Dosen Pelaku Pelecehan Seksual Masih Masuk Kampus, Koalisi Protes
Koalisi Anti Kekerasan Seksual meminta pihak Universitas Palangka Raya juga Kementerian Pendidikan untuk memecat PS, terpidana pelecehan seksual di Universitas Palangka Raya, secara tidak hormat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Koalisi Anti Kekerasan Seksual meminta pihak Universitas Palangka Raya serta Kementerian Pendidikan memecat PS, terpidana pelecehan seksual di Universitas Palangka Raya, secara tidak hormat. PS dipidana, tetapi tetap bisa masuk kampus dan membuat resah korbannya yang masih aktif kuliah.
Hal itu terungkap dalam konferensi pers tentang kasus kekerasan seksual di lingkungan Universitas Palangka Raya (UPR) pada Minggu (19/7/2020). Koalisi Anti Kekerasan Seksual terdiri dari 43 lembaga dan individu di Kalimantan Tengah. Mereka membentuk koalisi karena keprihatinan terhadap lingkungan pendidikan yang belum bebas pelecehan atau kekerasan seksual.
PS ditangkap setahun lalu, yakni pada 29 Agustus 2019, setelah mendapatkan laporan dari enam korbannya. Ia kemudian didakwa dan diputus bersalah dengan keputusan satu tahun enam bulan penjara di Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya pada 6 April 2020.
Saat ditangkap, pelaku menjabat Kepala Program Studi Pendidikan Fisika UPR. Kasusnya terkuak setelah para korban melaporkan kejadian kekerasan seksual ke salah satu lembaga adat di Palangkaraya. Kasus itu sempat viral di media sosial. (Kompas, 29 Agustus 2019).
Juru bicara koalisi, Tri Oktafiani, menjelaskan, saat ini pihaknya masih melihat pelaku beraktivitas di lingkungan kampus. Hal itu memunculkan kembali trauma yang mendalam dari para korban yang melihat pelaku.
Para korban selama proses hukum sampai sekarang didampingi oleh Lembaga Solidaritas Perempuan dan Anak (eLSPA). Ani yang juga berasal dari lembaga itu mengungkapkan, korban sangat trauma hanya dengan melihat mobil pelaku. Bahkan, salah satu korban mengurungkan niat mengurus ijazahnya karena melihat pelaku di kampus.
”Salah satu korban masih aktif berkuliah, lalu mereka melihat lagi pelaku berkeliaran di kampus, mereka merasa takut, bahkan enggan ke kampus,” kata Ani
Ani menjelaskan, dengan aktif kembali terdakwa ke kampus, koalisi meminta agar yang bersangkutan dipecat secara tidak hormat dari statusnya sebagai aparatur sipil negara (ASN). Hal itu juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Kepala Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangkaraya Aryo Nugroho mengatakan, setiap kasus kekerasan seksual selalu memosisikan korban sebagai obyek yang dianggap tidak terlalu dirugikan sehingga penting untuk memberi dorongan kepada pemerintah dan pihak kampus agar tercipta keadilan bagi korban kekerasan seksual di Kalteng atau bahkan di Indonesia.
Kasus kekerasan tersebut menambah daftar panjang kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam catatan tahunan mencatat setidaknya terdapat 431.471 kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Salah satu korban masih aktif berkuliah, lalu mereka melihat lagi pelaku berkeliaran di kampus, mereka merasa takut bahkan enggan ke kampus.
”Pihak kampus perlu membuat aturan untuk mencegah kekerasan di wilayah kampus dan melakukan pemulihan terhadap korban,” kata Aryo.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Rektor III UPR Suandi Sidauruk mengungkapkan, pelaku mendapatkan asimilasi dari masa tahanannya karena pandemi sehingga bisa beraktivitas di luar. Terkait aktivitas di kampus, pihaknya tidak memiliki wewenang untuk memecat langsung karena status aparat sipil negara pelaku.
Menurut Suandi, pihaknya memberikan respons cepat setelah putusan dari pengadilan keluar. Pihak kampus membuat surat rekomendasi agar pelaku dikeluarkan dari lingkungan kampus sebagai pendidik.
”Jadi, mekanismenya, kami bentuk tim penilai lalu setelah sidang selesai dan ada putusan, kami langsung membuat rekomendasi ke pemerintah pusat. Jadi, keputusannya ada di sana,” kata Suandi.
Suandi menjelaskan, terkait pemulihan korban, pihak kampus melalui dua dosen selama ini mendampingi para korban selama proses berlangsung. Dosen yang mendampingi juga merupakan perempuan sehingga jauh lebih dekat.
”Kami memang bisa membuat badan khusus untuk itu, tetapi anggaran tidak ada dan nanti jadi beban juga jika badan yang dibentuk itu tidak ada pekerjaannya. Kami juga berharap kasus seperti ini tidak terulang lagi,” kata Suandi.
Menurut Suandi, kasus tersebut karena masuk dalam ranah pidana dan sudah selesai di penegakan hukum. Pihaknya tidak akan melakukan intervensi dari pihak kampus. Kampus pun mengecam perbuatan tersebut.
”Kejadian ini jadi pelajaran penting dan kami berharap tidak terulang lagi di masa yang akan datang,” ujar Suandi.