Sate Batibul, Si Empuk Gurih Penawar Penat Pantura
Sate batibul menjadi salah satu kekhasan kuliner jalanan di ruas pantai utara Tegal, Jawa Tengah. Diolah dari kambing muda, sate batibul memiliki cita rasa gurih dan empuk. Semakin nikmat ditutup secangkir teh poci.
Selain rendang, sate adalah ikon kuliner Nusantara yang diakui dunia. Survei CNN Travel tahun 2017 menempatkan olahan daging bakar ini sebagai makanan terlezat ke-14 di dunia. Dari puluhan, bahkan ratusan varian sate, ada satu yang menjadi klangenan dari pantura Tegal, Jawa Tengah: sate batibul.
Terik matahari menyengat di tengah padatnya lalu lintas jalur pantura di Kota Tegal, Kamis (16/7/2020). Namun, begitu memasuki sebuah warung sate di tepi jalan, penat seketika lenyap. Asap putih pembakaran dari bagian samping warung menguar harum menyambut setiap pengunjung. Wangi daging yang terpanggang di atas arang menusuk masuk ke lubang hidung. Perut pun kian santer bernyanyi, tak sabar menunggu sate kambing tersaji.
Memasuki normal baru di masa pandemi, warung sate kambing batibul, akronim dari bawah tiga bulan, mulai kembali ramai. Meja-meja warung kerap penuh terutama di saat siang. Sambil menunggu sate dibakar, sebagian pengunjung yang keburu lapar, memilih mencamil irisan tomat segar atau kerupuk yang terhidang di meja.
Setelah 10 menit menunggu, sate kambing muda racikan dapur Bang Awi itu akhirnya tiba. Kepulan asap tipis masih mengepul di atas daging-daging bakar berwarna cokelat pucat yang ditusuk bilah bambu dan disajikan di atas piring besi panas atau hot plate.
”Dagingnya padat tapi pas digigit itu empuk. Rasa satenya juga manis-manis-gurih, meski belum diolesi kecap. Sekali makan terbayang-bayang terus, pengin makan lagi,” ujar Farida (56), salah satu penikmat sate batibul asal Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Seperti namanya, sate kambing batibul berbahan dasar kambing muda berusia di bawah tiga bulan. Kambing berusia muda dipilih karena dagingnya dipercaya masih empuk. Sate batibul menjadi salah satu ikon kuliner sejak 25 tahun terakhir. Makanan ini punya banyak penggemar fanatik.
Selain Farida, Heru (62), warga Tegal, juga mengaku menjadi penggila sate batibul. Pencinta kuliner sate yang memilih menghabiskan masa tuanya di Tegal itu bercerita, keputusannya untuk menetap di ”Kota Bahari” setelah purnatugas, salah satunya dipengaruhi oleh sate batibul.
”Selain biar dekat dengan cucu, alasan saya menetap di sini adalah biar dekat juga kalau sewaktu-waktu ingin makan sate enak,” kata Heru sambil terkekeh.
Menurut pensiunan polisi itu, sate batibul berbeda dengan sate-sate kambing yang pernah ia santap di banyak daerah. Sate batibul Tegal tidak mengeluarkan aroma prengus khas kambing pada umumnya. ”Selain aromanya harum, rasa satenya juga gurih. Apalagi, kalau sudah dilumuri kecap khas Tegal yang kental, emm... mak nyuss,” ucap Heru.
Gurih
Karena diolah dari kambing muda, sate batibul memiliki tekstur empuk. Sebagian koki membakar sate batibul tanpa lumuran kecap untuk mempertahankan rasa gurih. Namun, ada juga yang melumuri kecap terlebih dulu. Saat disantap, rasa daging ketika dicecap lidah terasa begitu gurih, lembut, dan sedikit manis. Benar-benar juicy.
Potongan daging yang tak begitu besar membuat daging terbakar sempurna. Warna daging sate batibul coklat pucat dengan beberapa sudut menghitam bekas pembakaran. Irisan daging biasanya diselingi potongan lemak yang warnanya sedikit mengilap.
Dalam satu tusuk, biasanya terselip empat potong, dengan komposisi tiga daging dan satu lemak. Namun, jika menginginkan potongan lain bisa dipesan khusus, seperti daging saja tanpa lemak, atau campur hati. Sate batibul umumnya hanya dibakar 5-10 menit.
Sate batibul juga lazim dihidangkan bersama kecap, cabai ulek, irisan bawang merah, dan irisan tomat segar. Sebagian warung menyajikan sate ini di atas piring besi panas beralas kayu untuk mempertahankan kehangatan daging bakar. Namun, kebiasaan ini baru dilakukan setidaknya lima tahun terakhir. Sebelumnya, sate disajikan seperti biasa di atas piring.
Para penjual sate batibul di Tegal juga biasanya memakai kecap lokal, seperti merek Lombok atau Kambing. Produk lokal dipilih karena selain manis, ada rasa gurih di larutan kecapnya. Sementara produk lain biasanya hanya manis dan cenderung legit. Kurang pas dengan rasa sate batibul yang gurih.
Bagi penyuka pedas, potongan sate dengan cocolan kecap dan cabai uleg membuat siang yang panas semakin kemranyas, benar-benar membuat lidah bergoyang. Peluh mulai bercucuran, tapi lidah seperti tak mau berhenti mengunyah daging bakar empuk, gurih, dipadu pedas yang nampol. Sebagai penetral, potongan daging bisa dilahap dengan membubuhkan irisan tomat segar dan bawang merah.
Peluh mulai bercucuran, tapi lidah seperti tak mau berhenti mengunyah daging bakar yang empuk, gurih, dipadu pedas yang nampol.
Jika menyantapnya langsung di Tegal, jangan lupa menutup santapan sate dengan teh poci. Secangkir teh nasgitel, panas, legi (manis), dan kentel (kental) dengan adukan gula batu bakal menyempurnakan penjelajahan rasa lidah Anda. Teh yang diteguk dari cangkir tanah liat ini biasanya menjadi teman berbincang bersama rekan-rekan sembari menunggu makanan yang baru saja disantap sedikit mengendap di pencernaan.
Sate batibul lazim dijual dengan satuan satu kodi atau 20 tusuk seharga sekitar Rp 100.000. Meski relatif mahal, makanan ini digandrungi masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari kuli bangunan hingga presiden.
Riwayat
Jejak sate batibul hingga menjadi salah satu ikon kuliner Tegal cukup panjang. Saiful Malawi (55), pelopor sate batibul Tegal, mengatakan, sebelum memopulerkan batibul, dirinya sudah lebih dulu memperkenalkan sate kambing balibul atau bawah lima bulan. Untuk menemukan formula sate balibul, Malawi yang akrab disapa Bang Awi itu menjalani masa pencarian selama lebih kurang delapan tahun.
”Saya berpikir, sate kambing itu identik dengan tekstur yang alot. Untuk mengubah persepsi orang tentang itu, saya membuat sate kambing yang empuk menggunakan kambing berusia di bawah lima bulan,” kata pria yang dulunya bekerja sebagai petani tersebut.
Balibul kemudian populer hingga diduplikat banyak pedagang sate lain di Tegal. Tidak puas sampai di situ, Awi terus mengembangkan racikan kuliner sate hingga tercipta sate batibul. Semenjak beralih kepada sate batibul, pengunjung di warung sate Awi semakin banyak. Hal itu juga yang akhirnya membuat Awi membuka 12 warung cabang di Jakarta, Bekasi, Semarang, dan Cilacap.
Demi mempertahankan para pelanggan, Awi setia menjaga mutu satenya. Salah satunya dengan berbelanja sendiri. Dengan berbelanja sendiri, Awi bisa memilih dan memastikan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat sate adalah yang paling berkualitas.
”Saya memang punya puluhan karyawan, tapi untuk urusan belanja, harus saya sendiri yang turun. Bukannya tidak percaya, saya cuma tidak ingin pelanggan kecewa,” katanya.
Dengan berbelanja sendiri, Awi bisa memilih dan memastikan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat sate adalah yang paling berkualitas.
Di pasar, Awi biasanya akan membeli tomat, cabai, dan bawang merah segar. Menurut Awi, sayuran yang masih segar akan menyempurnakan rasa sate. Sekalipun fungsi bahan-bahan tersebut hanya sebagai pelengkap, Awi tetap ingin menyajikan yang terbaik.
Untuk kecap, Awi mengaku punya langganan sendiri. Ia sengaja memilih kecap kedelai produk lokal yang kental dan memiliki cita rasa gurih.
Selain berbelanja sendiri bahan pelengkap satenya, Awi juga memilih sendiri kambing-kambing yang akan diolah. Ia selalu memilih kambing jenis gibas dengan usia di bawah tiga bulan.
Baca juga: Aneka Sate di Festival Kuliner UGM
Selain empuk, kambing berusia di bawah tiga bulan diyakini mengandung lemak dan kadar kolestrerol yang lebih rendah. Untuk mendapatkan kambing-kambing pilihan, Awi memiliki peternak kambing langganan yang telah menjadi pemasoknya selama bertahun-tahun.
Tak hanya yang berusia di bawah tiga bulan, Awi juga memilih kambing hanya dalam kondisi sehat. Kambing yang tidak sehat akan mengeluarkan aroma yang prengus saat dibakar.
”Selain harus gemuk dan sehat, kambing yang saya pilih adalah kambing yang selama hidupnya di kandang terus. Kalau kambing yang digembalakan biasanya aktif lari ke sana-kemari. Kambing yang aktif itu ototnya keras dan dagingnya alot,” ucapnya.
Ikhtiar menjaga kualitas kambing juga dilakukan Suendi (50), pemilik warung sate Wendys di Kota Tegal. Ia bahkan memiliki peternakan kambing khusus untuk menjaga suplai ke warungnya. Peternakan itu terletak di Desa Kaliwadas, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal. ”Untuk menjaga kualitas, kami memelihara kambing itu sendiri. Pemotongan kambing juga kami lakukan sendiri,” kata Suendi.
Suendi yang sudah berjualan sate sejak tahun 1984 itu mulai menjual sate batibul pada tahun 2000. Kala itu, sate batibul sedang naik daun di Tegal.
Faktor pakan
Tidak hanya penjual sate, peternak yang biasa menyuplai daging kambing ke warung-warung sate juga selalu menjaga kualitas ternaknya. Hal itu dilakukan dengan cara memberikan pakan terbaik serta vitamin secara rutin.
Waryo (64), peternak kambing asal Desa Kaliwadas, mengatakan, dirinya memberi makan kambingnya dengan rumput-rumput segar. Supaya air susunya sehat dan berkualitas, Waryo mencampurkan daun turi, daun singkong, dan sedikit ampas tahu sebagai pakan induk kambing. Daun turi kerap disebut menjadi bahan pakan spesial yang akan menghasilkan air susu berkualitas.
Dalam sehari, kambing diberi pakan tiga kali yakni, pukul 05.00, pukul 11.00, dan pukul 16.00. ”Saya juga rutin memberi vitamin setiap sebulan sekali. Kalau obat cacing saya berikan setiap dua bulan sekali,” ujar Waryo.
Baca juga: Limpahan Cuan dari Tren Bisnis Warung Tegal
Menurut Waryo, induk kambing yang sehat akan menghasilkan air susu berkualitas. Air susu berkualitas ini akan membuat anak-anak kambing atau cempe menjadi gemuk dan sehat. Pada usia di bawah tiga bulan, kambing belum banyak makan dedaunan, mereka lebih banyak minum susu dari induknya.
Dengan pemeliharaan seperti itu, satu kambing gibas berusia tiga bulan bisa berbobot maksimal 10 kilogram. Harga satu kambing gibas berusia tiga bulan berkisar Rp 700.000-Rp 750.000. Adapun indukan kambing diperoleh Waryo dari sejumlah pasar di Kota Semarang dan Kabupaten Brebes dengan harga Rp 1,1 juta-Rp 1,2 juta per ekor. Dalam waktu setahun, satu ekor induk kambing mampu melahirkan hingga enam anak kambing yang bisa disuplai ke penjual sate.
Baca juga: Sedap Rasa dan Aroma Sate
Terdampak tol
Puncak kejayaan warung sate di Tegal berlangsung sejak 1990-an hingga 2015. Deretan warung sate tumbuh bak cendawan di musim hujan di sepanjang jalur pantura. Jalan raya yang kala itu menjadi urat nadi utama perekonomian Pulau Jawa benar-benar mendatangkan ”cuan” bagi para pengusaha sate.
Setiap hari, warung-warung sate tak pernah sepi. Mau yang mahal, sedang, atau yang tak begitu mahal, semuanya selalu laris. Mulai dari pelintas pribadi, rombongan, hingga para supir truk selalu menjadikan warung sate sebagai tempat jujugan makan setiap melintasi ruas pantura.
Namun, pamor sate batibul sedikit meredup tiga tahun terakhir. Bahkan, sejumlah warung sate tutup, karena sepi pembeli. Berkurangnya pembeli terjadi karena sudah tidak banyak lagi pelintas yang melalui jalur pantura, menyusul pembangunan jalan tol Trans Jawa.
”Semenjak ada tol, usaha kuliner Tegal, khususnya sate, merugi. Kebanyakan pembeli lebih senang lewat tol daripada pantura, jadi mereka tidak bisa lagi mampir ke warung sate,” ucap Awi.
Awi mencontohkan, sebelum ada jalan tol, dirinya memiliki empat cabang warung sate di Kota Tegal. Namun, kini hanya tersisa satu warung yang masih bertahan.
Selain itu, sebelum jalan tol tersambung, omzet penjualan sate di warung Awi pada hari biasa mencapai Rp 3 juta per hari untuk setiap warung. Namun, kini pada hari biasa, paling banyak sekitar Rp 200.000 per hari.
”Dulu, sepekan sebelum dan sesudah Lebaran itu adalah waktu-waktu terbaik untuk meraup rupiah. Kala itu, saya bisa mendapat Rp 75 juta-Rp 80 juta selama dua minggu. Tetapi, mulai H-7 hingga H+7 Lebaran kemarin saya cuma dapat Rp 2,5 juta,” ucap Awi.
Pandemi Covid-19 kian memukul usaha sate Tegal. Awi mencontohkan, jika pada kondisi biasa, dalam sehari masih ada satu atau dua pembeli di warungnya, saat pandemi pernah tidak ada satu pun pembeli datang.
”Mungkin juga karena lagi krisis, jadi tidak ada yang mau beli sate. Dari segi harga sate itu mahal, Rp 100.000 per kodi. Sate tidak seperti makanan lain seperti bakso atau soto yang bisa dibeli dengan uang Rp 20.000 per porsi,” imbuhnya.
Simbol perayaan
Sebenarnya dari mana asal-usul sate? Ada banyak versi. Yang jelas, makanan semacam ini juga ada di sejumlah negara lain di Asia Tenggara seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, hingga Filipina.
Dalam buku Balinese Food: The Traditional Cuisine & Food Culture of Bali (2014), Vivienne Kruger menulis, sate atau satay berasal dari istilah Tamil yakni sathai. Kosakata ini untuk menyebut irisan daging yang dibumbui lalu dipanggang dengan tusuk kayu maupun bambu kemudian dicelupkan dalam saus khusus sebelum disantap.
Cara mengolah daging kebab khas Turki dan Arab menjadi inspirasi para pedagang muslim Tamil dan Gujarat dari Asia Selatan (India) menciptakan kuliner daging bakar. Mereka pun membawa resep itu ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sebelumnya, orang Jawa memasak daging dengan cara direbus.
Baca juga: Jokowi-Prabowo Bicarakan Persatuan Bersama Sate dan Lontong
Adapun dalam Encyclopedia of Chinese & Oriental Cookery (1988), Jennifer Brennan mendukung pendapat bahwa meski terinspirasi dari kebab, sate berasal dari Tanah Jawa. Bahkan, kendati kuliner sejenis juga ada di Malaysia dan Thailand, tanah air sate sesungguhnya adalah Jawa, Indonesia. Dari Jawa, sate kemudian menyebar ke seluruh Nusantara dan beradaptasi dengan cita rasa tiap daerah.
Budayawan Tegal Atmo Tan Sidik menuturkan, banyaknya warung sate di Tegal, memiliki keterkaitan erat dengan ketersediaan lahan-lahan yang memiliki rumput-rumput segar. Adapun komponen pelangkap sate seperti bawang merah, tomat, dan cabai juga dihasilkan oleh daerah di sekitar Tegal seperti Brebes dan Pemalang.
Lebih lanjut, Atmo menilai sate merupakan ragam kuliner yang memiliki posisi strategis dan mengakar kuat dalam pranata sosial budaya masyarakat Indonesia, termasuk Tegal. Banyak orang Tegal merayakan suatu keberhasilan dengan cara makan sate. Bahkan, sejumlah orang beranggapan, seseorang sudah sukses ketika sudah bisa menraktir makan sate.
”Orang Tegal itu punya kebiasaan, kalau sedang bahagia atau merayakan sesuatu, pasti mengajak orang lain untuk nyate. Misalnya, majikan akan mengajak buruhnya makan sate kalau buruhnya berhasil melakukan pekerjaan sesuai dengan yang dimaui majikannya,” kata Atmo.
Seorang sopir truk pun lazim mentraktir teman-temannya makan sate jika sedang mendapat banyak rezeki. Simbol perayaan dalam hidangan sate tak hanya terjadi pada warga biasa, tapi juga para pejabat negara.
Semua masih mengingat saat pada 13 Juli 2019, Joko Widodo yang kala itu telah menjadi presiden terpilih, bertemu dengan rivalnya pada pilpres, yakni Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di rumah makan Sate Khas Senayan Cabang FX Sudirman, Jakarta.
Itulah pertemuan pertama keduanya yang seolah mengakhiri ketegangan kedua kubu sepanjang kontestasi pilpres. Seusai naik MRT, mereka nyate bareng. Hal ini kian mempertegas sate sebagai kuliner yang dalam konteks sosial, mengandung simbol perjamuan atau perayaan dalam kebersamaan.
Sebagai salah satu kuliner kegemaran semua kalangan, para pengusaha sate Tegal tetap yakin mampu bertahan meski didera dampak pembangunan tol Trans Jawa dan sapuan wabah Covid-19. Walau tak seramai dulu, mereka percaya penggemar militan sate batibul tak akan segan mampir. Sebab, hidup terlalu singkat untuk melewatkan empuk gurih sate kambing muda dengan penutup secangkir teh poci.