Kondisi perekonomian NTB belum kondusif akibat pandemi Covid-19, bahkan disebut berada ”di dasar jurang”. Percepatan penyerapan anggaran dan bangkitnya UMKM dinilai bisa menjadi solusi.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Perputaran ekonomi di Nusa Tenggara Barat belum kondusif. Hal itu salah satunya terlihat dari uang masuk dari perbankan ke Bank Indonesia serta uang keluar dari Bank Indonesia ke perbankan yang turun pada semester pertama tahun 2020. Selain percepatan penyerapan anggaran, pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah bisa menjadi salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi itu.
Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Achris Sarwani di Mataram melalui siaran resminya, Minggu (19/7/2020), mengatakan, total inflow (uang masuk dari perbankan ke Bank Indonesia di Provinsi NTB) secara agregat untuk semester I tahun 2020 sebesar Rp 5 triliun. Jumlah itu turun sebesar 8,66 persen secara tahunan (year on year) dibandingkan inflow semester I tahun 2019.
”Penurunan total inflow itu disebabkan turunnya jumlah setoran perbankan yang tengah berupaya memaksimalkan posisi kas untuk memenuhi kegiatan operasional menuju era normal baru,” kata Achris.
Achris menjelaskan, penurunan itu juga bisa diartikan penurunan penerimaan uang dari masyarakat. Itu terlihat dari tren penurunan dana pihak ketiga perbankan, terutama dari tabungan.
”Penurunan aktivitas ekonomi berdampak kepada penurunan pendapatan pengusaha, yang diatasi dengan menghentikan sementara operasional produksi,” ujar Achris.
Penurunan aktivitas ekonomi berdampak kepada penurunan pendapatan pengusaha, yang diatasi dengan menghentikan sementara operasional produksi.
Selain inflow, total outflow atau uang keluar dari Bank Indonesia ke perbankan di NTB juga turun. Secara agregat, untuk semester I tahun 2020 mencapai Rp 4,29 triliun atau turun 26,50 secara tahunan (year on year) dibandingkan semester I tahun sebelumnya.
”Penurunan itu baik pada uang pecahan besar yang turun sebesar 25,31 persen maupun uang pecahan kecil yang turun 44,29 persen,” kata Achris.
Menurut Achris, penurunan outflow disebabkan oleh intensitas penarikan oleh perbankan ke Bank Indonesia yang menurun. Kondisi itu mengindikasikan transaksi keuangan dan kebutuhan akan uang tunai masyarakat masih rendah.
”Keberadaan uang tunai tersebut identik dengan transaksi ritel di mana penurunan kebutuhan uang tunai dapat diartikan sebagai turunnya aktivitas transaksi ritel masyarakat akibat penyebaran Covid-19,” ujar Achris.
Selain transaksi ritel masyarakat, penurunan aktivitas ekonomi membuat pengusaha mengurangi produksi, bahkan menghentikan sementara kegiatan usaha. Hal itu berimbas pada penurunan pendapatan di kalangan pekerja.
Pantauan Kompas, UMKM termasuk yang sangat terdampak pandemi Covid-19. Sektor pariwisata menjadi sektor yang paling terpengaruh. Itu membuat sebagian besar pengusaha menghentikan kegiatan atau tutup untuk sementara waktu.
Kondisi itu berdampak pada perumahan karyawan hingga pemutusan hubungan kerja. ”Saya merumahkan karyawan karena toko tutup. Pemesanan ke produsen oleh-oleh yang saya jual juga dihentikan. Pandemi sangat berdampak karena tidak ada lagi wisatawan yang datang ke NTB,” kata Akbar Habibie (28), salah satu pengusaha oleh-oleh di Kota Mataram.
Lili Astuti (32), penjual oleh-oleh di kawasan Kuta Mandalika, mengatakan, sejak pandemi, pemasukan hariannya turun drastis. Jika sebelum pandemi bisa menjual oleh-oleh seperti produk kerajinan hingga Rp 500.000, sekarang paling banyak ia hanya memperoleh Rp 40.000.
”Sebelumnya bisa setiap hari ada pembeli karena ramai, sekarang seminggu sekali. Bahkan dalam seminggu bisa kosong,” kata Lili.
Menurut Achris, penurunan inflow dan outflow menunjukkan kondisi ekonomi NTB sedang berada ”di dasar jurang”. Hal itu karena aktivitas ekonomi masih dibatasi dan harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan yang ketat. Dengan kata lain, ekonomi jalan kembali dan pada saat yang sama kesehatan atau keselamatan masyarakat tetap jadi prioritas.
Dorong UMKM
Achris mengatakan, agar bisa naik dari ”dasar jurang” itu, penyerapan anggaran, baik anggaran pendapatan dan belanja daerah maupun nasional (APBD/APBN) 2020, harus digeber secara maksimal.
Selain itu, protokol Covid-19 juga wajib dijalankan dengan disiplin, termasuk mendorong sektor-sektor produktif yang bisa dibuka untuk aktivitas ekonomi tetapi dengan disiplin protokol kesehatan. ”UMKM produktif juga harus didukung untuk jalan dengan digitalisasi dan pembayaran nontunai,” ujarnya.
Achris menjelaskan, saat ini dibutuhkan pemberdayaan UMKM yang menjamin adanya keterhubungan antara UKM dan pasar, terutama pasar lokal.
”Dengan demikian, ada jaminan pergerakan aktivitas ekonomi UMKM yang berdampak kepada jaminan penghasilan bagi tenaga kerja serta jaminan atas kemampuan membayar (repayment capacity) untuk berbagai kredit UMKM,” kata Achris.
Selain itu, tambah Achris, untuk menghubungkan UMKM dengan pasar, dapat dilakukan dengan berbagai jenis platform digital yang tersedia saat ini.
”Penggunaan platform dan pembayaran digital berdampak kepada data transaksi UMKM yang terdokumentasi dengan baik. Data tersebut dapat dijadikan dasar oleh perbankan dalam hal pertimbangan untuk pemberian pinjaman modal kepada pelaku usaha,” kata Achris.
Terkait serapan APBD, Gubernur NTB Zulkieflimansyah sebelumnya mengatakan, hingga saat ini serapan APBD NTB sudah mencapai 44 persen. Pihaknya terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mempercepat belanja pemerintah. Berbagai pengadaan barang jasa di Pemerintah Provinsi NTB diharapkan dapat selesai pada bulan Agustus dan untuk kabupaten atau kota pada bulan September.
Upaya mendorong UMKM juga dilakukan, misalnya dengan memberdayakan dan menggunakan produk-produk mereka untuk paket bantuan sosial pada program Jaring Pengaman Sosial Gemilang.