Pilkada 2020, Covid-19, dan Pertaruhan Memori Kolektif
Pada tahapan pencocokan dan penelitian Pilkada 2020, ada 106 juta calon pemilih yang akan diteliti datanya oleh sekitar 300.000 petugas. Tanpa disiplin protokol kesehatan, hal ini bakal meluaskan penyebaran Covid-19.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·6 menit baca
Perbedaan pencocokan dan penelitian Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 sudah mulai terlihat dari seremoni Apel Kesiapan Gerakan Coklit Serentak jajaran Komisi Pemilihan Umum yang berlangsung secara daring, Sabtu (18/7/2020). Aktivitas itu berlangsung menggunakan platform daring Zoom, yang kemudian juga disiarkan langsung menggunakan media sosial KPU RI. Acara itu melibatkan daerah yang menggelar pilkada, yakni 270 daerah di Indonesia.
Dalam siaran daring itu, tampak Ketua KPU Arief Budiman memakaikan rompi dan kartu pengenal sebagai tanda dimulainya proses pencocokan dan penelitian. Hal lain yang membedakan dengam proses pencocokan dan penelitian terdahulu, kali ini seremoni itu diikuti dengan penyerahan pelindung wajah (face shield) dan disediakan satu paket alat pelindung diri kepada setiap petugas. Alhasil, di paket plastik yang diberikan kepada petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) itu berisi pembersih tangan (hand sanitizer), masker, sarung tangan plastik, dan alat tulis.
”Jadi, jangan bergantian (penggunaan masker dan face shield) dengan teman-teman lain,” pesan Arief.
Tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih untuk Pemilihan Kepala Daerah 2020 di tengah pandemi Covid-19 menyimpan tantangan tersendiri karena intensitas pertemuan langsung di masyarakat akan mulai meningkat. Sedikit saja kelalaian dalam penerapan protokol kesehatan, ledakan kasus virus korona di Tanah Air hanya tinggal menunggu waktu. Jika itu terjadi, Pilkada 2020 akan menjadi warisan ingatan kolektif yang buruk akan kontestasi demokrasi.
Sejak 15 Juli hingga 13 Agustus 2020, waktu pencocokan dan penelitian, intensitas pertemuan penduduk di 270 daerah akan meningkat. Akan ada sekitar 300.000 tempat pemungutan suara (TPS). Di satu TPS ada maksimal 500 pemilih yang akan dicocokkan dan diteliti datanya oleh seorang PPDP. Calon pemilih yang akan dicocokkan dan diteliti datanya sekitar 106 juta jiwa.
Tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih untuk Pemilihan Kepala Daerah 2020 di tengah pandemi Covid-19 menyimpan tantangan tersendiri karena intensitas pertemuan langsung di masyarakat akan mulai meningkat. Sedikit saja kelalaian dalam penerapan protokol kesehatan, ledakan kasus virus korona di Tanah Air hanya tinggal menunggu waktu.
PPDP itu tidak sendiri mendatangi rumah ke rumah, tetapi didampingi jajaran pengawas dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pengawas akan memastikan pencocokan dan penelitian dilakukan dengan empat asas, yaitu akurasi, mutakhir, komprehensif, dan transparan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini saat dihubungi di Jakarta, mengatakan, konsistensi dan disiplin dalam penerapan protokol kesehatan menjadi kunci keberhasilan dalam pencocokan dan penelitian kali ini. Apalagi, tahapan pencocokan dan penelitian berlangsung cukup panjang.
”Jangan sampai rutinitas dalam waktu yang cukup panjang itu diikuti dengan pengurangan atau sikap permisif terhadap kepatuhan protokol kesehatan,” ujar Titi.
Pesan itu bukan omong kosong apabila melihat perkembangan kasus virus korona di Indonesia, yang belakangan ramai disebut melampaui kasus di China. Total pasien positif Covid-19 di Indonesia per Sabtu (18/7), sebanyak 84.882 orang, dengan kasus kematian 4.016 korban jiwa dan kasus sembuh 43.268 orang.
Sementara jumlah pasien pengidap Covid-19 di China berdasarkan data statistik Worldometers.info hingga pukul 20.00 WIB, sebanyak 83.644 orang, dengan total kasus kematian 4.634 korban jiwa dan kasus sembuh 78.758 orang.
Jika dilihat pertambahan angka positif virus korona dalam 24 jam terakhir, China hanya bertambah 22 orang. Adapun di Indonesia, pertambahan angka positif virus korona bisa mencapai 1.752 orang.
Dukungan calon pemilih
Data itu, menurut Titi, menunjukkan bahwa kewaspadaan di setiap tahapan Pilkada 2020 harus terus ditingkatkan. Tak cukup bagi petugas di lapangan, tetapi juga calon pemilih.
Secara khusus di dalam tahapan pencocokan dan penelitian ini, potensi tidak disiplin terhadap protokol kesehatan sangat mungkin terjadi di tengah kesadaran masyarakat yang masih minim. Oleh karena itu, petugas tidak boleh malah tergoda untuk ikut permisif dan mengurangi kepatuhan protokol kesehatan.
”Warga, kan, tidak semua memiliki kesadaran untuk patuh pada protokol yang baik. Kalau petugas, kan, mereka memang dilatih dan dibekali sarana dan prasarana. Jadi, dalam situasi seperti ini, baik warga maupun petugas harus disiplin dan saling mengingatkan patuhi protokol kesehatan,” kata Titi.
Menurut Titi, ini merupakan risiko besar yang harus ditanggung saat memutuskan pilkada berlangsung di tengah pandemi yang masih tinggi.
”Apabila pilkada gagal menerapkan protokol kesehatan, bisa membuat segala yang kita sudah lakukan untuk mengatasi pandemi ini menjadi tidak berarti. Itu kekhawatirannya,” ucap Titi.
Bukan tak mungkin, lanjut Titi, memori kolektif pada Pemilu 2019 yang cukup buruk akan membayangi kembali di Pilkada 2020. Berdasarkan data KPU, lebih dari 400 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal di Pemilu 2019, akibat kombinasi kelelahan dan penyakit penyerta.
”Tujuan pemilu itu bukan memakan korban, melainkan pesta demokrasi,” katanya.
Bahaya peningkatan kasus
Kekhawatiran itu juga dibaca Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Wiku Adisasmito. Bahaya penularan Covid-19 masih sangat nyata di depan mata jika masyarakat lalai dalam menerapkan protokol kesehatan.
”Sekarang, kan, masih pandemi. Kalau (tahapan pemilu) kayak begini, kan dilakukannya meluas, malah bukan kluster, melainkan peningkatan kasus,” kata Wiku.
Maka dari itu, lanjut Wiku, demi menghindari perluasan penularan virus, disiplin protokol kesehatan tak bisa ditawar-tawar lagi, baik oleh petugas maupun penduduk. Usahakan agar tak terjadi kontak fisik. Jika ada kontak fisik, berarti tangan petugas harus bersih atau mungkin malah menggunakan sarung tangan. Pemakaian masker atau pelindung wajah (face shield) sangat diutamakan.
Kedua belah pihak pun harus dipastikan dalam kondisi sehat. Jika petugasnya tidak sehat, itu bisa berbahaya dan bisa menulari masyarakat yang didatangi. Sebaliknya, apabila penduduknya tidak sehat, juga bisa menulari petugas.
”Jadi, protokol kesehatan harus ketat. Apa pun, termasuk kalau sampai ikut pemilu, harus ketat, terutama bagi petugasnya,” kata Wiku.
Keselamatan bagi petugas dan pemilih menjadi perhatian penyelenggara dan pemerintah. KPU mengusulkan tambahan anggaran Rp 4,7 triliun untuk pemenuhan protokol kesehatan bagi petugas di lapangan hingga hari pemungutan suara, 9 Desember 2020. Dari jumlah itu, pemerintah baru merealisasikan sekitar Rp 900 miliar. Sisanya masih akan dibahas kembali.
Ketersediaan peralatan untuk menjalani protokol kesehatan itu juga bertujuan meyakinkan publik bahwa Pilkada 2020 siap digelar di tengah pandemi. Apalagi, survei daring Litbang Kompas pada 24-25 Maret 2020 menunjukkan, 15 persen responden khawatir bertemu petugas KPU saat pendataan pemilih meski 80 persen menyatakan bersedia bertemu dengan menjaga jarak. Survei melibatkan 1.315 responden dari 27 provinsi di Indonesia dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
”Masyarakat takut karena apa betul petugasnya sehat. Maka dari itu, petugasnya harus diperiksa dengan baik, ada hasil pemeriksaan sehatnya sehingga publik yakin untuk didata,” kata Wiku.
Tugas berat
Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan, pencocokan dan penelitian merupakan tahapan yang sangat penting karena berkaitan dengan data pemilih. Meskipun semua aspek dipersiapkan dengan baik, data pemilih tidak ada, maka pemilu pun tak akan berjalan. ”Tugasnya sudah mulai berat,” ujar Arief.
Oleh karena itu, Arief berharap semua jajaran KPU di lapangan hingga PPDP menjalankan pendataan dengan baik dan tetap mematuhi protokol kesehatan.
”Jangan sampai data dibuat asal-asalan karena satu suara dari satu pemilih itu sangat berarti,” kata Arief.
Arief bahkan mengatakan, Pilkada 2020 akan menjadi fondasi pemilu di Tanah Air karena siapa pun tak pernah mengetahui kapan wabah dan bencana akan datang. Jika Pilkada 2020 berjalan dengan baik, ini akan menjadi warisan berharga bagi Indonesia. Sebab, jika suatu saat ada pemilu di tengah pandemi dan wabah, Indonesia sudah memiliki model yang baik untuk diimplementasikan di masa yang akan datang.
Pilkada 2020 akan menjadi fondasi pemilu di Tanah Air karena siapa pun tak pernah mengetahui kapan wabah dan bencana akan datang. Jika Pilkada 2020 berjalan dengan baik, ini akan menjadi warisan berharga bagi Indonesia.
Sebaliknya, jika tak mampu menyelenggarakan Pilkada 2020 dengan baik, termasuk menjalankan tahapannya tidak sesuai protokol kesehatan, bukan tidak mungkin virus itu tersebar justru karena aktivitas pemilu ini. ”Maka, kita mewariskan hal yang buruk. Suatu saat kita ada wabah lagi, orang ketakutan,” ucap Arief.
Semoga memori kolektif yang baik yang akan tercipta. Namun, hal ini kembali pada kedisiplinan. Mampukah kita?