Merawat Calung dan Lengger Banyumas dari Rumah Saja
Pentas virtual pertunjukan seni tradisional menjadi oase di tengah deraan pandemi Covid-19. Lewat kemajuan teknologi, kesenian calung dan lengger Banyumasan tetap bisa dinikmati dan dilestarikan meski hanya dari rumah.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Pandemi Covid-19, yang melanda hampir lima bulan, melumpuhkan banyak elemen profesi, termasuk seniman tradisional. Hajatan dan hiburan yang mengundang kerumunan orang dihindari untuk mencegah penularan penyakit. Di tengah sepinya tanggapan, panggung virtual menjadi oase bagi seniman calung Banyumasan.
Tetabuhan calung, alat musik tradisional khas Banyumas yang terbuat dari bilah-bilah bambu, terdengar sayup-sayup, di tengah sunyi Grumbul atau Dusun Wrakas, Desa Karangrau, Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (11/7/2020). Kian didekati, suaranya bertalu-talu, keluar dari tembok rumah Sunardi (46).
Pentas kecil itu hanya disaksikan sekelompok bocah yang tengah bermain sepeda di pelataran rumah. Di dekat para bocah, terdapat secarik kertas bertuliskan ”Pacul Gowang : Nonton Kang Umah Baen” atau menonton dari rumah saja. Pacul Gowang, itulah judul pementasan itu.
Di dalam rumah sederhana itu, enam laki-laki pemain calung duduk bersila menabuh alat masing-masing, yaitu barung, penerus, dendem, kenong, gong bumbung, serta kendang. Mereka menggunakan beskap hitam lengkap dengan belangkon serta kain jarit. Tidak lupa pelindung wajah dari mika melingkar di kepala.
Dengan penuh semangat, para wiyaga atau penabuh gamelan itu mengiringi tarian lengger Septi Priastuti (16) serta tembang yang dinyanyikan sinden Narsiti (46). Jika biasanya aksi panggung mereka mengundang riuh dan sorak puluhan bahkan ratusan penonton, kini para seniman itu hanya tampil di hadapan empat unit kamera telepon seluler yang menayangkan langsung pertunjukan lewat kanal Youtube, Instagram, serta Facebook.
Meski demikian, kondisi janggal semacam itu tak menyurutkan semangat grup musik karawitan Taruna Budaya tersebut. Mereka tetap tampil enerjik.
Kondisi janggal semacam itu tak menyurutkan semangat grup musik karawitan Taruna Budaya tersebut. Mereka tetap tampil energik.
”Pacul Gowang” merupakan salah satu judul tembang Banyumasan. Secara harafiah artinya cangkul yang berlubang karena rusak. Dalam syairnya dikisahkan, pacul gowang dimiliki oleh seorang janda. Namun, cangkul sebagai satu-satunya alat untuk menggarap kebun dan mencari nafkah itu justru gowang atau berlubang sehingga kerjanya tidak optimal.
”Kalau bagi petani, cangkul itu alat untuk menggarap sawah dan bekerja. Kalau cangkulnya gowang, berarti kerja dan hasilnya tidak optimal. Nah, bagi kami (seniman calung) saat ini, akibat pandemi, pacul itu tidak hanya gowang, tapi juga tugel (patah),” tutur Saidin (58) pemain kendang.
Atas dukungan dari ”Panggung Kahanan”, program pemberdayaan seniman lokal di tengah pandemi Covid-19 yang digagas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, serta sejumlah donatur pencinta kesenian tradisional Banyumasan, Komunitas Pena Purwokerto menggalang dana hingga Rp 2 juta untuk penyelenggaraan pentas virtual ini.
”Ini adalah gawe (hajatan) dari Gubernur Ganjar Pranowo melalui program Panggung Kahanan. Pak Gubernur melihat seniman-seniman di desa-desa, selama pandemi itu kekurangan tempat atau bahkan tidak ada kesempatan manggung sama sekali,” kata Koordinator Komunitas Pena Robertus Sutriyono.
Panggung Kahanan ingin memberikan ruang seniman berekspresi. Selain itu, juga jadi wadah donasi bagi para seniman. (Ganjar Pranowo-Gubernur Jateng)
Dalam sejumlah kesempatan, Ganjar Pranowo mengungkapkan, Panggung Kahanan merupakan ajang kreasi bagi seniman yang terdampak Covid-19. Menurut dia, sejak wabah virus korona baru melanda, banyak acara kesenian urung digelar. Praktis, kondisi ini menyebabkan banyak pelaku seni menganggur.
”Panggung Kahanan ingin memberikan ruang seniman berekspresi. Selain itu, juga jadi wadah donasi bagi para seniman,” tuturnya. Donasi bisa disalurkan lewat rekening Bank Jateng melalui nomor rekening 2032191919 atas nama Panggung Kahanan.
Panggung Kahanan telah diselenggarakan rutin setiap pekan sejak awal Mei 2020. Pentas ini biasanya disiarkan secara daring dari lapangan basket rumah dinas gubernur di Puri Gedeh Kota Semarang.
Adapun pentas virtual di Desa Karangrau ditonton sedikitnya 30 orang dari berbagai tempat. Pentas pun berlangsung interaktif dipandu pembawa acara Eulalia Adventi Kesiyatni (39), anggota Komunitas Pena Purwokerto. Selain membawakan tembang ”Ricik-ricik”, ”Pacul Gowang”, dan ”Eling-eling” yang sudah disiapkan, grup ini juga membawakan tembang ”Gubuk Asmoro” permintaan dari penonton.
”Semoga sukses terus Taruna Budaya”, tulis akun Koplingmas Official pada kolom komentar Youtube. ”Semoga lancar lurrr”, tulis akun Aldy Pranata. ”Moga sukses terus go Wa (untuk kakek) Saiman”, tulis akun Timbil Surapada.
Saat pentas semakin jarang, para seniman semakin babak belur dihajar pandemi. Setidaknya empat bulan terakhir, tidak ada permintaan manggung sama sekali.
Saiman (65), perintis kelompok kesenian Taruna Budaya, menyampaikan, pada era 1980-1990-an, grup musik ini bisa pentas berkali-kali dalam sebulan. Setelahnya, perkembangan zaman melahirkan hiburan organ tunggal serta organ lengger yang lebih praktis serta ekonomis sehingga permintaan manggung lama kelamaan terus berkurang, hingga terakhir hanya 3-5 kali per bulan.
Saat pentas semakin jarang, para seniman kian babak belur dihajar pandemi. Setidaknya empat bulan terakhir, tidak ada permintaan manggung sama sekali. ”Terakhir kali pentas itu Februari 2020 saat lomba karawitan se-kabupaten,” tutur Saiman.
Karena tidak ada tanggapan, para seniman musik tradisional yang biasa mendapatkan pendapatan tambahan dari acara kesenian harus bertahan hidup dengan pekerjaan utama mereka, yaitu menderes karet di perkebunan.
”Saya ini jarang dipakai (ditanggap). Apalagi pandemi ini tidak pernah dipakai. Padahal, dari manggung, rata-rata sekali pentas bisa dapat Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Tergantung pemilik rumah,” tutur Sarwan (52), peniup gong bumbung atau gong yang terbuat dari bambu.
Dalam situasi yang kian sulit ini, Sarwan semakin khawatir kesenian calung akan punah jika tidak dilestarikan. Apalagi tidak banyak anak muda yang antusias mendalami kesenian tersebut.
Berkesenian dapat menjadi wadah positif bagi anak-anak muda ketimbang melakukan hal-hal yang negatif, seperti nongkrong-nongkrong, tawuran, atau mengonsumsi alkohol.
Padahal, menurut dia, berkesenian dapat menjadi wadah positif bagi anak-anak muda ketimbang melakukan hal-hal yang negatif, seperti nongkrong-nongkrong, tawuran, atau mengonsumsi alkohol. ”Sepertinya sudah mau punah dan (lewat pentas virtual) ini dilestarikan lagi. Saya senang,” ujarnya.
Kekhawatiran Sarwan akan kepunahan kesenian tradisional lengger dan calung setidaknya berkurang dengan kehadiran para seniman muda Banyumas belakangan ini. Salah satunya Septi, si penari lengger.
Septi yang kini duduk di bangku kelas XII SMKN 3 Banyumas mengaku senang menari sejak kecil karena melihat nenek dan ayahnya. Sang nenek adalah penari dan ayahnya adalah pemain calung.
”Saya sudah suka sejak kecil, ingin nguri-uri (merawat) kebudayaan Banyumas serta mengembangkan bakat,” kata Septi yang bercita-cita menjadi guru tari.
Eulalia sebagai pembawa acara dalam catatan akhir menyebutkan, seni bukan hanya ekspresi diri, melainkan juga cara zaman mencatatkan diri. Seni bukan hanya hasil olah rasa. Seni adalah kisah yang sulit terkata.
”Melestarikan budaya bukan sekadar tanggung jawab, tapi adalah ’laku’ para pencinta bangsa agar nilai luhur kehidupan terus bergulir dari generasi ke generasi, tanpa henti, tanpa bias,” katanya.
Panggung virtual menjadi jalan baru merawat eksistensi pertunjukan kesenian tradisional di kala pandemi. Sebab, masa wabah telah menuntut setiap orang tetap berkreasi dan berinovasi di tengah keterbatasan ruang fisik. Lewat kemajuan teknologi, tetabuhan serta geol lengger banyumasan tetap bisa dirawat sekaligus dinikmati dari rumah saja.