakultas Hukum Unram Diskors Lima Tahun
NIN (36), dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, diskors lima tahun dari tugasnya. Ia terbukti melanggar kode etik karena diduga melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswi bimbingannya.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Fakultas Hukum Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, menskors NIN (36) dari tugasnya sebagai dosen selama lima tahun atau sepuluh semester karena melanggar kode etik. Dosen Ilmu Hukum Pidana itu diduga melakukan pelecehan seksual terhadap YN (22), salah seorang mahasiswi bimbingannya. Keputusan itu menjadi momen penting untuk menegaskan lembaga tersebut bukan tempat bagi predator seks.
Keputusan itu diambil setelah Fakultas Hukum Universitas Mataram (FH Unram) menggelar Sidang Majelis Etik di kampus itu, Selasa (21/7/2020). Sidang menghadirkan langsung NIN dan juga YN.
”Hasil pemeriksaan, NIN sudah memenuhi syarat melakukan pelanggaran etika terhadap Pasal 2 Huruf b, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 Peraturan Universitas Mataram Nomo 1 Tahun 2011 tentang Kode Etik Dosen Universitas Mataram,” kata Ketua Majelis Etik yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Unram Zainal Asikin dalam konferensi pers seusai sidang.
Itu melanggar prosedur bimbingan. Tidak etis. Mahasiswi yang kami hadirkan tadi juga menjelaskan seperti itu.
Asikin yang didampingi Sekretaris Majelis Etik dan Guru Besar FH Unram Sudiarto mengatakan, berdasarkan pasal-pasal itu, NIN telah melanggar kesusilaan, melanggar marwah lembaga, dan sebagai dosen telah melakukan tindakan yang dipandang mahasiswa tidak etis.
Menurut Asikin, dalam persidangan terungkap, NIN memberikan bimbingan skripsi ke YN dengan cara yang tidak biasa. Misalnya tidak berhadap-hadapan, tetapi meminta YN duduk di sampingnya. Kondisi itu kemudian dimanfaatkan NIN untuk melakukan tindakan seperti memegang tangan hingga memeluk YN.
”Itu melanggar prosedur bimbingan. Tidak etis. Mahasiswi yang kami hadirkan tadi juga menjelaskan seperti itu,” kata Asikin.
Asikin mengatakan, setelah perdebatan panjang majelis etik, mereka mengambil sejumlah keputusan. ”Pertama, dosen ini (NIN) terbukti melanggar kode etik. Kedua, kami menghukumnya dengan skors lima tahun dari tugasnya sebagai dosen atau kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selain itu, ia diberhentikan dari posisinya sebagai Sekretaris di Bagian Pidana FH Unram,” kata Asikin.
Asikin menambahkan, jika kasus itu bergulir ke ranah hukum (pidana), mereka bisa memberikan hukuman lebih berat, yakni pemberhentian selamanya sebagai dosen. Hanya, itu menjadi hak korban untuk melapor ke ranah pidana.
”Kami ingin menjaga marwah lembaga yang nama baiknya dibangun selama ini. Ternyata tercoreng oleh perilaku yang tidak pantas dari dosen tersebut. Kami berharap, ini memberikan pelajaran bagi dosen-dosen muda yang sebenarnya masih panjang riwayat hidupnya di kampus ini,” kata Asikin.
Menurut Asikin, ini bukan kali pertama NIN melakukan tindakan serupa. Asikin mengatakan juga mendapat dua laporan lain, tetapi dari mahasiswa yang telah lulus. ”Cuma mereka tidak mau melapor dan dibuka identitasnya. Itu menyangkut nama baik. Namun, kami sudah mendorong untuk melapor dan membawanya ke ranah hukum,” katanya.
Kronologi
Direktur Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) FH Unram Joko Jumadi, yang juga mendampingi YN, mengatakan, dugaan pelecahan seksual itu terjadi pada 24 Juni 2020 di ruang hukum pidana FH Unram. Pihak kampus baru mendapat informasi atau laporan dari YN pada awal Juli.
”Setelah itu, tanggal 6 Juli kami bertemu korban untuk konfirmasi. Termasuk pendampingan tidak hanya soal konsistensinya, tetapi juga meyakinkan YN bahwa dia adalah seorang pahlawan karena berani membuka kejadian itu. Kami juga meyakinkannya untuk tidak takut karena ada lembaga di belakangnya,” kata Joko.
Upaya untuk meyakinkan YN berhasil karena ia berani melapor. YN juga berani datang dan memenuhi panggilan majelis etik untuk sidang. ”Dia berani melapor karena dia ingin jangan sampai peristiwa ini terulang,” kata Joko.
Joko menegaskan bahwa narasi-narasi yang mencoba menekan YN seperti suka sama suka tidak benar. Apalagi YN baru tiga kali bimbingan ke NIN. ”Kejadian itu murni relasi kuasa. Dia (YN) tidak berani melawan. Caranya melawan adalah melaporkannya,” ujar Joko.
Oleh karena itu, menurut Joko, sanksi yang diberikan Komisi Etik ke NIN cukup berat. Bahkan baru pertama kali di kampus itu skor sampai lima tahun. ”Ini akan kami komunikasikan ke YN. Bagaimana respons dan sikapnya, termasuk soal pidana, kami serahkan sepenuhnya ke dia,” kata Joko.
Predator
Joko mengatakan, kejadian ini sebagai momentum bagi mereka untuk mengampanyekan bahwa Fakultas Hukum adalah kampus yang tidak nyaman bagi seorang predator. ”Kalau mau jadi predator, jangan di sini. Kami sangat-sangat menghindari kasus-kasus seperti ini. Kami betul-betul menjaga kualitas dan kredibilitas lembaga,” kata Joko.
Dekan FH Unram Hirsanuddin mengatakan, pihaknya tidak pernah menduga akan ada kejadian seperti itu. Apalagi oleh dosen yang seharusnya menjadi contoh di masyarakat.
”Ini sebagai pembelajaran bagi kami. Selanjutnya akan ada evaluasi, misalnya, tidak boleh bimbingan (dosen dan mahasiswa) jika tidak ada orang lain. Kami juga akan memasang kamera pemantaua (CCTV) di setiap ruang,” kata Hirsanuddin.
Terkait usulan sejumlah pihak untuk membuka posko pengaduan, Hirsanuddin mengatakan belum akan dibuat, termasuk tim investigasi untuk dugaan kejadian-kejadian serupa lainnya. Namun, Hirsanuddin menegaskan, jika ada yang merasa menjadi korban, dipersilakan datang ke FH. Mereka akan memprosesnya.
Aktivis Perempuan NTB, Endang Susilowati, mengatakan, putusan yang diberikan untuk NIN sudah sangat berat. Selain tidak bisa mengajar yang berarti sama saja dengan orang tanpa pendapatan, juga beban moril yang akan dia terima.
”Saya sangat menghargai putusan majelis etik. Ini peringatan bagi dosen-dosen lain agar tidak berbuat serupa,” kata Endang.
Endang juga salut atas keberanian YN melapor. Menurut dia, kasus di FH Unram sudah lama didengar, tetapi belum ada berani yang mengadu. Oleh karena itu, ia mengusulkan perlu ada posko pengaduan atau kotak aduan untuk siapa saja yang ingin melapor.
Sementara itu, NIN menolak memberikan komentar. Seusai sidang, ia langsung meninggalkan ruangan dan menghindari kejaran wartawan.