Pandemi Covid-19 menjadi pukulan telak bagi para pengusaha pempek di Palembang, Sumatera Selatan. Omzet mereka bisa turun hingga 70 persen dibanding hari normal, namun, mereka menolak “babak belur”.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·6 menit baca
Liat seperti adonannya, pempek palembang terus beradaptasi dan berinovasi. Capuran sagu, daging ikan, bawang putih, kaldu, telur, dan garam itu terus memperbaharui bentuk dan rasa. Pempek juga memanfaatkan Tol Trans Sumatera untuk memperluas penjualan. Pempek menolak menyerah karena pandemi.
Hesty Anggraini (33) pemilik Pempek Hesty di Kampung Pempek, Jalan Mujahidin, Kawasan 26 Ilir, Kecamatan Bukit Kecil, Palembang, tampak sibuk menghitung pesanan dan pembayaran di balik meja kecilnya, Kamis (2/7/2020). Puluhan kertas kecil ditempel di layar televisi tabung sebagai pengingat pesanan yang harus dia penuhi.
Dua karyawannya dengan cekatan melayani konsumsen yang makan di tempat. Satu per satu pempek yang dipajang di dalam etalase dihidangkan ke piring pelanggan. Tak banyak yang datang saat itu, hanya tiga orang. Para pelanggan terlihat lahap meyantap pempek sembari menyeruput cuko-nya - kuah yang berasa asam, manis, pedas - di mangkuk kecil.
Di hari biasa Hesti bisa menjual sekitar 4.000-5.000 pempek sehari. "Ketika pandemi korona terjadi, hanya 1.000 butir pempek yang terjual setiap hari, bahkan bisa kurang,” ucapnya. Maka ia sempat merumahkan empat dari delapan karyawannya.
Untuk menangkal anjloknya penjualan, Hesty justru memutuskan membuka cabang di Lemabang, Kecamatan Ilir Timur, Palembang, sekitar 23 kilometer dari tokonya saat ini . "Tempatnya sederhana, saya menyewa tempat dan meletakan etalase di sana,” kata dia. Langkah itu diambil karena jika hanya mengandalkan satu lokasi, penjualan tidak akan terdongkrak. Sementara penjualan melalui daring tidak terlalu bisa diharapkan.
Kini penjulan semakin baik setelah kebijakan pelonggaran aktivitas warga dilakukan pemerintah. Dalam sehari, dia bisa menjual sekitar 2.000 butir pempek. Karyawannya pun sudah dipekerjakan kembali.
Fifie Fitria Rizky, pemilik Pempek Sulthan dan Pindang Agan di Palembang membuat strategi berbeda mengatasi menyusutnya penjualan di masa pandemi. Dia memanfaatkan kekuatan jaringan dengan membentuk 50 penjual (reseller) dan pengecer (dropshipper) di seluruh Indonesia, serta promosi lewat sosial media.
“Dengan pembentukan jaringan ini, pemesanan di luar kota masih tetap sama yakni sekitar 5.000 butir pempek setiap hari,” ucapnya. Pemesanan paling banyak ada di kawasan Jabodetabek dan Bandung.
Pesanan terkadang datang dari warga Palembang yang merantau ke kota lain. “Itulah sebabnya, sampai sekarang kondisi penjualan masih lumayan,” ucapnya.
Sebanyak 50 pegawai yang bekerja di restorannya, tidak ada satupun yang diberhentikan. “Tunjangan hari raya pun masih diberikan,” ucap Fifie, yang membuka restoran sejak 2015 itu.
Besarnya pemesanan dari luar Palembang membuatnya berinovasi menciptakan pempek beku agar pempek bisa bertahan untuk perjalanan panjang bahkan sampai 3 hari. “Sekarang, saya lebih memilih untuk mengirim pempek melalui jalur darat karena mudah dan tidak ribet,” tutur Fifie.
Pengiriman via darat ke kawasan Jabodetabek memungkinkan setelah Tol Trans-Sumatera beroperasi. Waktu tempuh antara Jakarta dan Palembang kini hanya 7-8 jam sehingga pempek pun masih bisa bertahan.
”Sebagian besar pengusaha pempek di Palembang memilih mengirimkan barang melalui jalur darat dibanding menggunakan kargo udara,” ucap Humas Asosiasi Pengusaha Pempek Palembang (Asppek) Jimmy Devaten. Selain tidak ribet, tarif ekspedisi jalur darat hanya Rp 18.000 per kilogram. Sementara jalur udara bisa Rp 23.000 per kilogram.
Jalur darat itu menjadi peluang bagi pengusaha pempek menjalin kerjasama dengan jasa pengiriman barang. Selain pengurangan biaya pengiriman, pemotongan harga juga dilakukan pada proses pembungkusan paket. "Dengan cara ini, diharapkan dapat meningkatkan pemesanan," kata dia.
Di masa normal Sumsel memproduksi 30 ton pempek dengan jumlah pengusaha sekitar 400 pengusaha. Keberadaan pempek membuat perekonomian di Sumsel menggeliat.
Jika dihitung, dalam 1 kilogram pempek terdapat 30 buah pempek. Satu buah pempek dihargai Rp 3.000. Maka perputaran uang per hari di Sumsel dari pempek minimal mencapai Rp 2,7 miliar per hari. Ini belum termasuk aneka sektor yang berkaitan dengan pempek seperti jasa pengantaran, pengepakan, hingga transportasi.
Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumatera Selatan, Herlan Aspiudin mengatakan secara keseluruhan, sumbangan pajak dari sektor hotel dan restoran di Kota Palembang sekitar Rp 260 miliar per tahun atau sekitar 15 persen dari total pendapatan asli daerah Kota Palembang yang mencapai Rp 1,5 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 140 miliar berasal dari restoran, Rp 100 miliar dari hotel, dan Rp 20 miliar dari tempat hiburan.
Herlan tidak bisa merinci sumbangan pajak dari pempek, namun melihat besarnya pajak dari restoran, keberadaan pempek berperan besar bagi perekonomian daerah.
Namun selama pandemi, produksi pempek drop hingga hanya 10 ton per hari. Untuk itulah para pengusaha terus berkreasi untuk kembali menaikkan produksi.
Jimmy melihat potensi pada antusiame warga di luar Palembang untuk belajar membuat pempek. Kalau dilihat dari media sosial yang dia buat, ada 75.000 orang di seluruh Indonesia yang menyatakan suka pada pempek.
Dari sana bisa terlihat bahwa peluang pasar itu pun ada. Oleh karena itu dalam waktu dekat, dirinya akan membuat kelas khusus untuk mengajarkan kepada masyarakat bagaimana membuat pempek yang enak.
Sejarawan dari Univesritas Islam Negeri Raden Fatah Palembang Abdul Rachman Panji meyakini pempek akan terus beradaptasi mengikuti jaman, termasuk inovasi di masa pademi. Adaptasi telah dimulai dari namanya.
Sebelum dikenal dengan nama pempek komoditas pangan ini disebut "kelesan". Kelesan adalah alat penghalus daging ikan yang terbuat dari tembaga yang menyerupai mangkuk dengan dua telinga di sisi yang berseberangan dengan bagian bawah berlubang.
Nama kelesan berubah menjadi pempek ketika diperdagangkan pada sekitar tahun 1916. Saat itu, ada penjual kelesan keturunan Tionghoa yang dipanggil Apek. Ketika ada yang ingin membeli, warga kerap memanggilnya “pek..mpek”. Akhirnya nama kelesan berubah menjadi pempek.
Perubahan juga terjadi pada bahan utama pembuatan pempek. Semula bahan utama pempek dibuat dari ikan tangkeleso (arwana asia), namun karena populasinya yang terus berkurang para pengusaha pempek mencari bahan baku lain yakni ikan belida.
Kini, ikan belida pun sudah sulit ditemui, kemudian berganti menjadi gabus. Saat gabus sudah jarang ditemukan, bahan baku pun bisa diubah menjadi ikan tenggiri, kakap merah, parang-parang, ekor kuning dan ikan lainnya. Ada juga yang membuat pempek dengan ikan lain yang harganya lebih murah seperti sarden, lele, putak, seluang, atau bahkan udang. “Pempek tanpa ikan pun ada, yakni pempek dos,” ucap Abdul.
Bentuknya pun terus berkembang. Dari yang sederhana berbentuk bulat seperti pempek adaan atau pempek lenjer berbentuk panjang, berkembang menjadi pempek kapal selam yang berbentuk bulat berisi telur dengan pinggiran pipih. Lalu ada pempek lenggang bulat pilih, dan pempek pistel yang mengadopsi bentuk makanan pastel. Kini ada pula pempek warna-warni beraneka warna dan pempek krispi yang garing. Itu semua adalah inovasi dan kreasi dari warga Sumsel.
Dengan keyakinan itu, pempek tidak akan tenggelam seperti kapal selam, tetapi tetap panjang seperti pempek lenjer. Adaptasi dengan jamannya membuatnya tetap dirindukan lidah.